Minuman beralkohol lokal yang ingin mendunia

Rabu, 26 Juni 2019 | 16:46 WIB   Reporter: Ratih Waseso
Minuman beralkohol lokal yang ingin mendunia


MINUMAN BERALKOHOL - JAKARTA. Selain dikenal akan kuliner dan beragam rempahnya, Indonesia juga memiliki beberapa minuman fermentasi beralkohol lokal yang sudah ada sejak dahulu. Minuman fermentasi asli Indonesia biasanya berbahan dasar dari air nira yang berasal dari pohon lontar.

Mulai dari sopi NTT, arak Bali, Cap Tikus Minahasa, dan masih banyak lagi. Keberadaan minuman fermentasi biasanya dinikmati masyarakat saat acara adat di suatu daerah.

Namun kini minuman fermentasi lokal sudah mengalami banyak perkembangan, varian dan sudah adanya izin, standar dan pengawasan dari pemerintah yang membuat minuman lokal tersebut semakin bergeliat.

Salah satu minuman fermentasi lokal yang sudah mendapatkan izin beredar ialah Cap Tikus 1978 asal Minahasa. Sebagai satu-satunya cap tikus yang memiliki izin beredar Kepala Marketing Cap Tikus 1978 Mario Baraputra menyebut jika produknya mulai resmi meluncur pada Desember 2018.

Meski belum ada setahun Cap Tikus 1978 kini sudah memiliki pasar di seluruh Indonesia. Papua menjadi pasar yang paling banyak disuplai minuman berkadar alkohol 45% tersebut.

"Suplai paling banyak ke Papua banyak. Jadi setiap bulan bisa kirim sebanyak 2 sampai 3 kontainer ke sana," terang Mario yang ditemui Kontan.co.id.

Cap Tikus 1978 mulai merambah pasar di luar Sulawesi Utara pada Februari lalu. Harga ritel Cap Tikus 1978 adalah Rp 80 ribu ukuran 320 ml. Berkembangnya zaman dan sejak adanya izin, Cap Tikus 1978 memberikan sentuhan yang berbeda dengan inovasi kemasan yang unik.

Desain botol dibuat menarik agar tak kalah dari produk minuman fermentasi dari luar negeri yang sudah lama membanjiri Indonesia. Tak hanya desain, inovasi juga dilakukan pada varian rasa. Mario menjelaskan bahwa rencananya bulan depan Cap Tikus 1978 akan merilis rasa terbaru yaitu cap tikus coffee.

"Selain rasa kopi ada juga bartender sachet. Jadi ini model seperti sachet setiap pembelian satu botol gratis satu sachet dengan rasa beda. Ada formula 8 ada rempah-rempah isinya jahe temulawak aren dan lainnya sensasinya anget, seperti jamu. Akan ada 5 varian sachet nanti," sambung Mario.

Dalam satu hari Cap Tikus 1978 mampu memproduksi 5000 botol, suplai ke provinsi sebanyak enam kontainer atau sekitar 12 ribu karton. Satu karton berisi 12 botol cap tikus.

Bahan baku Cap Tikus 1978 sendiri diterangkan Mario didapatkan dari para petani nira yang menyetor ke pabrik. "Kita 100% petani, berdayakan petani, di pabrik kita hanya destilasi, misi kita buat produk ini adalah untuk bantu petani. Jadi ini bida dibilang jadi salah satu mata pencaharian masyarakat Minahasa," kata Mario.

Tren minuman fermentasi lokal saat ini disebut Mario mulai merangkak naik terlebih usai adanya dukungan dari pemerintah akan minuman fermentasi asli Indonesia tersebut.

"Ini lagi naik iya karena kita didukung pemerintah bea cukai. Pemerintah saat ini cukup ketat untuk minuman ilegal nah kita mengharapkan dengan adanya peraturan yang larang minuman ilegal maka produk lokal yang legal bisa berkembang, bisa bersaing di pasar Indonesia," harap Mario.

Tak hanya merambah seluruh Indonesia, Cap Tikus 1978 juga sudah mendapat tawaran ke luar negeri yaitu negara tirai bambu China. Namun saat ini Cap Tikus 1978 masih dalam tahap penyiapan izin untuk ekspor ke China.

Meski mulai merangkak naik tren minuman fermentasi asli Indonesia namun ada juga tantangan yang dirasakan. Mario menyebut bahwa edukasi mengenai apa itu cap tikus kepada masyarakat di wilayah Indonesia Barat kini menjadi pekerjaan rumah yang dirasakan.

