Gagal jadi PNS, Agus sukses jadi bos BPJS

Sabtu, 08 Oktober 2016 | 18:30 WIB   Reporter: Elisabeth Adventa
Gagal jadi PNS, Agus sukses jadi bos BPJS


AKHIR Februari 2016 nampaknya akan jadi momen bersejarah bagi seorang Agus Susanto. Pasalnya, saat itu ia didaulat menjadi orang nomor satu di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan periode 2016 – 2021. Agus menggantikan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan sebelumnya, Elvyn G Masassya.  

Agus tidak pernah menyangka bahwa puncak karier profesionalnya berbelok arah ke layanan jaminan sosial. Karena selama 25 tahun terakhir, kariernya di bidang perbankan berjalan mulus dengan posisi terakhir sebagai Senior Vice President Bank CIMB Niaga. Pria asal Tulungagung, Jawa Timur ini juga pernah menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Niaga Managemen Citra dan Presiden Direktur Dana Pensiun Bank CIMB Niaga.

Saat ditemui KONTAN di kantornya beberapa waktu lalu, Agus menguraikan awal mula perjalanan kariernya hingga bisa seperti sekarang ini. Agus sama sekali tidak pernah bercita-cita atau bermimpi bisa merintis karier sebagai profesional di industri keuangan. Maklumlah, latar belakang pendidikannya adalah Ilmu Sosial dan Politik. Gelar sarjana di bidang itu ia raih dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Makanya, begitu lulus kuliah, pria berusia 52 tahun ini hanya ingin merintis karier di instansi pemerintah dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). "Setelah lulus kuliah, saya mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tapi tidak lolos," ujar Agus.

Keinginan Agus menjadi PNS bukan karena dianggap sesuai dengan latar belakang pendidikannya, tapi juga karena profesi sebagai PNS di dekade 1980-an dianggap strategis hingga menjadi idaman banyak anak muda. Hanya Agus mengaku tak beruntung dalam kompetisi memperebutkan posisi di instansi pemerintah tersebut.

Gagal menjadi PNS, Agus tak menganggap dunianya lantas berakhir. Ia pun mulai mencari bidang usaha yang akan ditekuninya ke depan.

Sampai akhirnya Agus menjajal peruntungan untuk bekerja di bidang yang ia anggap jauh dari latar belakang pendidikannya, yakni perbankan. Kebetulan saat itu, tepatnya tahun 1991, Bank Niaga (kini CIMB Niaga) yang baru menjadi perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 1989 tengah mencari lowongan untuk pengembangan bisnis mereka.

Jalan hidup kali ini bersahabat dengan seorang sarjana sosial politik yang mencoba merintis karier menjadi seorang bankir. Setelah mendapatkan pelatihan dan bimbingan mengenai industri keuangan, ia pun ditempatkan dalam divisi institusi keuangan non-bank dan berhasil meraih posisi kepala divisi tersebut dalam beberapa tahun.

Setelah itu, Agus dimutasi ke divisi operasional Informasi Teknologi (IT) sebagai kepala divisi. Bidang IT yang baru berkembang di perbankan nasional pertengahan 1990-an menjadi tantangan tersendiri bagi Agus. Maklumlah, Agus bukan berasal dari disiplin ilmu teknik informatika.

Setelah mencicipi pengalaman dalam bidang IT, Agus kemudian dipindahkan menjadi kepala divisi bidang agen pinjaman sindikasi. Tak butuh waktu lama, Agus kembali mendarat di bidang baru. Jabatannya kali ini adalah kepala divisi bidang pemasaran dan pelayanan konsumen.

Kinerja yang dianggap mumpuni dari berbagai penugasan ini membuat Agus diangkat menjadi Presiden Direktur Dana Pensiun CIMB Niaga. Setelah itu, Agus ditarik kembali ke kantor pusat CIMB Niaga menjadi Senior Vice President serta merangkap sebagai Presiden Komisaris di PT Niaga Manajemen Citra, anak usaha CIMB Niaga yang mengelola gedung dan tenaga kerja perusahaan ini.

Semua karier ini diemban Agus dalam waktu 25 tahun di bank tersebut. Meskipun Bank Niaga sempat terkena imbas krisis ekonomi  yang melanda Indonesia di tahun 1998 dan mayoritas sahamnya sempat dikuasai oleh pemerintah Indonesia, Agus tak lantas pesimistis, apalagi memutuskan hengkang.

Agus tetap bertahan di bank tersebut sembari berharap kondisi perusahaan membaik. Harapan ini terwujud karena pada November 2002, Commerce Asset-Holding Berhad (CAHB), kini dikenal luas sebagai CIMB Group Holdings Berhad (CIMB Group Holdings) mengakuisisi saham mayoritas Bank Niaga dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

 Pada Agustus 2007, investor asal Malaysia ini berhasil menguasai seluruh kepemilikan saham di perusahaan tersebut dan mulai melakukan konsolidasi dan bertransformasi menjadi CIMB Niaga seperti saat ini.

