Sruput kopi organik sembari memandang hutan bambu

Selasa, 15 Desember 2015 | 11:22 WIB Sumber: Kompas.com
Sruput kopi organik sembari memandang hutan bambu


DATARAN tinggi Bali tak sekadar menyajikan keelokan bentang alam dan seni budaya. Dari perkebunan di perbukitan tinggi, tanah Bali menyuguhkan kopi kualitas premium.

Tak melulu untuk kebutuhan ekspor, kopi produksi Bali kualitas nomor satu tetap bisa dengan mudah dinikmati di kampung sendiri. Di Kawasan Kintamani, kopi-kopi kebanggaan Bali ini bisa dijumpai di tepi jalur jalan raya Bangli-Kintamani. Salah satunya adalah Warung Kopi Hutan Bambu milik pasangan suami istri, Kadek Parwini dan Wayan Madra.

Warung kopi di Sribatu, Bangli, tersebut menyajikan keelokan pemandangan hutan bambu dengan kebun kopi yang seluruhnya organik. Wayan Madra mulai menanam kopi dari tahun 2009 dan mulai membuka warung kopi pada 2012. Seluruh pohon kopi di areal seluas 0,24 hektar tersebut ditanam dari bibit dengan sekitar 150 pohon.

Sembari menyeruput kopi, pengunjung bisa sekaligus berjalan-jalan di area kebun kopi, yang memiliki lahan datar ataupun berundak yang bersanding dengan hutan bambu.

Wayan Madra memilih hanya menanam pohon kopi jenis arabika karena paling digemari konsumen. Pelanggannya tak hanya wisatawan lokal, tetapi juga turis dari beragam negara.

Sebelum menanam kopi jenis arabika, petani di Bali sudah akrab dengan kopi robusta Bali. Kopi robusta berperawakan lebih besar dibandingkan kopi arabika. Penanaman kopi arabika skala besar mulai dirintis sekitar tahun 1980.

Menyeruput kopi sambil menikmati proses pengolahan di warung- warung kopi yang masih menyajikan unsur tradisi menambah kenikmatan tersendiri.

Biji-biji kopi yang baru dipetik dari kebun terlebih dulu dijemur selama beberapa jam sebelum dikupas kulit arinya. Pemetikan kopi benar-benar dipilih sehingga tak tercampur antara biji yang masih hijau dan yang merah matang. Kopi-kopi itu lantas disangrai dengan api kecil di perapian kayu.

Agar rasa kopi semakin wangi, kayu bakar yang digunakan adalah kayu jenis keras, seperti kayu cengkeh. Seusai disangrai, kopi kemudian ditumbuk sebelum dihidangkan dalam cangkir-cangkir mungil. ”Dimasak dengan kayu, rasa airnya jadi lembut,” kata Kadek Parwini.

Warung Kopi Hutan Bambu memberi cukup banyak pilihan jenis kopi. Ada sekitar 15 jenis kopi bubuk yang bisa dipilih dengan beragam ramuan herbal, seperti vanila, cokelat, kayu manis, kapulaga, dan serai.

Semua tanaman herbal itu dibudidayakan di sela tanaman kopi. Sembari menyeruput kopi, pengunjung sekaligus bisa memetik aneka tanaman herbal tersebut.

Pengunjung juga bisa menjumpai seekor luwak dalam kandang. Luwak tersebut hanya semacam ”pajangan” bagi turis yang penasaran dengan wujud luwak.

Kopi luwak di Warung Bali Hutan Bambu, menurut Kadek Parwini, diproduksi dari luwak liar yang bebas mencari biji kopi matang kualitas terbaik di areal perkebunan. Di sekitar Warung Bali Hutan Bambu terdapat delapan warung yang menyediakan kopi luwak dengan pemandangan kebun kopi.

Pasar internasional

Kopi luwak organik bubuk menjadi komoditas unggulan dengan harga Rp 450.000 per 200 gram bagi turis asing atau Rp 200.000 untuk wisatawan lokal.

Proses pengolahan kopi setelah dicerna luwak menjadikan rasa kopi Bali semakin pekat, tetapi seimbang dengan rasa asamnya.

”Luwak di sini bebas makannya. Harus bebas. Makan ayam makan buah. Beda rasanya kalau di kandang, makanan teratur. Biji kopi yang merah itu yang diambil,” kata Wayan Madra.

Pada puncak musim petik buah kopi yang berlangsung pada Mei hingga Juli, truk-truk pengangkut kopi dengan pelat nomor dari Pulau Jawa berseliweran di dataran tinggi Kintamani.

Dua tahun terakhir, kopi arabika menjadi primadona dengan sedikit aroma asam dan rasa kopinya yang pahit ringan. Uniknya, kopi arabika panenan dari Pulau Dewata ini banyak yang kemudian diekspor dengan nama kopi Bali, tetapi tak sedikit yang diberi label kopi gayo Aceh.

Bekerja sama dengan delapan kepala petani yang membawahi puluhan petani kopi di Bali, Agus Triono (50), pemasok kopi untuk wilayah Jawa Timur dan Bali, rutin memborong kopi arabika dari petani.

Kopi-kopi jenis arabika yang telah dikeringkan di panas matahari itu segera dibawa menuju penggilingan di Bandung, Jawa Barat, lalu diolah di Sumatera untuk diberi label sebagai kopi gayo. Dengan truk-truk berpelat nomor Jember, Jawa Timur, Agus mengirim 14 ton kopi arabika per hari dari Bali ke Bandung

Tak sekadar membantu pemasaran kopi arabika Kintamani, Agus turut membina petani dalam proses penjemuran dan pengolahannya.

”Sebelumnya, pengolahan cenderung asal-asalan seperti ketika mengolah kopi robusta, jatuhnya di harga Rp 22.000 per kg sudah siap konsumsi. Setelah dilatih, petani mulai paham. Kalau diolah, keuntungan berlipat, bisa jadi Rp 40.000 per kg. Kita beli mentah begini sudah di Rp 23.000 per kg,” kata Agus.

Ketika ditemui beberapa waktu lalu, Agus sedang sibuk mengarahkan proses penjemuran kopi yang baru saja dipanen. Biji kopi harus dipanen setelah buah memerah karena matang.

Biji tidak boleh diinapkan dan harus langsung diproses dengan penjemuran panas matahari. Karena kadar airnya yang lebih tinggi dan lebih asam dibandingkan kopi jenis robusta, arabika Kintamani cenderung pecah-pecah jika diolah secara tradisional.

Setelah dijemur selama tiga jam, biji kopi utuh dengan kulit ari yang masih menempel ini lantas dikirim ke Bandung. Bali menjadi salah satu penopang utama pasokan kopi gayo karena kualitas dan rasanya yang setara dan telah teruji lolos ke pasar ekspor penggemar kopi Aceh.

Selain dari Bali, panenan kopi arabika untuk Gayo juga dipasok dalam jumlah besar dari Jember dan Bondowoso, Jawa Timur. (Mawar Kusuma)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto
Terbaru