Dicky Sumarsono si kutu loncat yang sukses kelola Azana Hotel

Sabtu, 10 Februari 2018 | 15:15 WIB   Reporter: Jane Aprilyani
Dicky Sumarsono si kutu loncat yang sukses kelola Azana Hotel


INDUSTRI PROPERTI - Dengan bekal pengalaman bekerja di banyak hotel dan pendidikan manajemen hotel, Dicky Sumarsono memberanikan diri mendirikan perusahaan operator hotel bernama Azana Hotel & Resort Management pada tahun 2014. Walau baru empat tahun berdiri, Azana sudah mengelola 31 hotel di seluruh Indonesia. Ini kisahnya?

Berdiri pada awal tahun 2014, Azana Hotels and Resort Management dinilai mulai berhasil menancapkan kukunya di bisnis perhotelan Tanah Air. Penilaian itu didasarkan pada makin banyaknya hotel di Indonesia yang dikelola oleh Azana.

Keberhasilan perusahaan perhotelan yang bermarkas di Solo, Jawa Tengah ini tak lepas dari tangan dingin sang pemimpin yang juga pendiri perusahaan yakni Nicolaus Dicky Sumarsono.

Pria yang akrab disapa Dicky ini sekarang menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) alias Presiden Direktur Azana.

Saat berbincang dengan KONTAN beberapa waktu lalu, Dicky menyatakan, dirinya tidak pernah mengira bisa terjun di bisnis perhotelan. Apalagi, dia berasal dari keluarga dari strata ekonomi biasa-biasa saja, sedangkan untuk bisa berbisnis hotel pastinya membutuhkan modal yang besar.

Dicky kecil mengaku ingin menjadi pilot pesawat tempur, makanya ia berniat masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) dan menjadi prajurit Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Namun, sebuah momen mengubah jalan hidup pria kelahiran 16 Desember 1971 tersebut. Saat duduk di bangku SMA di Jakarta, Dicky mengaku masuk ke hotel untuk mengantarkan pesanan pastel yang merupakan bisnis yang dijalankan kakaknya.

Di situlah momen jatuh hati Dicky kepada hotel. Dia melihat hotel sebagai tempat yang menyenangkan karena semua terlihat rapi dan menarik. "Dalam hati saya, hotel kok bagus ya, karyawannya berpakaian rapi dan pelayanannya baik sekali," ujarnya sambil mengenang momen tersebut.

Dari situ pula, Dicky memutuskan untuk mengurungkan niat masuk AKABRI. Dia kemudian memilih untuk mendalami sekolah terkait perhotelan dengan masuk ke Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti.

Pada tahun 1991 atau ketika kuliahnya baru separuh jalan, Dicky memutuskan bekerja paruh waktu di Hotel Hilton Jakarta sebagai pramusaji (waiter). Hanya sekedar mencari pengalaman dan uang jajan tambahan, ucap Dicky.

Dicky yang ketika itu mengambil konsentrasi ilmu manajemen perhotelan menilai, apapun posisi pekerjaan di perhotelan harus dilakoninya sebagai titik awal. Dia berprinsip, tak ada waktu yang tepat jika hanya untuk sekedar menunggu pekerjaan dan banyak berpikir. Saya percaya bahwa posisi yang lebih baik akan kita temukan ketika kita sudah melangkah, katanya.

Setahun kemudian, Dicky pindah untuk posisi yang sama di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta. Menurut dia perpindahan bekerja itu lebih kepada mencari ilmu dari hotel tersebut.

Kata Dicky, meski posisi pekerjaan sama, namun karena manajemennya berbeda, pasti pengalaman yang diberikan juga berbeda. Dia yakin kelak pengalaman tersebut akan bermanfaat bagi peningkatan kariernya.

Setelah lulus kuliah tahun 1993, Dicky mendapatkan pekerjaan baru sebagai manajer restoran di Crown Prince Hotel Singapore. Selama enam bulan, Dicky menyerap ilmu dan membangun hubungan kerja (network) dengan lingkungan di sekitarnya.

Masih di tahun yang sama, Dicky kembali ke Tanah Air karena penasaran dengan informasi bahwa Planet Hollywood membuka restoran di Jakarta. Hal ini lantas menarik minatnya untuk bekerja sebagai supervisor di sana.

Tak sampai setahun di Planet Hollywood, pada tahun 1994, Dicky hengkang ke The Regent Hotel atau yang kini dikenal dengan nama Hotel Four Seasons sebagai manajer restoran.

Namun, keinginannya untuk berkembang membuatnya tidak cepat berpuas diri. Untuk menambah keahlian, suami dari Anita Sari ini memutuskan untuk meneruskan pendidikan perhotelannya di Belanda pada tahun 1995. Di negara tersebut Dicky menghabiskan waktu dua tahun dengan mengambil jurusan Food & Beverage Management di Hotel Management School Leeuwarden Holland. Di saat kuliah itu, Dicky juga mengaku bekerja di beberapa restoran steik Indonesia.

Tahun 1997, Dicky berhasil menyelesaikan pendidikannya dan langsung bekerja di restoran Fuddruckers, Jakarta.

Seringnya berpindah-pindah pekerjaan membuat Dicky dianggap sebagai kutu loncat. Dia menyebut banyak orang yang berpandangan negatif atas apa yang dilakukannya, namun dia mengaku tak ambil pusing. Sebab, dia memiliki alasan kuat melakukannya.

