Jogja Hip Hop Foundation dan Molukka Hip Hop Community hadir mewarnai blantika musik Indonesia lewat karya-karya hip hop berbau budaya lokal. Kedua komunitas ini juga merangkul para rapper di Yogyakarta dan Maluku.
Liriknya tak biasa dan unik. Berbahasa Jawa, tapi dengan segala keunikannya yang mencampurkan musik hip hop dengan tradisi Jawa, lagu-lagu ciptaan Jogja Hip Hop Foundation (JHF) cepat mendapat tempat di masyarakat, khususnya warga Yogyakarta.
Lagu-lagu hip hop karya JHF, kini, sudah menjadi lagu rakyat di Yogyakarta, terutama lagu berjudul Jogja Istimewa. Lagu ini sudah seperti menjadi lagu perjuangan bagi rakyat Ngayogyakarta. Maklum, lagu ini merupakan ungkapan protes atas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
JHF yang berdiri tahun 2003 lahir dari tangan Marzuki Mohamad yang kala itu melihat kevakuman para pelantun musik hip hop dan rapper di Yogyakarta. “Merasa sayang dengan bakat mereka, saya lalu mendirikan JHF untuk membantu memproduseri dan mempromosikan mereka,” katanya.
Meski memakai kata foundation atau yayasan, sejatinya JHF adalah sebuah komunitas yang merangkul kelompok musik hip hop di Yogyakarta. Sebut saja Jahanam yang beranggotakan Heri Wiyoso dan Balance Perdana Putra serta Rotra yang berisi Janu Prihaminanto dan Lukman Hakim.
Jadi, JHF bukan sebuah lembaga resmi. “Aslinya ini adalah sebuah komunitas seperti ruang tanpa tembok yang siapa saja bisa masuk dan keluar,” jelas Marzuki yang punya dua nama alias atau a.k.a, yakni Kill the DJ dan Chebolang.
Melalui JHF, Zuki, panggilan sehari-hari Marzuki Mohamad, menyediakan wadah bagi para rapper di Yogyakarta untuk berkreasi. Ciri khas kreasi mereka adalah memakai bahasa Jawa untuk menyatukan kebudayaan lokal dan hip hop.
Untuk makin memperkenalkan hip hop Jawa, JHF yang setiap beraksi selalu memakai baju batik memulai kegiatannya dengan pentas di kampung-kampung di Yogyakarta. Maklum, komunitas ini bukanlah pelopor Java hip hop. Pionirnya adalah G-Tribe yang sempat menelurkan album Merangkak di tahun 1997.
Misalnya, JHF menggelar acara kecil-kecilan, It’s Hip Hop Reunion dan Angkringan Hip Hop. Lalu, pada 2006-2009, mereka memulai proyek Poetry Battle yang mengeksplorasi karya-karya puisi Indonesia, mulai dari puisi-puisi tradisional hingga kontemporer, dengan media hip hop. Dari proyek itu, JHF menghasilkan dua album kompilasi Poetry Battle 1 dan Poetry Battle 2.
Konser di Amerika
Zuki bilang, sebagai sebuah komunitas yang menonjolkan kreativitas, JHF merancang semua ide kreatif dari anggotanya dan kemudian menuangkannya secara jujur. Alhasil, ada respons atau tidak dari pihak lain, mereka tak terlalu ambil pusing. “Tidak ada yang ndakik-ndakik (muluk-muluk) dengan bahasa Jawa halus, yang penting bisa berekspresi jujur,” ujarnya.
Nah, hasil dari berekspresi secara jujur itu, JHF membetot perhatian dunia. Mereka mulai diundang ke panggung internasional, diawali dengan pementasan di Esplanade, Singapura, tahun 2009. Tahun 2011, tepatnya Mei lalu, JHF manggung di New York dan San Francisco, Amerika Serikat (AS).
Usai konser tunggal di Negeri Paman Sam itu, JHF mendapat banyak tawaran kerja sama. Yang sudah pasti adalah tur 10 kota di AS tahun depan.
Tahun 2010, JHF meluncurkan film dokumenter bertajuk Hiphopdiningrat. Ini merupakan sebuah potret perjalanan hip hop Jawa. Film itu mendapatkan respons positif dari berbagai media, bahkan diundang untuk mengikuti bermacam festival film internasional.
JHF bisa tetap eksis sampai kini lantaran mereka tidak memperlakukan hasil kreativitas anggotanya seperti sebuah produk. Ketika karya tidak laku di pasar, mereka tidak lantas bubar. “Karena, hip hop Jawa sudah jadi ekspresi keseharian. Sampai tua dalam situasi apa pun, akan seperti itu,” tegas Zuki.
Kini, tawaran manggung, khususnya di Yogyakarta, terus datang. Yang membanggakan, orang-orang yang menonton konser JHF di Yogya hampir semuanya memakai baju batik. “Bayangkan, ribuan remaja menggunakan baju batik, artinya ada efek ekonomi bagi para perajin batik. Itu sangat mengesankan,” kata Zuki.
