Berusaha agar Cap Perusak Tidak Terus Melekat

Minggu, 27 September 2009 | 00:01 WIB   Reporter: Danto, Yudo Widiyanto, Azis Husaini,

090925_hacker_kI love Renny Yahna Oktaviana. Ren, rumah kamu pindah ke mana, sih? Hehe... Jangan cemberut terus, dong, senyum kamu manis. (E.L.R). Publik heboh. Betapa tidak, tulisan romantis itu terpampang di situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), 16 Maret 2008 lalu. Beragam komentar muncul. Hampir semua bernada miring. Betapa situs resmi sekaliber KPU bisa dibobol para hacker. Peristiwa ini kian menyudutkan citra para hacker sebagai biang keladi dan pembobol sistem komputer. Selain  kasus itu, masih banyak kasus pembobolan lain hasil ulah para hacker iseng. Benarkah hacker adalah perusak? Bila pertanyaan ini Anda ajukan pada Iwan Sumantri, Solution Manager Information Technology Professional Development Center PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), pasti ia menjawab tidak. Sebab, bagi Iwan, hacker sejatinya adalah orang dengan keterampilan mengutak-atik sistem yang terdapat dalam sebuah perangkat lunak komputer. Namun, bagi sebagian kalangan, mendengar kata hacker saja sudah mengundang pikiran negatif. Rada sulit memang memagari para hacker di dunia maya. Persis seperti hobi lain, ada sebagian di antara mereka yang berbuat negatif, mulai membobol situs hingga transaksi elektronik. Iwan mengakui, banyak hacker digunakan para pelaku politik untuk membuat kampanye hitam, menjual identitas orang lain, dan cyber crime. Mengutip situs Wikipedia, hacker yang kerap menggunakan keahliannya untuk kejahatan, masuk dalam kategori black hat hackers. Mereka inilah yang menerobos keamanan sistem komputer tanpa izin, umumnya dengan maksud untuk mengakses komputer-komputer yang terkoneksi ke jaringan tersebut. Kelompok ini juga kerap disebut sebagai cracker. Sementara itu, hacker yang menggunakan keahliannya untuk mengetahui kelemahan sistem komputer kerap disebut white hat hackers. Agar citra buruk hacker pudar, belakangan banyak bermunculan komunitas hacker. Iwan salah satu aktivisnya. Selain menjadi manajer kunci di bidang pengembangan teknologi informasi PT Telkom, Iwan juga menjadi Sesepuh Komunitas Antihackerlink. Antihackerlink adalah komunitas hacker yang terbentuk sejak tahun 1998. Anggotanya semua usia, dari usia sekolah hingga usia tua. Awal terbentuk komunitas Antihackerlink sebetulnya bertemu di forum chatting, barudak (anak-anak) Bandung, yang suka berselancar di dunia maya. Pertemuan di dunia maya ini lalu berkembang menjadi kopi darat. Belakangan, komunitas ini membentuk pengurus yang jumlahnya belasan orang. Dari daftar, tampak bahwa partisipan perkumpulan Antihackerlink datang dari seluruh Indonesia. “Kami berkomunikasi dan berbagi mengenai sistem komputer,” kata Iwan. Mencari jati diri Mari kita telisik sedikit apa saja kegiatan para hacker Antihackerlink ini. Saban minggu atau sebulan sekali, komunitas ini kumpul-kumpul di mal, seperti di Bandung Indah Plaza (BIP) dan Bandung Super Mall. Saat bertemu, menurut Iwan, mereka memang banyak membicarakan seputar teknologi informasi yang sedang berkembang. Karena kebetulan Iwan bekerja di Telkom, saat ini mereka mempunyai base camp baru, di Professional Development Center (PDC) Telkom, Bandung Jawa Barat. Demi menumbuhkan minat hacker agar selalu berbuat positif, Iwan kerap mengadakan kompetisi antar-hacker. Misalnya saja, pada April lalu, Iwan mengadakan Bandung Hacking Competition dengan perlombaan “Capture The Flag” dan “Website Defacement”. Kegiatan semacam ini, menurut Iwan, perlu diselenggarakan tiap tahun untuk menumbuhkan bibit-bibit hacker yang produktif. Terutama agar mereka menggunakan keahliannya untuk hal yang positif. Maklum saja, “Hacker di Bandung itu