Fashion blog sudah sangat populer. Nah, menyusul popularitas fashion blog, belakangan muncul food blog di Indonesia. Kalau fashion blogger berkreasi dengan baju lalu menyebarkannya lewat blog, yang dilakukan food blogger sebenarnya sama, namun objeknya masakan hasil olahan dapur sendiri.
Munculnya food blog ini berawal dari kecintaan para blogger terhadap dunia masak-memasak. Yunita Rahmasari, 24 tahun, pemilik blog http://bonitofood.blogspot.com, misalnya. Dia mengaku suka masak sejak sekolah dasar. "Hasil masak iseng-iseng jadi bahan blog," ujar Tata, panggilan sehari-hari Yunita.
Tata membagi "menu" blognya menjadi dua: Bento dan Indonesian. Berbagai menu dari negeri sendiri seperti mi ongklok udang, gado-gado ketupat bali, soto udang bihun, sampai rujak manis apel dan jambu air terlihat menggugah selera di laman Indonesian. Sajian di laman Bento lain lagi. Di sini, Tata mengkreasikan masakan dengan aneka bentuk dalam kotak makan.
Bloger masak yang lain adalah Tika Hapsari Nilmada. Perempuan usia 35 tahun pemilik blog http://cemplangcemplung.blogspot.com itu justru mengawali food blog-nya dari hobi food photography. "Lama-lama kalau beli terus boros, jadi saya cari resep lalu masak sendiri. Eh, sekarang jadi keterusan suka masak," tuturnya.
Di blognya, Tika menuliskan aneka menu, mulai menu Indonesia, Barat, hingga menu India. Di salah satu tulisannya, Tika membuat tiramisu dengan bahan teh hijau. Agar blognya lebih “seru”, Tika pun menaruh peralatan dapur dan suasana pasar tradisional hasil bidikan kameranya.
Menurut Tika, foto menjadi faktor penentu untuk food blog yang apik. "Kalau cuacanya jelek, saya lebih baik tidak jadi masak, daripada hasil fotonya jelek," ujar Tata yang mengaku belajar fotografi secara otodidak. "Waktu itu saya dapat beasiswa, tapi uangnya malah saya belikan kamera," kenangnya.
Tika juga mengawali foto food blog-nya dengan kamera saku dua tahun lalu. Tapi dua bulan setelahnya, dia beralih ke kamera lensa tunggal. Untuk mendukung hobinya, Tika sudah punya empat lensa.
Food blog bisa dibilang tidak menguras banyak biaya dibanding hobi lain. Tika mengaku hanya menyisihkan kocek Rp 300.000 setiap bulannya untuk membeli aneka buku dan majalah resep. Sedangkan Tata mengaku tidak mengalokasikan bujet khusus. "Kalau jalan-jalan, saya tidak suka belanja baju, tapi lebih suka ke supermarket," ujarnya.
Sebenarnya, peralatan untuk membuat bento relatif mahal. Tapi Tata menyiasatinya dengan memakai peralatan yang sudah ada di dapur, seperti pisau dan gunting.
Belum jadi bisnis
Sayangnya, food blog belum bisa mendatangkan tambahan penghasilan. Food blogger pun umumnya menjalani profesi lain, seperti Tika yang bekerja sebagai software QA engineer di distributor alat kesehatan dan farmasi di Jakarta, atau Tata yang jadi dosen di Malang.
"Banyak, sih, yang minta saya buka katering, tapi saya belum berani karena belum punya waktu," aku Tata yang ingin membuat buku mengenai bento ini.
Senada dengan Tata, Tika juga bilang, ingin mengomersialkan hobinya tapi dia tidak tahu caranya. Sebenarnya, Tika sudah menjaring pemasang iklan di blognya sejak setahun lalu. Setiap ada pengunjung yang mengeklik tautan iklan, dia mendapat komisi. Tapi, nilainya masih kecil, "Hanya US$ 4 setahun," ujar Tika.
Tika tidak sendirian menjalankan hobi food blog-nya. Dia bergabung dengan komunitas Indonesian Food Blogger. Di sana, dia kebagian mengurusi administrasi. Komunitas ini menentukan tema masakan setiap dua bulan sekali. Pemenangnya, yang ditentukan lewat voting, akan diberi hadiah yang tidak jauh-jauh dari isi dapur, seperti alat masak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News