Dalam perjalanan kariernya sebagai seorang bankir, Agus mengaku tanya hanya memiliki kompetensi soal keuangan tapi juga pasar modal.  "Saya dulu yang menangani seluruh kegiatan atau produk perbankan yang berhubungan dengan pasar modal," ujarnya.

Berawal dari iklan

Merasa memiliki pengalaman di industri keuangan serta paham mengenai pasar modal membuat Agus memberanikan diri untuk mengikuti seleksi menjadi direksi BPJS Ketenagakerjaan tahun 2015. Ia mengaku melihat lowongan direksi BPJS Ketenagakerjaan secara tak sengaja di salah satu stasiun televisi dan hari berikutnya membaca kelengkapan lowongan tersebut di surat kabar.

“Waktu itu saya tertarik karena ada lambang burung garuda di lowongan itu dan ada tulisan ‘BPJS memanggil Putera – Puteri Terbaik Bangsa’,” kenang dia.
Dalam lowongan tersebut terdapat lima kriteria yang diharapkan, yaitu berpengalaman di dunia perbankan, dana pensiun, perusahaan asuransi, manajemen resiko, dan jaminan sosial. Agus menilai dirinya telah memenuhi kelima kriteria tersebut. Tekadnya untuk mendaftar seleksi pun semakin kuat.

Hanya saja, ketika memutuskan mendaftar menjadi calon direksi BPJS Ketenagakerjaan, Agus mengaku belum mengetahui apa yang akan dilakukan jika berhasil terpilih. Makanya, ia pun bertanya kepada rekan-rekan kantornya guna memperoleh masukan tentang pekerjaan sebuah lembaga jaminan sosial seperti BPJS ini.

Pengetahuan soal lembaga yang dahulu bernama Jamsostek ini pun terbilang minim dan daftar riwayat hidup yang disusun pun seadanya. Praktis, ketika itu hanya tekad kuat dan pengalaman soal keuangan saja yang dibawanya untuk menjadi direksi BPJS Ketenagakerjaan.

Namun, sekali lagi nasib baik kembali bersama Agus dalam ikhtiarnya menjadi direksi BPJS Ketenagakerjaan. Ia selalu lolos tahap seleksi mulai dari tes tertulis hingga wawancara dan ditetapkan sebagai direksi BPJS Kesehatan oleh Panitia Seleksi (Pansel) Direksi BPJS Kesehatan yang dibentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tak hanya terpilih menjadi direksi, Agus bahkan meraih posisi nomor satu di Badan Hukum Milik Negara tersebut.

Kebetulan BPJS Ketenagakerjaan baru bertransformasi dari Jamsostek pada 1 Juli 2015 lalu dengan mengedepankan program jaminan sosial kepada para pekerja di Tanah Air yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dan jaminan pensiun (JP) bagi tenaga kerja serta keluarganya.

Alhasil, Agus pun ditunggu sejumlah pekerjaan yang tak ringan. Ia melihat ada dua tantangan yang harus dihadapi perusahaan yang dipimpinnya ini. Masing-masing adalah kemampuan dan kemauan para pekerja untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sampai saat ini, baru 17% atau 20 juta pekerja Indonesia yang jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Dari program yang ada ini, layanan JP memiliki jumlah peserta paling minim.

Karena itu, selain meneruskan program yang sudah ada, langkah pertama yang dilakukan sebagai pimpinan di BPJS Ketenagakerjaan adalah melihat dan melaksanakan peta jalan (roadmap) perusahaan ini.

Sejalan dengan road map dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), target peserta BPJS Ketenagakerjaan di 2016 adalah 22 juta orang dengan target pengelolaan dana sebesar Rp 246,5 triliun. Pada tahun lalu, BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana kelolaan Rp 206 triliun.

“Pengelolaan dana menjadi hal penting bagi lembaga ini. Tapi, saya tidak mau terjebak mengejar hasil investasi tinggi kalau peserta BPJS Ketenagakerjaan belum maksimal. Jadi, fokus utama saya memperluas cakupan peserta,” terang Agus.

Agus mengaku akan menempuh cara menumbuhkan kemauan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya jaminan sosial ketimbang memaksakan kepada pekerja untuk menjadi peserta.

Untuk mendukung gagasan tersebut, BPJS Ketenagakerjaan sering melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat di berbagai daerah. Hal ini memang tidak mudah dilakukan karena butuh konsistensi.

Selain kesadaran terhadap jaminan sosial masih rendah, kendala lainnya adalah kemampuan pekerja untuk bayar iuran. Agus menyebut mayoritas pekerja di indonesia adalah pekerja informal yang memiliki upah pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak heran, pekerja semacam ini kesulitan untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya bagi jaminan sosial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 3 4 5 Tampilkan Semua
Editor: Dupla Kartini

Terbaru