Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara, selama ini lebih dikenal sebagai kawasan Segitiga Terumbu Karang Dunia. Di kawasan itu, tersimpan kekayaan 750 spesies karang laut dari total 850 spesies yang ada di dunia. Di luar itu, kekayaan Wakatobi ditambah dengan adanya 942 jenis ikan.
Selain menikmati keindahan kehidupan di bawah permukaan air, pesona Wakatobi terlihat dari kehidupan masyarakat di atas air. Ada satu suku yang menyebut diri sebagai orang laut, lahir, besar dan hidup di laut. Mereka menganggap, lautan luas adalah halaman rumah-rumah panggung mereka. Mereka adalah Suku Bajo.
Kedekatan dengan laut terlihat dari rumah Suku Bajo yang berdiri di atas air. Tiang-tiang kayu penyangga tertancap pada sela-sela karang. Di rumah panggung, mereka hidup, menyatu dengan ikan, perahu (lepa dan bodi), dan kehidupan laut di bawah rumah. Kini, sebagian perkampungan Suku Bajo sudah diuruk dengan bebatuan. Tiang kayu penyangga rumah berganti oleh batang beton. Jalan setapak beralas kayu juga sudah diganti oleh beton.
Tapi, ada yang tidak berubah. Kehidupan Kampung Bajo tetap tidak jauh dari laut. Kehidupan mereka masih tergantung dari hasil tangkapan ikan di laut. Jika cuaca bagus, para lelaki bisa berhari-hari di laut mencari ikan sampai ke Laut Flores dengan berbekal keahlian menggunakan bintang sebagai panduan melaut.
Kampung Suku Bajo di Mola Raya, Pulau Wangi-Wangi yang terdiri dari 1.800 kepala keluarga kini semakin terbuka pada dunia luar. Mereka mulai memperkenalkan kebiasaan dan kehidupan khas masyarakat Suku Bajo pada para wisatawan, baik dari mancanegara maupun lokal. Para pengunjung diajak masuk dalam kampung dan memahami pola hidup keseharian masyarakat Suku Bajo dari dekat.
Kanal di sela rumah
Meski sebagian besar rumah panggung Suku Bajo sudah berdiri di atas tanah dan batu padat, mereka tetap mempertahankan kanal-kanal di antara rumah sebagai sarana transportasi bodi-bodi kecil, dari laut ke rumah, pasar, atau ke tempat penjualan ikan. Air kanal bening karena air terus mengalir, mengikuti arus pasang surut.
Mungkin orang luar akan heran melihat para wanita Suku Bajo berbedak putih tebal, tanpa sungkan keluar rumah. Kebiasaan ini dilakukan baik oleh orang tua, remaja, maupun anak-anak. Bahkan, kaum lelaki juga kadang terlihat memakai, meski biasanya berkaitan dengan aktivitas melaut.
Bedak yang berasal dari campuran tepung beras, kunyit, dan rempah-rempah itu berfungsi sebagai pelindung kulit dari sengatan sinar matahari. Tanpa itu, kulit akan terlihat hitam legam. Sebaliknya, memakai bedak membuat kulit lebih dingin meski sinar matahari sedang terik.
Kehidupan melaut sebagai mata pencaharian adalah yang utama, melebihi pendidikan formal. Karena itu, para guru dan tokoh Suku Bajo berinisiatif membangun Sekolah Maritim, yang menjembatani kebutuhan akan pendidikan formal bagi anak-anak Suku Bajo, sekaligus mengasah kemampuan melaut. Kini, ratusan anak Suku Bajo belajar di sekolah itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News