Berlari: Sehat dan tetap bisa makan banyak

Rabu, 17 Juli 2013 | 09:09 WIB Sumber: Mingguan KONTAN, Edisi 15 -- 21 Juli 2013
Berlari: Sehat dan tetap bisa makan banyak

ILUSTRASI. Rekomendasi saham hari ini, IPPE, BBRI, PGAS. /pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/08/02/2022.


Saban Ahad pagi dan Kamis malam, Indo Runners menggelar acara lari bareng bertajuk Sunday Morning di Jalan Sudirman-Thamrin dan Thursday Night Run di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. Dari puluhan orang yang ikut kegiatan rutin komunitas pecinta lari jarak jauh ini, tampak belasan kaum hawa.

Tak cuma sebentar-sebentar lari lantas istirahat lama di trotoar jalanan, lo, mereka berlari bak atlet maraton yang bisa menempuh jarak belasan kilometer. Atribut yang mereka pakai pun seolah ingin menunjukkan diri sebagai pelari sungguhan. Sepatu, kaus, dan celana lari. Pokoknya semua kayak atlet maraton, deh.

Tyas Faddilah, anggota Indo Runners yang hampir tak pernah absen dalam Sunday Morning dan Thursday Night Run, mengaku seringkali melihat muka-muka baru kaum hawa yang ikut kegiatan lari bersama itu. Maklum, lari jarak jauh kini lagi menjangkiti sebagian kaum hawa di Tanah Air.

Kok? Selain membuat tubuh bugar, dengan berlari rutin berat badan bisa berkurang drastis dalam tempo relatif singkat. Buktinya, ada yang bisa susut sampai 10 kilogram hanya dalam kurun waktu tiga bulan saja, dengan berlari rutin sejauh lima kilometer (km).

Tak aneh, banyak wanita yang menjadikan lari sebagai gaya hidup sehat. “Makan tetap bisa banyak, tapi badan bisa tetap terjaga,” ujar Tyas yang mulai suka lari sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Alasan itu juga yang membuat demam lari menular ke Olivia Aldisia. Cewek 25 tahun ini mulai menyukai olahraga ini sejak tahun 2010 lalu. “Lari juga lebih simpel dibanding olahraga lain,” kata dokter yang bekerja di sebuah rumahsakit di daerah Bekasi, Jawa Barat ini.

Ya, selain menyehatkan, Tyas juga memilih lari karena olahraga ini tidak ribet. “Di mana pun lari bisa dilakukan,” ujar perempuan 30 tahun yang sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi di Jakarta ini. Apalagi, wanita yang sudah bekerja seperti dirinya tentu mencari waktu untuk berolahraga, seperti fitness dan renang, pasti lebih sulit.

Menurut Ninit Yunita, salah satu pentolan Indo Runners, demam lari di kalangan perempuan Indonesia mulai mewabah tahun lalu. “Trennya baru dimulai tahun lalu,” kata penulis buku dan bloger ini.

Terlebih lagi, Ninit menambahkan, saat ini baju, celana, dan sepatu lari, serta aksesori untuk pelari perempuan sangat variatif dan menarik. “Itu juga yang membuat wanita lebih semangat,” imbuhnya.

Selain itu lari tidak memerlukan keahlian tertentu seperti olahraga yang lain dan murah. Tyas membandingkan lari dengan olah kebugaran (fitness) yang jauh lebih ribet serta menghabiskan banyak biaya.

Teknik lari yang benar

Meski tak membutuhkan keahlian tertentu, bukan berarti Anda bisa berlari seenaknya, ya. Ada teknik berlari yang benar agar bisa berlari jarak jauh tanpa jeda atau berhenti.

Tengok saja, kisah Maylaffayza yang mulai lari sejak September 2009. Awalnya, ia hanya mampu berlari selama tiga menit. Setelah latihan rutin selama dua bulan dengan teknik yang benar, dia bisa berlari tanpa jeda selama 30 menit.

Setelah sanggup berlari selama setengah jam, pemain biola profesional ini pun memutuskan mengikuti fun run sejauh lima kilometer bersama 6.000 peserta lain. “Itu pengalaman luar biasa, dan ini telah mengubah hidup saya, persepsi saya tentang berlari dan persepsi saya tentang kemampuan fisik dan mental saya,” beber Maylaf, panggilan Maylaffayza.

Maylaf sendiri tertarik lari lantaran terinspirasi oleh buku memoar novelis Jepang Haruki Murakami berjudul What I Talk About When I Talk About Running. Dulu, sebelum membaca buku tersebut, yang ada di kepala perempuan kelahiran 10 Juli 1976 ini adalah anggapan bahwa lari adalah olahraga yang tidak menyenangkan.

Saat masih sekolah, guru olahraganya tidak mengajari teknik berlari, melainkan hanya menyuruh berlari. “Setiap pelajaran olahraga jika ada lari, saya tidak kuat,” kenang Maylaf.

Setelah jatuh cinta pada olahraga ini, banyak pelari alias runner perempuan yang menjadikan lari tak sekadar untuk kesehatan, tapi juga prestasi. Ya, paling tidak prestasi memecahkan waktu terbaiknya.

Tyas selalu menghitung waktu dan jarak tempuh larinya. Dia selalu memotivasi diri untuk bisa memperbaiki catatan. Ia pun meluangkan waktunya tiga hingga empat kali dalam seminggu untuk berlari. “Rata-rata 5 km sekali berlari,” ujarnya.

Bagi pelari perempuan pemula, jarak sejauh 5 km, waktu tempuh yang dianggap normal antara 8 menit hingga 10 menit per kilometer. “Bisa meningkat lagi menjadi 5 menit per kilometer, kalau rutin berlatih,” tambah Olivia. Biasanya, para pelari punya program yang mereka susun agar bisa memperbaiki catatan waktu larinya.

Catatan waktu yang semakin baik, Tyas bilang, membuat banyak pelari perempuan semangat ikut lomba lari. Apalagi, belakangan lomba lari banyak digelar di Indonesia khususnya di Jakarta. “Tahun ini saya sudah lima kali ikut lomba lari 5 km dan 10 km,” katanya.

Bagi pemula, mencapai garis finis pada lomba lari 5 km sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. “Mendapat finisher medal tentu kebanggaan tersendiri,” ujar Tyas.

Tak puas hanya berlari sejauh 10 km, Olivia ikut Sundown Marathon 2013 di Singapura. Lomba lari sejauh 42 km itu start tengah malam. Ia berhasil mencapai finis dengan waktu 6,5 jam.

Menurut Ninit, para pelari wanita khususnya yang bergabung di Indo Runners sangat konsisten berlari. Mereka juga giat menyebarkan virus lari di lingkungannya dengan menggunakan media sosial, seperti Twitter dan Facebook. “Posting foto-foto mereka setelah lari atau saat lari sangat membantu memperkenalkan lari sebagai olahraga yang menyenangkan,” katanya.

Lari, yuk!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Catur Ari

Terbaru