Reporter: Aprillia Ika | Editor: Test Test
MUSIK keroncong pernah jaya di zaman penjajahan di Indonesia. Bahkan banyak lagu-lagu perjuangan yang lahir dari langgam keroncong ini. Lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang juga begitu populer di Jepang sampai-sampai beredar versi bahasa Jepangnya.
Namun, seiring perkembangan zaman, jenis musik keroncong yang sedikit banyak mendapat pengaruh dari budaya Portugis ini pun mulai luntur. Musik yang selalu tampil dengan nada mendayu-dayu ini kemudian sering dicap sebagai musik jadoel. Sehingga, keroncong kurang diminati generasi muda saat ini.
Menurut Dyan Ardiwilogo, aktivis Yayasan Pecinta Keroncong Indonesia, salah satu sebab pamor keroncong kian pudar adalah kurangnya perhatian media, terutama televisi dan radio akan jenis musik ini. "Masyarakat sebenarnya masih antusias, tapi promosi dari media minim," keluhnya.
Ricky Reinal Yulman, aktivis Potpoury Keroncong Indonesia, salah satu komunitas pecinta keroncong yang berkedudukan di Bandung, juga bilang bahwa minimnya perhatian media membuat posisi tawar musik ini kalah dibanding musik lainnya. Sehingga, "Banyak grup musik yang manggung secara profesional tak dibayar secara layak," tukasnya. Ambil contoh kelompok Keroncong Merah Putih.
Selama 11 tahun berkiprah bayarannya tak lebih dari Rp 10 juta setiap kali manggung. Bahkan pernah hanya Rp 5 juta. "Padahal dalam sebulan hanya mendapat tawaran sekitar empat kali manggung," ujar Retno S. Purwanto, pimpinan Keroncong Merah Putih. Untuk mendobrak kurangnya apresiasi masyarakat ini, banyak artis musik keroncong melakukan kolaborasi dengan jenis aliran musik lain.
Dengan cara ini, banyak pihak yakin bahwa musik keroncong tetap bakal eksis dan diterima generasi muda. Contohnya, kolaborasi penyanyi keroncong Waldjinah dengan Chrisye yang beraliran pop. Atau kolaborasi Keroncong Merah Putih dengan grup musik De Panas dalam musik yang beraliran bebas.
"Baru-baru ini juga keluar album Bondan Prakoso yang memperkenalkan campuran musik rock dan keroncong," ujar Ricky. Hal tersebut membuat program musik keroncong di beberapa radio mulai menggeliat. "Selama ini media musik keroncong yang konsisten hanya TVRI melalui program Gebyar Keroncong," ujar Ricky yang diamini oleh Retno dan Dyan. Namun, banyak pemusik keroncong generasi lama yang tidak menyukai percampuran musik keroncong dengan aliran musik lainnya ini. Mereka khawatir hal tersebut akan merusak pakem asli musik keroncong. "
Hal ini membuat tumbuhnya lagu keroncong baru berlangsung stagnan," ujar Dyan. Parahnya lagi, selama lebih dari satu dekade, perusahaan rekaman yang mau menampung musik jenis keroncong hanya satu, yaitu Gema Nada Pertiwi (GNP). Nur Fauzi, Manajer Promosi GNP bilang, ceruk pasar musik keroncong saat ini sangat kecil. "Setahun, hanya keluar satu atau dua album rekaman ulang. Bukan lagu baru," ujarnya.
Dari tiap album pun hanya diproduksi 1.000 keping VCD. "Album produksi kami hanya laku di daerah-daerah karena radio dan televisi kurang mengapresiasi musik keroncong," tuding Fauzi. Untuk bertahan hidup,GNP kemudian menjual lagulagunya dalam bentuk Ring Back Tone (RBT). Minimnya alternatif perusahaan rekaman ini mendorong beberapa pemusik keroncong untuk mengeluarkan albumnya dalam secara indie.
Misalnya grup Kerontjong Toegoe. Grup musik yang sudah turun temurun 10 generasi ini sudah menelurkan tiga album sejak tahun 1999. Lagi-lagi, karena kurangnya apresiasi perusahaan rekaman serta televisi dan radio di Indonesia, grup musik ini sengaja memilih pasar Belanda sebagai pasar albumnya. "Sekali produksi, kami bisa buat 1.000 keping VCD," ujar Andre Michiels, Ketua Grup Musik Kerontjong Toegoe.
Sekali produksi biayanya hanya Rp 50 jutaan. Sementara harga per keping VCD sekitar Rp 300.000. "Kami bisa dapat margin sampai Rp 75 juta," tukas Andre. Dalam sebulan, grup musik ini bisa manggung 10 kali dengan tarif Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. Dengan tarif ini, Kerontjong Toegoe ingin menegaskan kepada banyak pihak bahwa musik keroncong bukanlah musik pengamen sehingga bisa dibayar murah. "Musik ini warisan budaya yang harusnya dihargai secara pantas," tegas Andre yang sudah 21 tahun menggeluti musik keroncong ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News