Menurut Dicky, untuk bisa menguasai ilmu manajemen perhotelan, seseorang tak cukup hanya belajar dan bekerja di satu tempat. Apalagi seseorang yang ingin berkembang dalam bisnis perhotelan harus memahami tentang hotel, pariwisata, dan restoran sekaligus.

Membuka hotel sendiri

Pada tahun 2002, Dicky memutuskan untuk pindah ke Semarang. Di kota lumpia itu dia kembali kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata Indonesia (STIEPARI) dan dua tahun kemudian atau tahun 2004

Setelah merasa pendidikan dan pengalaman manajemen perhotelan cukup, Dicky melancong ke Solo untuk bekerja sebagai General Manajer di Quality Hotel pada tahun 20042007.

Pada titik inilah, Dicky merasa dia harus mengaplikasikan pendidikan dan pengalaman yang dimilikinya untuk usahanya sendiri. Makanya, sambil bekerja, Dicky memutuskan untuk mendirikan Choice Plus Indonesia pada tahun 2006. Choice Plus adalah perusahaan konsultan manajemen hotel, restoran, dan katering. Choice Plus Indonesia ini menjadi embrio dari Azana Hotel & Resort Management. yang terbentuk pada 2014.

Dicky mengaku meski sudah mendirikan usaha sendiri, tapi dia masih tetap ingin mengasah kemampuannya dalam bidang perhotelan.

Apalagi bekerja di hotel membuatnya mendapat rekanan baru dan terus mengembangkan hubungan interpersonal dengan berbagai kalangan. Saya tidak pernah puas dalam memegang peranan di sebuah pekerjaan, tuturnya.

Oleh karena itu pada tahun 2007 hingga 2012, Dicky memutuskan untuk pindah ke The Sunan Hotel Solo sebagai General Manager. Hasil kerja yang memuaskan membawa Dicky menjadi direktur di PT Grahamulya Wirastama, holding company The Sunan Hotel Solo tahun 20122016.

Bekerja sebagai direktur tak membuatnya lupa untuk mengembangkan perusahaan yang dibentuknya. Dia pun kemudian meluncurkan Azana Hotel & Resort Management pada tahun 2014 dan menjadi CEO di tahun 2016.

Konsep bisnis yang dijalankan Azana adalah mengoperasikan hotel yang dibangun untuk semua kalangan masyarakat dan menjadikannya sebagai hotel modern bertema lifestyle.Untuk mengembangkan Azana, Dicky menggandeng relasi-relasi yang dimilikinya agar mau membangun hotel untuk dikelolanya.

Kini Azana Hotels sudah mengelola 31 hotel di seluruh Indonesia yaitu Jawa tengah, Jawa timur, Sumatera selatan, Bone, Jogjakarta, Kendari, hingga Jayapura.

Ada empat jenis hotel yang dikelola oleh Dicky selaku pemilik Azana Hotel, yaitu Pertama, Front One yang merupakan hotel budget tematik yang menyasar kalangan milenial usia 1830 tahun dibagi atas Front One Cabin untuk single traveler, Front One Inn untuk perusahaan dan keluarga,

Kedua, Front One Hotel untuk konsumen kelas menengah. Ketiga, Quin's Hotel untuk kalangan 3545 tahun, dan keempat, The Azana Hotel atau Resort untuk pengunjung usia 4060 tahun. Dari semua hotel yang dikelolanya, Dicky mengaku hanya satu hotel yang dimiliki sendiri yakni Front One Cabin di Solo. "Tahun 2018, akan tambah dua lagi di Solo dan Sragen," tambahnya.

Rencananya tahun 2018, Dicky akan mengelola 25 hotel lagi milik mitra di seluruh Indonesia. Menurutnya, dalam sebulan biasanya dia bisa membuka dua hotel baru dengan minimal luas 200 meter persegi hingga 20.000 meter persegi. Pertambahan jumlah hotel itu menunjukkan bahwa pertumbuhan bisnis hotel budget di Tanah Air tak terbendung lagi.

Agar bisa memenangkan persaingan bisnis, Dicky bilang, Azana memiliki strategi penjualan, meningkatkan nilai jual dengan desain interior yang menarik dan adil dalam berbisnis.

Selain itu, Azana juga lebih menyasar daerah yang belum banyak terdapat hotel. "Kami pilih bangun atau kelola hotel di daerah yang tumbuh, bisa menerima perubahan gaya hidup, dan daerah yang belum banyak hotel. Bukan di tengah kota yang izinnya susah dan harga tanahnya mahal," katanya.

Dia mengklaim dari 31 hotel yang sudah dikelolanya, tingkat hunian rata-rata 77%. Sedangkan untuk beberapa daerah seperti Jayapura, Madura, Jombang, Bone tingkat huniannya 90%.

Untuk menambah mitra, Dicky memiliki tiga strategi jitu yang membedakan Azana dengan operator hotel lain. Pertama, management fee 5% diambil hanya jika okupansi hotel di atas 40%, sedangkan di bawah itu, gratis. Kedua, Azana memiliki pemasaran online maupun offline dengan target 15.000 kamar per bulan. Ketiga, Azana memiliki sekolah perhotelan bernama Victoria Hotel School untuk mendukung penyediaan SDM bagi hotel.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 3 4 Tampilkan Semua
Editor: Rizki Caturini
Terbaru