KOTA TUA - JAKARATA. Setahun terakhir, ada yang berubah dari pelataran Museum Fatahillah. Kuntianak dan pocong yang biasanya berkeliaran di siang bolong sudah tak tampak lagi. Kini yang terlihat hanyalah tentara, sosok pejuang, atau noni belanda. Eh, tunggu dulu. Itu bukan sosok asli, ya. Kuntianak, pocong, tentara, atau noni belanda yang suka bercokol di halaman Museum Fatahillah ada karakter bohongan. Selama ini, para tokoh karakter itu hadir untuk mendapatkan rupiah dari wisawatan yang ingin berfoto dengan mereka.
Namun sejak setahun lalu, pihak Unit Pengelolaan Kawasan (UPK) Kota Tua sudah melarang aneka bentuk atraksi yang melenceng dari tema sejarah Kota Tua. Pihak pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memang tengah serius membenahi pariwisata mereka. Maklum, mereka gerah bila Jakarta hanya disebut sebagai kota singgah. Wisatawan mancanegara (wisman) datang ke Jakarta hanya untuk urusan bisnis. Sehari di Jakarta urusan bisnis kelar, mereka akan memilih terbang ke Bali atau kota lain di Indonesia untuk berwisata.
Alhasil, dollar yang dibawa wisman pun tak berputar di kota metropolitan. Padahal, dollar para wisman ini penting sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi Kota Jakarta. Apalagi di saat nilai tukar rupiah bergejolak seperti sekarang. Dollar bisa menjadi penyetabil. Sebab, sulit sekali bila harus mengandalkan pendapatan dari ekspor di tengah impor yang makin gencar.
Wisawatan sendiri masih segan menikmati pariwisata yang dimiliki Jakarta karena fasilitasnya belum memadai sehingga kurang nyaman berlama-lama di Jakarta. Misalnya masalah kemacetan. Belum lagi kawasan wisatanya tidak sedikit yang kumuh belum tertata.
"Untuk itu kami ingin memacu pariwisata di Jakarta yang sebenarnya sangat potensial dikembangkan," ujar Sri Haryati, Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Sekda DKI bidang Perekonomian sekaligus Kepala Biro Perekonomian DKI.
Padahal bila digarap dengan maksimal untuk merangkul 20 juta wisawatan ke Jakarta pasti sangat mungkin. Sebab, Jakarta merupakan pintu masuk wisman ke Indonesia nomor dua setelah Bali. "Wisman yang masuk dari Bali 40%, dari Jakarta 18%, dari Kepulauan Riau 13%, dan sisanya tersebar dari wilayah lain," ujar Kepala Perwakilan BI DKI, Trisno Nugroho.
Oleh karena itu, diperlukan beberapa strategi untuk menata pariwisata Jakarta. Saat ini, Pemprov berkonsentrasi untuk menggarap Kawasan Kota Tua, Kepulauan Seribu, Pusat Perkampungan Adat Betawi Setu Babakan, dan Taman Ismail Marjuki yang akan jadi pusat kesenian.
Sejuta persoalan pasti ada jalan
Sri mengatakan, selama ini sejatinya dinas atau instansi terkait bahkan komunitas-komunitas di Jakarta sudah bergerak untuk mengembangkan pariwisata DKI. Hanya saja, masih bergerak sendiri-sendiri. Sehingga efeknya tidak optimal. "Karenanya kami akan menyatukan mereka yang terpencar. Sehingga punya konsep yang sama dan saling terintegrasi," jelasnya.
Selain komunitas atau instansi yang bergerak sendiri-sendiri, persoalan regulasi dan habit masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi persoalan politik yang seringkali membelit. Maklum, sebagai Ibukota Negara, Jakarta punya peran prestisius dalam kancah politik.
"Lihat Kawasan Kota Tua, pembenahannya terlihat lambat. Birokrasinya panjang. Lihat saja, Museum Bahari yang terbakar. Sampai sekarang belum dibenahi," ujar seorang pengojek sepeda. Pengojek sepeda yang bertumbuh cukup tambun itu mengeluhkan, makin susahnya cari penumpang. Biasanya, jasa kayuhan sepeda mereka digunakan warga sekitar atau pengunjung Kota Tua. Tapi sekarang, mereka hanya bisa mengandalkan wisatawan yang ingin keliling Kota Tua.
"Kalau orang sekitar dan pengunjung yang sekadar datang ke satu tujuan mereka sudah pakai ojek online. Makanya sudah banyak ojek sepeda yang alih profesi. Makin sedikit ojek sepeda sekarang," ujar pengojek sepeda itu.
Padahal bila ojek sepeda ini diberi fasilitas bisa menjadi daya tarik tersendiri. Wisata Kota Tua dengan sepeda. Apalagi bila pengojeknya diberi kostum yang mencitrakan Jakarta. Sepeda mereka lebih dirawat. Dan mereka punya parkir tersendiri yang lebih tertata, tentu bisa menjadi salah satu ikon Kota Tua. Apalagi mereka dibina untuk sekaligus menjadi pemandu wisata.
Hanya saja, hal itu tidak bisa berdiri sendiri. Pembenahan harus dilakukan secara paralel. Tempat wisata sejarahnya sendiri juga harus lebih tertata. Aksesnya pun lebih ramah sepeda. Pedagang Kali Lima (PKL) juga diatur. Tidak hanya dipindahkan ke satu lokasi, tapi juga dibantu promosi jualan mereka. Itu artinya PKL itu harus didata dan dikurasi sehingga layak dipamerkan pada wisatawan. Di Thailand, jajanan kaki lima sangat menjadi idola pengunjung.
Jadi, si ojek sepeda bisa mengajak keliling wisatawan mengunjungi tempat-tempat sejarah di Kota Tua yang sudah tertata. Lalu wisatawan itu diajak singgah di pusat jajanan kaki lima. Tentu saja PKL harus menyajikan menu yang layak dan aman dikonsumsi. Tak cuma itu, usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Jakarta juga bisa dilibatkan. Edukasi pelaku UMKM untuk membuat produk yang memang khas, unik, dan terjamin keamanannya.
Kumpulkan para pelaku UMKM itu di satu titik sehingga sekalian dijangkau dengan ojek sepeda. Ini layaknya tukang becak di Malioboro, Yogyakarta. Setiap wisatawan datang ditawari naik becak dengan kunjungan antara lain Kraton Ngayogjakarto, lalu ke pusat batik, dan toko oleh-oleh. Nah, mungkin strategi ini bisa diterapkan di Kota Tua. Yang tak boleh ketinggalan adalah fasilitas pendukungnya seperti ATM atau sekadar kamar kecil yang bersih dan nyaman.
Tentu penataan ini tidak mudah, polemik sudah pasti terjadi. Namun apabila pendekatan secara intensif dan figur pemimpin bisa menjadi contoh tentu rakyatnya akan manut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News