Empuk Nian Dagingnya, Kental Sausnya

Sabtu, 18 Juli 2009 | 00:13 WIB   Reporter: Adi Wikanto

0907m2_40_dan_steak2TAK SULIT menemukan kedai penjaja steik di Jakarta ini. Maklum, kini, tak cuma restoran di hotel berbintang atau mal yang menjajakannya. Santapan berat berupa daging bakar itu juga menjadi andalan kedai-kedai yang  berlokasi di pinggir jalan. Soal rasa, tentu saja berbeda.  Masing-masing penjual steik tahu persis bagaimana caranya memikat para pelanggannya. Salah satu penjaja steik di Jakarta yang berhasil memikat pelanggan adalah Joni Steak. Kedai yang berlokasi di Jalan Samanhudi, Jakarta Pusat, ini tampaknya tahu cara memuaskan selera pengunjung. Tak usah heran bila pengunjung kedai ini membeludak. Saking ramainya, banyak pengunjung yang rela mengantre dengan duduk atau malah berdiri di halaman kedai. Jika tak ada menu yang istimewa, sulit membayangkan ada orang yang bersedia antre seperti itu. Dengan ukuran hanya 128 m2, kedai ini terbagi  menjadi dua bagian. Bagian kiri khusus untuk mengolah masakan, pemesanan, dan kasir. Adapun sayap kanan dan sebagian halaman untuk tempat makan. “Total ada 35 meja dengan daya tampung 140 orang,” ujar Joni Syamsul Bahri, pemilik kedai. Daging 103 kilogram habis saban hari Meskipun daya tampungnya cukup banyak, semua kursi di kedai ini tidak ada yang kosong. Seluruhnya terisi pengunjung yang antre ingin menikmati sajian Joni Steak. Jika usai membaca tulisan ini nanti Anda penasaran ingin mencobanya, ada baiknya menyiapkan diri dengan segudang kesabaran. Untuk mendapatkan kursi di sini, Anda harus mengantre.  Jika tak ada bangku yang kosong, Anda membutuhkan waktu minimal 40 menit sebelum akhirnya bisa mencicipi menu steik yang menjadi andalan dagang kedai ini. Maklum saja, saban hari, kedai ini kedatangan sedikitnya 300 pengunjung. Saban weekend, jumlahnya berlipat hingga 900 orang. Tak aneh, Joni mengaku menandaskan 60 kilogram (kg) daging sapi lokal saban hari. Joni juga menawarkan steik daging sapi impor. Tapi, daya serap pengunjung hanya 300 kg per minggu. Jika dibagi rata tujuh hari, berarti Joni menandaskan sekitar 43 kg per hari daging impor. Dus, total kebutuhan daging di kedai ini mencapai 103 kilogram per hari. Meski kedai ini menawarkan banyak menu, mayoritas pengunjung memang memilih tenderloin dan sirloin steak. 0907m2_40_dan_steakJoni tidak menggunakan hot plate untuk menyajikan steiknya. Seporsi steik di sini tersaji dalam wadah porselen berwarna putih terang. Meski begitu,  wadah itu tidak mengurangi panas daging bakarnya. Asap tampak menari-nari di atas daging yang telah berlumur saus jamur. Tak pelak, aromanya langsung menusuk semua indra perasa. Cobalah, iris sedikit lembaran daging itu, kemudian cocolkan dalam saus jamur yang kental. Setelah itu, biarkan lidah yang bekerja. Hm... dagingnya empuk, bumbu sausnya juga begitu terasa di lidah. Manis dan gurih bersatu padu menggetarkan lidah. Diakui oleh banyak pengunjung, salah satu pembetot mereka terus bertandang ke kedai ini adalah kangen pada rasa saus steik yang kental. “Bumbunya sangat kuat terasa di lidah,” ungkap Dewi, salah seorang pengunjung. Alhasil, banyak pengunjung yang minta saus tambahan untuk menuntaskan seleranya. “Sausnya hasil racikan sendiri, lo. Semua kami sesuaikan selera dan lidah orang Indonesia,” ujar Joni, berpromosi. Untuk urusan ini, Joni pelit membeberkan resepnya. “Rahasia dapur-lah,” seloroh dia. Tak hanya saus yang memikat, dagingnya juga gurih dan tidak berbau amis. Kali ini Joni bersedia berbagi resep. Sebelum daging dibakar, dia mengaku melumurinya dengan bumbu dan disimpan selama 6 jam agar bumbu meresap di tiap serat yang ada dalam daging. Selain steik daging, Joni juga menyediakan steik berbahan ikan tuna. Rasanya tak kalah istimewa pula. Dua potong tuna berlumur saus teronggok manis di piring. Seonggok acar berlumur mayones menjadi pendamping menu ini. Tak ada bau amis yang tersisa. Joni yang gemar olahraga membentuk otot dan tubuh ini  ini juga menyediakan menu diet di kedainya. Meski bahannya tetap daging, tuna, ayam, menu ini diolah sesuai kebutuhan penggemar olahraga fitness. Semua bumbu yang dipakai menggunakan bumbu-bumbu untuk orang diet. “Tapi, rasanya lezat,” ujar dia, kayak reklame. Untuk pelega tenggorokan, segelas keitna yang dibanderol Rp 8.000 bisa menjadi pilihan. Minuman segar hasil kawin buah jeruk dan buah kiamboy ini berasa manis dan kecut sekaligus. Menyegarkan mulut. Dengan memasang harga steik berbahan ikan hanya Rp 22.000 dan steik daging cuma Rp 28.000 (daging lokal) dan Rp 33.000 (daging impor), Joni mengaku saban hari bisa mengantongi omzet hingga Rp 10 juta. “Kalau weekend, jelas lebih gede lagi,” ujar Joni diselingi tawa berderai. Penasaran mencoba? Sekali lagi Anda harus siapkan kesabaran untuk antre.

