Cerita Prijono Sugiarto soal inovasi di ASII

Rabu, 15 Maret 2017 | 15:32 WIB   Reporter: Pamela Sarnia
Cerita Prijono Sugiarto soal inovasi di ASII


JAKARTA. Presiden Direktur PT Astra International Tbk (ASII) Prijono Sugiarto berbagi pengalaman soal bagaimana menerapkan inovasi di dalam perusahaannya. Prijanto yang akrab disapa Pri lantas berkisah tentang dua perusahaan yang menjadi contoh nyata keberhasilan Astra untuk menjadi terdepan dalam berinovasi.

Pertama inovasi model bisnis PT United Tractors Tbk (UNTR). Perusahaan ini menerapkan model bisnis berupa ekstentifikasi based on value chain. Inovasi ini tercetus saat Prijanto berpikir, UNTR tidak cukup menjadi penjual alat berat. Pertimbangannya, volatilitas dari bisnis alat berat terus meningkat tiap tahun.

Sebelum krisis ekonomi yang terjadi di 1998, penjualan alat berat didominasi sektor konstruksi. Namun penjualan alat berat semakin sulit karena kala itu pembangunan infrastruktur di rem. Volatilitasnya kembali meningkat ketika harga batubara jatuh yang mengakibatkan penjualan alat berat untuk sektor pertambangan turut tersungkur.

Tantangan yang dihadapi UNTR mendorong Astra menciptakan model bisnis baru. "Kekhawatiran saya di UNTR terjawab dengan membuat divisi subholding. Ini adalah satu proses, dari dua divisi jadi lima divisi," kata Prijono pada Seminar Innovnation di Hotel Raffles, Rabu (15/3).

Dari situlah lantas divisi UNTR terus bertambah. Astra mengembangkan divisi bisnis UNTR menjadi alat berat, kontraktor, dan pertambangan. Divisi konstruksi pernah membangun mal Pacific Place dan beberapa hotel.

Itu saja belum cukup, UNTR kemudian merambah subholding energi. Divisi ini menangani proyek pembangkit listrik berkapasitas 2 x 1.000 watt yang bekerja sama dengan Sumitomo Corporation dan Kansai Electric Power Co., Inc.

Yang kedua, Prijono mencontohkan bagaimana Astra melalui PT Toyota Astra Motor (TAM) terus berinovasi dalam mengembangkan produk baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Pengembangan produk baru untuk menciptakan segmen pasar baru.

Awalnya TAM mengandalkan Kijang yang merupakan mobil keluarga alias multiple purpose vehicle (MPV) untuk mendongkrak penjualan. Di era 2000-2001 harga Kijang berkisar US$ 22.000-US$ 25.000 atau sekitar Rp 45 juta per unit. Kemudian harganya secara rupiah naik terus menjadi sekitar Rp 300 juta namun tetap US$ 22.000-US$ 25.000.

"Harga Kijang naik berkali lipat, tapi in term US dollar tidak pernah naik. Ini menjadi tantangan di saat purchasing power masyarakat Indonesia tidak naik," kata Prijono.

Kemudian Astra berdiskusi dengan Toyota Motor Company, induk Toyota di Jepang, mencoba menciptakan produk baru yang sesuai dengan daya beli masyarakat Indonesia. "Kami berdiskusi dengan partner Jepang kami, bagaimana Indonesia yang 60%-70% membutuhkan mobil MPV bisa mendapatkan mobil seperti Kijang dengan ukuran yang hanya 80%-nya. Mungkin tidak semewah Kijang tetapi dengan harga 60% dari Kijang," papar Prijono.

Kemudian Astra meluncurkan "Kijang mini" yakni Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia yang menjadi pilihan baru dengan harga Rp 60 juta yang lebih terjangkau. Kijang mini ini lantas menjadi mobil low MPV pertama di Indonesia.

"Astra menjadi pionir menciptakan pasar segmen low MPV. Pasar kemudian berubah. Sekarang low MPV masih mendominasi 25%-30% dari total pasar Indonesia. Semula Astra dengan hanya dengan dua tipe, Avanza dan Xenia memiliki pangsa pasar 75%-78%. Hari ini dengan bertambahnya kompetitor, Toyota tetap bisa mempertahankan penguasaan pasar sebesar 50%.

Terakhir, Astra inovasi produk supaya bisa masuk ke segmen low cost green car (LCGC) dengan Toyota Calya dan Daihatsu Sigra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini
Terbaru