Pelaku usaha dukung Labuan Bajo sebagai tujuan wisata premium

Kamis, 12 September 2019 | 17:53 WIB   Reporter: Sanny Cicilia
Pelaku usaha dukung Labuan Bajo sebagai tujuan wisata premium

ILUSTRASI.


JELAJAH EKONOMI PARIWISATA - JAKARTA. Pemerintah daerah dan Dinas Pariwisata Manggarai Barat berencana mengatur pengembangan pariwisata Labuan Bajo, salah satu destinasi pilihan wisatawan mancanegara. Kawasan Labuan Bajo yang awalnya dikenal karena keberadaan komodo, kini juga didatangi karena keindahan alamnya.

Pihak Labuan Bajo tengah mencari cara untuk menjaga turis yang masuk ke Pulau Komodo tidak terlalu ramai. Ada beberapa kemungkinan dikaji, misalnya menetapkan kuota pengunjung. Caranya, pengunjung harus mendaftar secara online, sebelum mendatangi Pulau Komodo.

Harapannya, sembari menunggu giliran kunjungan ke Pulau Komodo, turis tersebut bisa menikmati tawaran wisata lainnya di kawasan Labuan Bajo atau Flores yang lebih luas. Metoda carrying capacity ini yang tengah didorong pemda dan Dinas Pariwisata Manggarai Barat.

 Dengan cara ini, secara alami, wisatawan yang datang ke Labuan Bajo memanglah yang memiliki dana memadai untuk berlibur dan menikmati potensi wisata secara nyaman. “Sehingga yang membeli tiket ke Pulau Komodo, terselip harga diri, martabat, gengsi, yang menunjukkan, bahwa kalau saya ke Pulau Komodo, berarti saya orang uang banyak. Hanya orang-orang tertentu,” kata Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch Dula, Agustus lalu.

Pelaku usaha dan penyedia layanan publik di Labuan Bajo pun sepakat dengan pembenahan ke arah premium.

Igor Raicevic, General Manager Plataran Komodo Resort & Spa setuju ada pembatasan dan pengaturan wisata di Labuan Bajo. Dia mengakui, kondisi pengunjung di Pulau Komodo sudah terlalu ramai.

Yang penting, menurut dia, adalah komunikasi kepada pelaku usaha. “Jika Pulau Komodo ditutup, kita bisa ke Pulau Rinca,” katanya, Agustus lalu.

Dia menilai, alam Labuan Bajo yang indah seharusnya bisa dinikmati secara baik oleh wisatawan baik kelas menengah atau atas. Tapi, Labuan Bajo harus membuat banyak pengembangan jika ingin konsisten.

Putri Respati, Executive Director Siloam Hospitals di Labuan Bajo menambahkan, peningkatan kawasan ini sebagai destinasi premium tak melulu soal fasilitas dan infrastruktur. “Menurut saya, yang krusial adalah penyediaan sumber daya manusia,” katanya.

Di sektor kesehatan pun, dia mengakui, masih kekurangan SDM mumpuni. “Butuh pelatihan banyak agar bisa meningkatkan kualitas SDM,” katanya. Sedangkan beberapa pembenahan infrastruktur yang perlu dibenahi antara lain penyediaan listrik dan air bersih.

 

Perlu sosialisasi

Operator diving, iDive Komodo Indonesia juga sepakat ada pengaturan di situs-situs wisata yang populer. Terlalu banyak pengunjung secara bersamaan justru bisa merusak kondisi karang dan ekosistem bawah laut. Tetapi, pembatasan diharapkan melibatkan peneliti yang lebih mumpuni atau pelaku usaha agar bisa lebih mencerminkan kondisi sebenarnya.

Mulai 16 September mendatang, Balai Taman Nasional Komodo berencana menerapkan pengaturan diving di beberapa situs. Carrying capacity ini akan diterapkan di situs Karang Makasar atau Taka Makasar, yang kerap menjadi pilihan wisatawan untuk melihat ikan manta dan Batu Bolong.

Carrying capacity ini akan diterapkan di situs Karang Makasar, yang kerap menjadi pilihan wisatawan untuk melihat ikan manta dan situs diving Batu Bolong. Caranya, menentukan jumlah user maksimum di situs pariwisata tertentu dalam periode tertentu. Misalnya, satu kapal hanya boleh membawa 10 penyelam atau snorkelers. Kapal tersebut harus didaftarkan untuk mendapatkan slot waktu kunjungan.

Kunjungan ke Batu Bolong, contohnya, kunjungan hingga 9 pagi, hanya dibatasi 1 perahu. Sedangkan kapal yang boleh mengujungi Karang Makasar sejak pagi hingga 13:00 bisa 12 kapal.

“Ini saya setuju saja, karena misalnya terlalu banyak penyelam juga bisa membuat tidak nyaman manta lalu dikhawatirkan mereka malah pergi,” kata Marcia, pemilik IDive.

Menurut dia, perlu sosialisasi juga ke wisatawan karena kini kunjungan tidak sebebas sebelumnya.

Tapi, dia melihat, data yang menjadi acuan Balai TNK belum mencerminkan kondisi sebenarnya. Dengan begitu, pembatasan terhadap jumlah kapal menjadi terlalu sedikit. “Jika ada jalan tengahnya, kami setuju saja dengan aturan ini,” kata Marcia, Agustus lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia

Terbaru