Indonesia masih sulit jadi kiblat busana muslim

Kamis, 26 Mei 2016 | 12:16 WIB   Reporter: Dian Sari Pertiwi
Indonesia masih sulit jadi kiblat busana muslim


JAKARTA. Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) menargetkan, pada 2025 busana muslim Indonesia bisa menembus pasar internasional dan menjadi kiblat busana muslim dunia.

Meski kini genderang bisnis busana muslim makin riuh ditabuh dan bertabur desainer, bukan berarti jalan mulus terbuka lebar bagi industri busana muslim Indonesia untuk merambah dunia internasional.

Diajeng Lestari, CEO Hijup.com bilang, saat ini para desainer Indonesia mewakili model busana muslim dan menjadi lokomotif di industri ini, tapi itu saja tak cukup.

"Kita masih kalah efisiensi biaya dibanding China. Jadi produk Indonesia masih kurang kompetitif untuk bersaing di pasar internasional," kata Diajeng kepada KONTAN, Rabu (25/5).

Diajeng menambahkan, para pengusaha busana muslim di Indonesia masih belum bisa memproduksi busana muslim dengan skala besar seperti yang negeri tirai bambu lakukan.

Ketidaksiapan infrastruktur dan kurangnya stimulus dari pemerintah, membuat industri ini harus berjalan sendiri untuk menghidupi bisnisnya masing-masing.

"Kalau di negara seperti China, para pengusaha bisa dapat keringanan tax. Ada stimulus itu yang membuat mereka bisa mengembangkan usahanya lebih besar lagi, karena ada bantuan modal juga," kata Diajeng.

Begitu juga yang dirasakan Nadya Nizar, pendiri Nadjani Indonesia. 

Sebagai pengusaha busana muslim, ia mengaku kerap terbentur dengan keterbatasan modal ketika ada permintaan dari pasar ekspor. "Permintaan pasar ekspor bisa 10.000 pieces dalam satu invoice. Sedangkan kami baru bisa produksi 2.000 pieces dalam satu bulan," ungkap Nadya.

Nadya menambahkan, selama ini para desainer dan pelaku bisnis busana muslim masih mengeluarkan kocek pribadi untuk mengikuti pemaren di kancah internasional. 

"Padahal, biaya itu engga sedikit, daripada dipakai untuk ikut pameran dana itu bisa juga untuk suntikan modal lagi," kata Nadya yang baru mengikuti pameran di Tokyo, Jepang belum lama ini.

Butuh pendidikan khusus

Kendati Indonesia tak kekurangan suplai desainer busana, pendidikan seputar busana juga masih minim. Pendidikan yang fokus pada industri fashion juga masih belum berkembang. Sebab, dalam ekosistem industri ini, tak hanya membutuhkan peran desainer, tapi juga kurator sampai marketing.

Misalnya, Inggris sebagai negara yang mengandalkan industri busana sebagai penggerak ekonominya, memberikan perhatian terhadap pendidikan terkait industri busana. Antara lain, dalam penelitian bahan alternatif selain serat kapas dan memungkinkan mereka memiliki variasi bahan busana.

"Dalam bisnis fesyen ini ruang lingkupnya luas dan butuh banyak talent beragam yang bisa menggerakkan industri ini agar jadi satu sektor yang menunjang ekonomi," tandas Diajeng.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan

Terbaru