mayoritas adalah mahasiswa dan pelajar, jadi mereka masih mencari jati diri,” ulas Iwan. Dalam acara yang sering diadakan komunitas Antihackerlink itu, para hacker diarahkan menjadi security assignment, security accounting, dan security audit. Hasilnya? “Banyak dari mereka yang kemudian ditarik jadi konsultan security,” ujar Iwan yang berusia 40 tahun itu kepada KONTAN. Namun, supaya seorang hacker mendapat pengakuan legal bahwa ilmunya cukup mumpuni dalam ilmu hacking dan bisa diterima di industri, maka sekarang ada sertifikasi hacker. Selain itu, komunitas Anti-hacerling punya kode etik. Tak tertulis, memang, tapi anggotanya wajib mematuhi. Misalnya, tidak membobol mesin ATM bank dan tidak melakukan jual beli barang secara online. “Aktivitas seperti itu tidak kami perkenankan,” kata Arif Wicaksono, salah satu anggota komunitas Antihackerlink. Menurut Arif, banyak kegiatan di komunitas ini yang tidak melulu masalah komputer. “Sering bertemu ngobrol dan menjalin kekeluargaan,” ujar dia. Soal keahlian para anggota ini mengotak-atik jaringan komputer, jangan ditanya. Saking giatnya, Arif bilang, mereka sempat  menyewa sebuah warung internet (warnet) berkapasitas 10 komputer untuk latihan para anggota mengeksplorasi ilmunya. “Warnet tersebut tutup dan kami langsung sewa 24 jam, agar kami leluasa mengutak-atik jaringan,” ujar dia. Makanya, Arif mengaku bahwa ia mendapatkan banyak manfaat bergabung dalam komunitas hacker. Selain menambah ilmu, juga memperluas jaringan dengan mereka yang mempunyai minat sama. Alhasil, Arif merasa mendapatkan tambahan ilmu bidang TI. Bahkan, Arif mengaku bahwa bekal ilmu tersebut juga membuat ia lebih berkembang di dunia profesional. “Aktivitas hacking memberikan manfaat kepada saya untuk berkembang,” kata Arif yang bekerja sebagai staf divisi pelatihan di Telkom Bandung. Padahal, Arif tak punya bekal akademi ilmu teknologi informasi. Arif adalah lulusan jurusan teknik sipil salah satu PTN di Bandung. Saat mendengar tentang komunitas hacker, ia tertarik dan melibatkan diri. “Saya mulai menyadari bahwa di sinilah hidup saya,” ujar dia. Jim Geovedi, 30 tahun, juga mengaku mendulang banyak manfaat dari komunitas hacker. Jim pernah aktif di salah satu komunitas hacker berskala internasional bernama Hacker Emergency Responteam. Anggota komunitas terdiri dari 20 hingga 30 orang yang tersebar di seluruh dunia. “Para anggotanya dari Asia hingga Amerika,” tutur Jim. Jarang kopi darat Jim ikut dalam komunitas ini pada 2003. Ia mengaku tertarik untuk bertukar pikiran mengenai sistem komputer dengan anggotanya. Bentuk komunikasi mereka memang sebatas di dunia maya, tanpa kopi darat.  Oleh karena itulah komunitas tersebut tidak memiliki struktur kepengurusan layaknya sebuah organisasi. “Karena keterbatasan jarak, hanya beberapa yang melakukan kopi darat,” kata Jim. Jim, yang sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan jasa konsultasi keamanan jaringan, Bellua Asia Pasifik, merasa mendapatkan banyak manfaat dari komunitas hacker.  “Ilmu saya justru saya dapatkan dari komunitas. Dengan proses trial dan error, ilmunya semakin baik,” kata dia. Kini, berkat keahliannya yang terasah, Jim sering dipercaya untuk menciptakan sistem keamanan dari instansi perbankan, asuransi, industri telekomunikasi, dan berbagai perusahaan di Indonesia. Makanya, Jim membantah anggapan masyarakat bahwa para hacker identik dengan kegiatan negatif yang merusak. Jim menilai kegiatan hacker bermanfaat untuk mengetahui kesaktian sistem keamanan jaringan si pemilik. Dengan begitu, pemilik jaringan bisa mengantisipasi kebobolan yang merugikan. “Selama ini yang banyak diliput di media hanyalah hacker-hacker perusak, padahal tidak semua negatif, lo,” kilah dia. Manfaat komunitas hacker juga dirasakan