"Untuk kita yang tinggal di wilayah barat Indonesia belum begitu kenal cap tikus. Nah kita harus berikan product knowledge orang pasti bertanya tanya apa sih cap tikus. Kok namanya ada tikusnya ini dari apa pasti orang akan bertanya seperti itu. Nah cap tikus ini kan sudah ada dari zaman dulu. Dari sisi popularitas cap tikus lokal spirit yang banyak orang tahu," terang Mario.

Satu lagi minuman fermentasi lokal yaitu arak Bali. Salah satu desa di Bali yaitu Desa Les Buleleng memiliki banyak home industri minuman fermentasi lokal berbahan dasar nira. Potensi akan minuman fermentasi lokal tersebut dibaca oleh brand Dapur Bali Mula.

Salah satu pegawai Dapur Bali Mula Nyoman Nadiana menceritakan bahwa minuman fermentasi sendiri sudah ada sejak dahulu dan menjadi tradisi yang turun-temurun. Berbeda dengan Cap Tikus 1978 yang sudah mendapatkan izin, arak asal Desa Les kini sedang berjuang untuk dapat izin beredar.

"Kita koleksi minuman. Kita tempatin guci tinggal izin kelas dan lainnya kita akan buka nanti. Semua tinggal menunggu izin. Kita masih tradisional sekali jadi citarasa berbeda dengan yang lain karena masih pakai bambu, itu kenapa warna arak kita kuning," jelas Nyoman.

Sama seperti Cap Tikus 1978, inovasi juga dilakukan guna terus eksis. Rasa lain dari arak Bali Desa Les selain original adalah arak nangka. Mengenai rasa nangka tersebut dijelaskan merupakan inovasi yang muncul dari banyaknya buah nangka saat panen di Desa Les.

"30 sampai 40% kadar alkohol, ada yang 53% cuma kadar alkohol itukan pengaruh dari cuaca karena kita masih alami belum pakai mesin. Kalau musim panas bisa tinggi kadar alkoholnya. Kita sedang berjuang agar ini bisa ada izin," kata Nyoman.

Pasar arak Desa Les sendiri baru di wilayah Bali lantaran belum terbitnya izin yang diajukan. Selain minuman fermentasi ada pula Juruh yang disebut Nyoman tak kalah dari maple syrupnya luar negeri.

"Juruh kita juga ngga kalah, tuak manis nggak kalah dari mapple syrup, tuak jadi gula. Ada dua jenis lontar cewek dan cowok yang berbuah cowok, setelah itu tuak dimasak dengan kayu ke sambi itu kenapa jadi tuak manis atau juruh itu, dididihkan hingga jadi setengah karamel. Maple syrup Bali lah," sebut Nyoman seraya menunjukkan Juruh.

Produksi minuman fermentasi di Desa Les sendiri terutama di Dapur Bali Mula adalah setiap 100 botol nira yang disetor petani desa maka 60% akan dibuat minuman fermentasi dan 40% sebagai juruh. Harga sendiri tergolong sangat terjangkau yaitu satu botol ukuran 600 ml dibanderol Rp 125 ribu.

"Kalau dilihat sih memang profit kecil tapi bangga karena ini minuman lokal dan lestarikan budaya lokal. Kalau itungan bisnis kita bisa katakan rugi karena pakai bambu, bambu itukan pasti ada yang nyerep cairannya kan. Tapi kita bangga karena lestarikan tradisi dan juga berdayakan masyarakat," kata Nyoman.

Sama seperti Mario, Nyoman juga sepakat jika tren minuman fermentasi tengah bergeliat. Angin segar dari pemerintah dimana semakin membuat minuman fermentasi dipandang juga sebagai produk pariwisata.

"Sebenarnya mindset orang kalau tidak aman diminum, tapi yang salah adalah cara minum, kalau tidak benar ya tidak aman, padahal kita buat semua alami," tegas Nyoman.

Saat ini tantangan yang dirasa dikatakan Nyoman ada pada ketersediaan bahan baku. Produksi minuman fermentasi dilakukan saat semester pertama atau musim panas. Hal tersebut lantaran banyak home industri yang masih sangat alami dalam pembuatan yang membuat musim hujan jadi kendala.

Ke depan Mario dan Nyoman berharap potensi minuman fermentasi lokal semakin eksis, semakin tingginya perhatian pemerintah akan membuat stigma negatif akan hilang.

Ditegaskan bahwa minuman fermentasi merupakan budaya atau tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang. Bahkan Cap Tikus 1978 kini sudah dapat ditemukan di store bandara di Minahasa sebagai oleh-oleh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 3 Tampilkan Semua
Editor: Yudho Winarto

Terbaru