LAYANG-LAYANG bukan lagi sekadar permainan kanak-kanak. Meski berawal dari kesenangan di masa bocah, namun hobi menerbangkan layang-layang bisa berlanjut dan tak lekang oleh usia. Bedanya, dulu yang dimainkan mungkin hanya layang-layang yang terbuat dari kertas dengan bingkai buluh bambu yang rapuh. Harganya pun cuma beberapa perak.
Tapi kini, layang-layang yang dimainkan berjenis stand kite yang harganya ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Maklum, kerangkanya saja terbuat dari bahan karbon atau fiber. Bentuknya pun dirancang dengan hitungan aerodinamika yang jeli. Hasilnya, layang-layang jenis ini sanggup berselancar di angkasa dengan kecepatan mengejutkan.
"Stand kite memang berjaya meski berada di bawah guyuran hujan," cetus Nai R.A., hobiis yang aktif di Museum Layang-Layang. Kendati harganya mahal, penggemar stand kite lumayan banyak.
Akhir pekan lalu, puluhan penggemar layang-layang, yang menyebut dirinya pelayang, tumpah ruah di Rancamaya, Bogor. Mereka saling unjuk kebolehan menerbangkan layang-layang. Tak peduli hujan mengguyur, mereka bertahan seharian menceriakan langit dengan stand kite warna-warni. Lain dari layang-layang artistik, desain stand kite tidak terlalu rumit, lebih menonjolkan akurasi simetris. Ukurannya pun hanya berkisar 1 x 2 meter.
Tapi, jangan berpikir gampang menerbangkan dan mengendalikan stand kite. Bila angin sedang bertiup kencang, beban yang mesti ditarik pelayang bisa mencapai 150 kg! Jika tak memiliki ketrampilan, pelayang justru bisa terseret sang layang-layang.
"Ini disebut sport kite karena seluruh badan pasti bergerak untuk mengendalikan layang-layang," ujar Agus Firano, Sekretaris Jenderal Federasi Layang-Layang Indonesia yang aktif di komunitas Art-kite.
Fokus juga feeling
Menerbangkan stand kite yang dikendalikan dua utas benang ini memang bisa menguras energi. "Bermain selama 10 menit saja, badan saya sudah sempoyongan kalau seorang sendiri," ucap Erdina, pelayang yang berprofesi sebagai akuntan di perusahaan asuransi.
Layang-layang besar yang memiliki tiga dimensi baru bisa diterbangkan dengan menggunakan layang-layang lain sebagai pilotnya. Biasanya layang-layang besar ini dibuat dengan prinsip mirip parasut dengan dua lapisan quadryfoil, tanpa kerangka, dan diberi lubang-lubang udara di satu sisi.
"Yang jelas ini adalah jenis green sport. Hanya butuh media layang-layang dan tenaga kita sendiri untuk beraktivitas," cetus Agus.
Untuk sekadar menerbangkan stand kite, menurut Agus, hanya diperlukan dua atau tiga kali latihan. Tapi, untuk bisa menjadi pelayang mahir, butuh waktu tahunan. Aksi mereka yang sudah mahir bisa sangat atraktif. Mereka tak cuma berlari ke sana ke sini.
Tapi ada juga yang menerbangkan stand kite sambil meluncur di atas skateboard atau sepeda roda tiga. Bagi mereka, melukis bentuk di udara bukan hal sulit. "Tinggal sebut mau seperti apa, balet, persegi, atau angka delapan?" tantang Agus, yang baru saja memenangi sebuah kejuaraan layang-layang internasional yang diikuti oleh 32 negara.
Bahkan, untuk gaya free style yang terbilang ekstrim, pelayang bisa mengendalikan stand kite untuk memecah balon, melepas topi dari kepala orang, hingga membuka tutup botol. Soalnya, di tangan orang yang ahli, stand kite bisa terbang menukik atau hanya melayang beberapa sentimeter dari permukaan tanah. Untuk bisa mencapai taraf itu, lanjut Agus, yang terpenting adalah tekun berlatih.
Ada tiga kunci bagi seorang pelayang, yaitu fokus, keseimbangan, dan feeling.
Kecanduan si Kupu-Kupu Kertas KEASYIKAN menunggangi angin dengan layang-layang kerap membuat kecanduan. Para pecinta layangan rela merogoh puluhan juta rupiah hanya untuk satu layang-layang. Liana, misalnya, mengaku memiliki puluhan koleksi layang-layang. Kecintaan pada layang-layang menjadikannya Presiden Art-Kite, sebuah komunitas layang-layang.Tidak sedikit pula, pebisnis atau pekerja di sektor formal yang akhirnya berbelok haluan menjadi pelayang profesional. "Mereka kemudian beralih menjadi kite maker atau pembuat layang-layang," ujar Agus Firano, Sekretaris Jenderal Federasi Layang-Layang Indonesia. Mereka yang telah mencapai taraf mahir tersebut kerap memamerkan kepiawaian mereka di kejuaraan atau festival layang-layang bertaraf internasional. "Artinya, mereka sengaja diundang oleh panitia untuk unjuk kebolehan," ujar Nai R.A., anggota komunitas Pelayang Indonesia. Selain aktivitas yang mengasyikkan, banyak pelayang juga terpikat dengan sejarah panjang si kupu-kupu artifisial ini. Versi yang dikenal luas, layang-layang lahir di China sekitar 2.000 tahun silam. Tapi, menurut Agus, gambar layang-layang yang dibuat sekitar 4.000 tahun silam telah ditemukan di sebuah gua di Muna, Sulawesi Tenggara. Lepas dari sejarah itu, Agus dan rekan-rekannya serius mengupayakan layang-layang sebagai salah satu cabang olahraga yang diakui pemerintah. "Kami sudah terdaftar di Menpora. Dan, Agustus depan akan melakukan deklarasi di Bali," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News