Barongsai, membentuk mental juara

Sabtu, 28 Januari 2017 | 00:09 WIB   Reporter: Asih Kirana Wardani
Barongsai, membentuk mental juara


Matahari tengah menyorotkan cahayanya yang melimpah ketika kendaraan yang ditumpangi KONTAN melaju ke arah Gading Serpong, Tangerang, Kamis (19/1). Tujuan kami adalah Yayasan Dharma Cinta Kasih (DCK), sebuah yayasan yang beranggotakan kaum Tionghoa. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, sampailah kami ke tempat tujuan. Didirikan oleh Famawaty Chan pada 1 Mei 2000, yayasan ini bergerak di berbagai kegiatan sosial, seperti memberikan bantuan kepada korban bencana alam hingga merawat para lanjut usia (lansia). Sebagai salah satu sumber pendanaannya, yayasan ini mengelola kelompok tari Barongsai atau lion dance bernama DCK Lion Dance. 

Di kalangan Tionghoa di Jakarta dan sekitarnya, DCK Lion Dance cukup tersohor. Maklum, DCK Lion Dance cukup sering memenangkan kompetisi Barangsoi, baik skala lokal, nasional maupun internasional. Sebut saja, dalam Living World International Lion Dance Championship 2014, DCK Lion Dance sukses merebut gelar juara pertama untuk kategori lantai. Padahal, selain dari Indonesia, kompetisi ini diikuti oleh delapan negara yang memiliki tradisi Barongsai kuat, yakni China, Malaysia, Singapura, India, Hong Kong, Taiwan, Filipina, dan Thailand. DCK Lion Dance juga pernah berpartisipasi dalam kompetisi Barongsai di Guangxi, China pada 2013. 

Selain jam terbang di berbagai kompetisi, DCK Lion Dance mempunyai kelebihan lain dibanding sasana Barongsai lain di tanah air, yakni memiliki anggota yang cukup banyak. Alhasil, DCK Lion Dance bisa tampil dalam empat formasi sekaligus. "Saat ini, anggota yang aktif lebih dari 50 orang," ujar Famawaty.

Menjelang perayaan Imlek yang merupakan tahun baru dalam budaya Tionghoa, DCK Lion Dance pun kebanjiran pesanan untuk tampil. "Sudah full booked sampai dengan Maret," ungkap Famawaty.

Ya, di kalangan Tionghoa memang ada kepercayaan, tarian Barongsai mampu mengusir anasir jahat serta mendatangkan rezeki berlimpah. Gerakannya yang lincah menjadi perlambang semangat dan perputaran uang yang cepat. Karena itu, tarian Barongsai tak hanya ditampilkan pada saat perayaan Imlek, tapi juga untuk menandai pembukaan tempat usaha, perayaan keagamaan serta acara pernikahan. 

Sayang, sejak berkuasa pada 1966, pemerintahan Soeharto mengharamkan banyak tradisi Tionghoa di seantero nusantara. Tari Barongsai pun seolah lenyap ditelan bumi. Baru pada era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, hari raya Imlek mendapatkan pengakuan resmi dan bisa dirayakan secara terbuka. Seiring dengan ini, permintaan untuk mementaskan tari Barongsai pun kembali meriah. Sasana Barongsai pun bermunculan.

 

Membentuk karakter

Namun, bukan uang yang menjadi motivasi utama Famawaty ketika mendirikan DCK Lion Dance di bawah Yayasan Dharma Cinta Kasih pada 2005. Lewat latihan tari Barongsai, ia ingin melatih kedisiplinan dan kemandirian anak-anak dari para anggota yayasannya. "Ketika itu, saya melihat, banyak dari anak-anak kami itu manja, anak-anak mami," tutur Famawaty.

Untuk bisa menguasai teknik tari Barongsai dengan sempurna, seseorang memang memerlukan upaya keras, tekat kuat, dan disiplin tinggi. Apalagi, DCK Lion Dance memilih aliran Fat San. Aliran ini menuntut latihan fisik yang berat. Tak cuma teknik koreografi, pemain Barongsai aliran Fat San juga harus menguasai seni bela diri Kungfu. Sebab, aliran ini bukan saja menuntut pemain memiliki gerakan nan lincah, tapi juga kuda-kuda yang kuat. "Kami melakukan latihan setiap Sabtu, sepanjang hari," kata Famawaty.

Saking beratnya, hingga saat ini tak banyak sasana Barongsai yang memilih aliran Fat San. Yang lebih populer adalah aliran Hok San. Baik Fat San maupun Hok San merupakan aliran Selatan atau Nan-shi, yang dibawa para perantau asal China ke seantero dunia. Sedangkan aliran Utara atau Beijing-shi kurang begitu menyebar. Aliran Fat San lebih berat, antara lain karena bentuk kepala Barongsai lebih besar dengan bentuk mulut melengkung ke atas. Sedangkan Hok San memiliki ciri bentuk mulut menyerupai mulut bebek, lebih berbulu dengan badan lebih pendek dan lebih ringan ketimbang Barongsai Fat San.

Dengan disiplin tinggi, DCK Lion Dance membuktikan dirinya. Hanya dalam setahun sejak didirikan, sasana ini telah berhasil meraih gelar juara pertama dan ketiga sekaligus dalam kejuaraan Barongsai nasional di Bandung pada tahun 2006. Orang pun mulai mengenal sasana ini dan pesanan untuk tampil di berbagai acara pun mulai berdatangan. Sejak 2008, DCK Lion Dance juga memanfaatkan teknologi internet untuk memasarkan dirinya. "Jadi tidak perlu lagi menawarkan door to door seperti di awal dulu," kata Susanto, yang ditunjuk mengurusi pemasaran DCK Lion Dance.

Sayang, baik Susanto maupun Famawaty enggan untuk mengungkapkan tarif maupun pendapatan DCK Lion Dance. Alasannya, tarif tidak bisa dipatok secara pasti, tergantung jenis acara di mana mereka akan tampil. Ada kala, mereka bahkan menggratiskan penampilan mereka, misalnya saat menghibur para korban bencana atau tampil di acara televisi. "Yang jelas, dengan pendapatan kami, kami masih bisa menutup biaya beriklan di Google Adwords-lah," cetus Susanto. 

Yang terpenting, bagi Famawaty, Barongsai berhasil membentuk karakter dan mental anak-anak yang menjadi pemainnya. "Mental juara bukan hanya untuk kompetisi Barongsai, tapi juga mental juara dalam kehidupan. Banyak dari anak-anak kami sukses hidupnya. Banyak yang lulus S2, bahkan di Jerman," ungkap perempuan yang kini berusia 64 tahun itu, bangga.

Sekarang ini, DCK Lion Dance membuka keanggotaan tak hanya bagi anak-anak para anggota yayasan, tapi juga bagi orang luar. Menurut Famawaty, latihan Barongsai juga bisa membantu mengalihkan perhatian anak-anak sekarang yang banyak terpaku pada gawai sepanjang waktu. Nah, tertarik melatih mental anak-anak Anda? Mungkin Barongsai bisa jadi jawabannya.

Selamat merayakan Imlek! Xin nian kuai le! Gong xi fa chai!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asih Kirana

Terbaru