Ammar W.K. Anggota komunitas hacker bernama Echo ini mengaku lebih banyak menghasilkan riset yang mengagumkan dari komunitas. Anggota Komunitas Echo, menurut Ammar yang berumur 20 tahun ini, berasal dari segala umur, gender, kemampuan fisik, dan tingkat pendidikan. Berdiri sejak tahun 2003, anggotanya kini 13.000 orang. Namun,  Ammar menjelaskan, mereka yang berpartisipasi dalam forum bisa mencapai 26.000 orang. Soalnya, forum ini adalah forum terbuka. “Siapa pun bisa memulai untuk lebih giat belajar komputer,” ujar dia. Ammar bilang bahwa ia tertarik komputer sejak SMP saat mulai keranjingan game. Selanjutnya Ammar belajar soal virus dan pemrograman komputer. “Dunia IT sangat menarik bagi saya. Banyak hal baru yang bisa dipelajari di sana,” kata dia. Kendati tidak ada batasan, toh Ammar mengatakan bahwa tiap komunitas hacker punya aturan tidak tertulis sebagai kode etik. Seperti halnya Anti-hacerling, Echo menentang setiap perusakan yang berkaitan dengan kartu kredit curian. “Namun, kami serahkan aturan tersebut kepada masing-masing individu,” ujar dia. Ammar bercerita, pengalaman menariknya adalah menemukan celah (bug) pada salah satu content management systems (CMS). Sampai, ia bersahabat dengan pembuat sistemnya, meski tidak kenal satu sama lain secara pribadi karena hanya berkomunikasi di dunia maya. “Tapi, sering juga punya banyak musuh baru kala kita melaporkan kelemahan baik dari software ataupun sistem komputernya,” kata Ammar.

Berburu Sertifikasi Biar Diakui Orang boleh saja mempunyai anggapan negatif pada para hacker. Tapi jangan salah, sebagian hacker bisa menjadi tenaga ahli bidang teknologi informasi (TI) di sejumlah perusahaan ternama. Bagi para hacker, sesungguhnya tidak susah mencari pekerjaan. Banyak perusahaan yang bersedia memanfaatkan keahlian mereka yang mumpuni di bidang komputer. Namun, agar pengguna jasa hacker ini yakin bahwa mereka tak akan merusak, kini sudah ada sertifikat khusus yang menerangkan bahwa mereka bisa berlaku sebagai profesional. Sertifikat ini sekaligus menjadi jaminan si hacker bisa memegang kode etik untuk tidak melakukan kejahatan. “Saat ini banyak lembaga kursus hacker yang sudah memberikan sertifikasi ethical hacker secara legal,” kata Iwan Sumantri, salah seorang pengajar kursus hacker yang kini menjabat Solution Manager Information Technology Professional Development Center PT Telekemonikasi Indonesia Tbk (Telkom). Nah, salah satu lembaga yang ikut mengeluarkan sertifikat hacker ini adalah Professional Development Center (PDC) Telkom, Bandung. Lembaga ini yang menaungi komunitas hacker Antihackerlink, Bandung, yang berdiri sejak 1998. Lembaga pemberi sertifikasi lainnya adalah Inixindo, perusahaan penyedia jasa layanan pelatihan TI di Jakarta. Inixindo bekerjasama dengan EC-Council (lembaga sertifikasi ethical hacker) menawarkan sertifikasi hacker untuk melindungi perusahaan maupun instansi dari hacker iseng alias cracker. Peserta pelatihan bisa mendapat sertifikat hacker dari Inixindo setelah mengikuti aneka pelatihan, termasuk pelatihan tentang IT security. Pelatihan ini berisi pengetahuan seputar keamanan sistem teknologi, dan juga perlindungan terhadap sistem teknologi secara defensif maupun ofensif. Anda tertarik mendapatkan sertifikat ini? Gampang saja.  Serifikat diberikan tak ubahnya seperti lembaga pelatihan lain. Terlebih dulu, peserta harus mengikuti pelatihan dalam periode waktu tertentu. Setelah lulus, peserta mendapat sertifikat, dengan catatan mereka tetap memegang kode etik dengan tidak merugikan pihak lain. Sertifikasi ini cukup penting. Iwan mengatakan dengan pembelajaran ilmu hacking yang diformalkan, harapannya hacker bisa menyalurkan hobi ke arah yang positif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test
Terbaru