Royal Golden tetap eksis melewati berbagai krisis

Kamis, 29 September 2016 | 10:12 WIB   Reporter: Jane Aprilyani
Royal Golden tetap eksis melewati berbagai krisis


NAMA Sukanto Tanoto tak asing  lagi di ranah bisnis dalam negeri. Pria kelahiran Belawan, 25 Desember 1949 ini adalah pendiri Grup Royal Golden Eagle (RGE), konglomerasi bisnis yang bergerak di berbagai bidang industri, seperti kayu lapis, pulp and paper, rayon, kebun kelapa sawit, energi, dan lainnya.

Usahanya pun menyebar di berbagai negara. Selain di Indonesia, sayap bisnis  Sukanto membentang di China, Singapura, Kanada, dan Brasil.

Kiprah Sukanto diawali dari CV Karya Pelita yang berdiri pada tahun 1972. Sebagai seorang yang jeli melihat peluang bisnis, Sukanto melihat adanya celah bisnis yang menggiurkan dari hilangnya produk kayu lapis asal Singapura. Melalui Karya Pelita, ia menjadi pioner bagi industri kayu lapis di Tanah Air.
Kesuksesan pun membawa perubahan nama Karya Pelita menjadi PT Raja Garuda Mas, setahun kemudian.

Satu demi satu perusahaan pun berdiri. Dari kayu lapis, dia melirik bisnis kelapa sawit, pulp and paper dan lainnya. Nama Sukanto pun diperhitungkan dalam dunia bisnis.

Sempat mengembang, bisnis Sukanto rupanya tak imun dari hantaman krisis. Krisis ekonomi 1997/1998 menyeret RGE. Rontoknya rupiah membuat konglomerasi ini terjerat utang Rp 2,1 triliun dan harus menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Ini karena saat krisis mulai menyerang Indonesia, RGE tetap mengambil pendekatan untuk berinvestasi.
 
Ibarat jatuh tertimpa tangga, lagi-lagi pil pahit harus ditelan. Tahun 1999, Sukanto harus menutup PT Inti Indorayon Utama, perusahaan bubur kertas. Selain masalah keuangan, masyarakat menuding limbah industri telah mencemari Danau Toba.

Setia pada visi pendiri

Tapi, dari sini ada pelajaran berharga yang bisa dipetik. Sukanto mulai mengubah strategi, yakni membangun komunitas sembari ekspansi. Ia juga membuka hutan tanaman industri. Langkah ini jitu. Terbukti, dia berhasil pada industri pulp and paper di Riau dan menjadi produsen kertas terbesar di dunia. Paper One, salah satu produknya beredar di 51 negara.

Masalah kembali membelit ketika Asian Agri, perusahaan perkebunan kelapa sawit RGE, divonis memanipulasi pajak
Rp 1,25 triliun. Hingga pertengahan tahun ini, kelompok usaha ini sudah membayar sekitar Rp 969,68 miliar atau 50% dari total tagihan Rp 1,96 triliun.

Meski berbagai kendala senantiasa datang, sayap RGE terus terkembang. Grup ini merambah bisnis energi, keuangan dan properti. Bisnis kertasnya pun meluas ke berbagai negara, baik melalui akuisisi atau kerjasama. Komitmen untuk terus berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan jadi alasan RGE terus mengembangkan bisnis.

Menurut Joseph Oetomo, Chairman RGE, pihaknya selalu berpedoman pada visi pendiri perusahan agar bertahan menghadapi berbagai kondisi. Visi Sukanto, dalam berbisnis harus memberi kebaikan bagi masyarakat, negara, iklim dan perusahaan. Termasuk pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Selain itu, kata Joseph, cara kerja yang diterapkan juga mendorong perkembangan perusahaan. Semua proses kerja dilandasi oleh semangat 'can do attitude' atau berorientasi pada hasil yang berkualitas. "Kami fokus pada quality, productivity serta bagaimana mengelola cost, agar produk tetap kompetitif di pasar global," jelas dia.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini

Terbaru