Selain JHF, ada pula komunitas hip hop yang mengusung cita rasa lokal, yakni Molukka Hip Hop Community (MHC). Komunitas ini terbentuk 1 Juli 2008 di Ambon. Pendirinya adalah Morika Tetelepta, Franz Hayaka Nendissa, Berry Nepa Papilaya, serta Althien Pesurnay. “Ide awal membentuk MHC berawal dari keresahan kami masing-masing melihat perkembangan musik di Maluku yang tidak begitu baik,” ungkap Franz.
Kelahiran MHC juga terinspirasi komunitas hip hop yang tumbuh di berbagai daerah. Hingga tahun 2008, tidak ada satu pun komunitas hip hop di Maluku. “Karena itulah, akhirnya kami sepakat membentuk MHC,” beber Franz.
MHC merupakan sebuah komunitas lintas batas dan terbuka bagi siapa saja yang mencintai Maluku dan hip hop. Anggotanya yang tersebar di beberapa kota di Indonesia membentuk grup hip hop sendiri. Misalnya The Bakutumbu dan 8Ball di Yogyakarta, Bakutumbu Clan dan Karebounce (Jakarta), Bounty Crew (Salatiga), serta Sageru dan The Nunusaku Tribe (Ambon).
Kegiatan sosial
Awalnya, MHC mengalami kesulitan menggabungkan unsur musik modern hip hop dengan lokal. “Kalau untuk menggabungkan dengan lirik lokal tidak begitu sulit, karena dialek yang kami lakukan sehari-hari sudah seperti orang yang sedang rhyming atau ngerap, apalagi kalau mendengar suara masyarakat di kampung-kampung sedang berdiskusi,” ujar Franz.
MHC ingin mengangkat nilai-nilai budaya Maluku yang telah memudar lewat musik hip hop. Tujuannya tak lain agar masyarakat Maluku dapat kembali mengingat dan peduli terhadap budayanya sendiri.
Bagi MHC, hip hop sudah memberikan inspirasi lebih karena mengandung semangat perlawanan dan perubahan. “Hip hop adalah semangat perjuangan untuk menggapai perubahan. Hip hop merupakan senjata bagi kami untuk menyampaikan pesan ke banyak orang saat kata-kata tidak lagi didengar,” tegas Franz.
Makanya, bagi mereka, musik hip hop tak semata menjadi hiburan. Dalam musik hip hop, sebenarnya, juga terkandung nilai-nilai positif bagi lingkungan sekitar. MHC berharap, musik hip hop dapat memberikan dampak perubahan lingkungan ke arah yang lebih baik.
Meski begitu, dalam menuangkan kreativitas dan menyusun lirik lagu-lagunya, anggota HMC tak melulu mengedepankan kritik sosial. “Kami suarakan semuanya beriringan, tanpa melepas nilai sosial dan budaya,” beber Franz.
Warna musik MHC masih bergaya Amerika Serikat, tempat asal usul musik hip hop. Walau terkadang memadukan unsur-unsur etnik Maluku, lirik-lirik lagunya tetap mengangkat idiom-idiom lokal. Ini yang membuat karya-karya MHC disukai pemuda di Maluku. “Musik boleh saja global tapi kami mengerjakan lirik yang sangat Maluku,” imbuh Morika Tetelepta, pendiri MHC yang lain.
Untuk terus merangkul para rapper di Maluku dan kota-kota lainnya di Indonesia, MHC kerap melakukan pertemuan untuk mendiskusikan beragam isu, mulai musik sampai budaya. “Seringkali kami kumpul di rumah teman atau tempat makan,” tutur Franz.
Namun, ada keinginan MHC yang belum terlaksana hingga kini, yakni menggelar konser bersama dengan semua anggota dalam satu panggung.
Untuk memperkenalkan MHC ke khalayak luas, MHC menumpang situs jejaring sosial seperti Facebook, Soundclick, dan Reverbnation. Lewat situs-situs itu, mereka juga membagikan karya-karya mereka secara gratis.
Awalnya, MHC berpikir, dengan cara seperti itu, mereka mampu menyuarakan sesuatu kepada banyak orang tanpa harus berorasi. Namun, ternyata, “Ada keuntungan lain, maka ke depan, kami mungkin akan tetap berpromosi melalui situs jejaring sosial,” kata Franz.
Ya, nama MHC makin dikenal berkat situs jejaring sosial. Ini membuat mereka bisa bertemu dengan Glenn Fredly, penyanyi kondang asal Maluku, yang kemudian memproduseri album MHC Beta Maluku yang meluncur Mei 2011 lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “Tidak lama setelah beberapa kali diskusi, Glenn mengajak kami untuk mengangkat nilai-nilai budaya Maluku dalam bentuk album,” ungkap Franz.
Hanya saja, sebagai komunitas, MHC tidak hanya ingin menuangkan kegiatannya dalam musik hip hop saja, tapi juga dalam beragam kegiatan sosial. Contohnya, “Kami ngamen untuk membantu beberapa anak yang kekurangan biaya untuk operasi. Kami juga ambil bagian dalam beberapa aksi spontanitas untuk menolak beberapa aksi kekerasan yang terjadi di Indonesia, khususnya Maluku,” ujar Franz.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News