Bukan Pemain Baru MESKI USIA kedai Joni Steak masih balita alias kurang dari lima tahun, nyatanya sang pemilik bukan orang baru dalam bisnis daging bakar. Joni Samsul Bahri kenyang pengalaman membakar daging. Sebelum mendirikan kedai di tahun 2005, Joni sempat melalang buana sebagai koki di berbagai restoran di Selandia Baru sejak tahun 1984 sampai 1998. “Tak ada pendidikan khusus yang saya tempuh sebagai koki. Saya belajar sendiri dari kakak saya,” ujar dia.  Maklum, tiga saudara Joni berprofesi sebagai koki di Selandia Baru dan Australia. Bosan di Negeri Kiwi, tahun 1998, Joni memutuskan berpindah ke Australia. Lagi-lagi, profesi sebagai koki menjadi pilihan ayah dua anak ini. Baru pada tahun 2003, Joni memutuskan balik ke Indonesia. “Itu pun karena saya ketahuan sebagai imigran gelap,” ujar Joni dengan tawa membahana. Setelah mencari-cari peluang bisnis di Jakarta, Joni pun lantas memantapkan diri membuka kedai steik. Berbekal duit Rp 20 juta, Joni membuka warung tenda di pinggir Jalan Samanhudi, Jakarta Pusat. “Pertama buka, kedai saya sepi kaya kuburan,” ujar dia. Tapi, berbekal pengalaman sebagai koki, resep steik Joni mulai memikat pelanggan. “Dari mulut ke mulut, kedai ini jadi ramai,” ujar dia. Joni kemudian memutuskan untuk menyewa ruko di belakang kedai. Saking ramainya, kakak Joni bahkan ikut membuka kedai tepat di seberang kedai Joni di 2007 demi menampung pengunjung. Baru tiga bulan lalu Joni memutuskan untuk membeli ruko itu  senilai Rp 3 miliar. Nantinya, lantai dua ruko tersebut akan dikembangkan sebagai tempat makan pengunjung. “Targetnya setelah Lebaran bisa beroperasi,” kata Joni.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test
Terbaru