Gagah-gagahan ala Jagoan Film Nippon

Sabtu, 25 April 2009 | 11:07 WIB   Reporter: Dikky Setiawan, Gloria Haraito,

0902m1_28_crl_cosplay2SUATU SAAT di sore hari, langit tampak cerah. Ichijoji Retsu memanfaatkan suasana itu untuk berkeliling kota dengan Suzuki Jimny-nya. Ia mengenakan celana putih dengan jaket kulit warna cokelat muda kesayangannya. Tapi, tiba-tiba monster Makuu menghadang laju Jimny Retsu. Makuu adalah sosok makhluk jahat yang telah lama ingin menguasai bumi. Tapi, Retsu selalu menggagalkan keinginan Makuu. Ya, Retsu memang polisi langit yang bertugas menyelamatkan manusia. Di lain pihak, dihadang seperti itu, Retsu tidak tinggal diam. Sambil mengangkat tangan ke atas, ia berteriak, “Souchaku!” Seperangkat alat tempur pun langsung membalut tubuhnya.  Langit berubah menjadi gelap, petir menyambar-nyambar. Kini, Retsu telah menjelma menjadi Gavan alias Gaban, lengkap dengan pakaian baja mengkilat. Pertikaian sengit terjadi. Gaban menendang Makuu hingga tersungkur. Berikutnya, giliran si monster di atas angin setelah berhasil membuat Gaban terpelanting. Lama bertarung, Gaban pun mulai mengeluarkan senjata andalannya: laser blade. Hantaman laser membuat tubuh Makuu terbelah dua. Dengan gagah, Gaban berdiri tegap di hadapan sang musuh yang baru saja dia taklukkan. Begitulah cuplikan aksi teaterikal Gaban dalam pertunjukan costume and play (cosplay) di sebuah pentas. Ya, kini aksi superhero Jepang seperti Gaban bukan hanya bisa dinikmati di film, melainkan juga di acara cosplay. Maklum, saat ini telah banyak pecinta tokoh-tokoh jagoan  Jepang yang menyalurkan hobinya lewat acara cosplay. Dalam kegiatan ini, pemain harus mengenakan kostum dan memerankan aksi superhero Jepang dengan penghayatan. Salah satu kumpulan fans superhero Negeri Nippon yang gemar menggelar cosplay adalah Komunitas Tokusatsu (Komutoku). Mereka terdiri dari para kolektor film, action figure, dan cosplayer (pembuat kostum). Tokusatsu sendiri berasal dari kata tokushou dan satsuei yang berarti film spesial efek (nonkartun). Sudah lama film spesial efek yang berkembang di Jepang adalah film tentang superhero. Akibatnya, istilah tokusatsu menyempit menjadi film jagoan Jepang. Berdirinya Komutoku berawal dari kecintaan para fans-nya semasa kecil dengan jagoan-jagoan imajinasi orang Jepun. Dulu, film-film tokusatsu seperti Gaban, Sharivan, Megaloman, Goggle V, hingga Ksatria Baja Hitam memang kerap hadir di layar kaca. Kenangan masa kecil itulah yang terseret hingga dewasa. Dari situlah awalnya muncul para fans tokusatsu. Salah satunya adalah Richfield Edbert Adiwidjaya. Nah, untuk terus memperluas komunitasnya, Richfield dan beberapa temannya berniat membuat sebuah film live action bertema tokusatsu. Sebelumnya, untuk mengetahui animo pasar, ia menerbitkan dulu majalah tokusatsu, yakni Henshin! Tak disangka, majalah ini cukup sukses dan berhasil menyedot ratusan pembaca. Sayang, majalah yang terbit pada Januari 2006 ini umurnya hanya setahun. Meski begitu, para pecinta tokusatsu tetap intens berkomunikasi melalui jagad maya. Akhirnya, pada 8 Mei 2007 mereka berikrar mendirikan Komutoku. Menurut Richfield, tokusatsu memiliki enam genre, yakni Kamen Rider alias pengendara bertopeng seperti Ksatria Baja Hitam; Super Sentai atau pasukan khusus seperti Goggle V; pahlawan metal seperti Gavan; manusia ultra seperti Ultraman; Kaiju alias monster seperti Godzilla; serta jagoan lainnya. Namanya juga komunitas. Kegiatan mengunduh dan menonton film menjadi kegiatan wajib anggota Komutoku. Richfield, misalnya. Dalam sehari dia bisa menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam hanya untuk menonton tokusatsu. Saat ini ia telah mengumpulkan ratusan keping DVD serta 400 gigabyte (Gb) hardisk berisi file-file serial tokusatsu. Tokoh superhero yang dia gandrungi adalah Ksatria Baja Hitam dan Ultraman. Selain menonton, Richfield juga rajin mengoleksi action figure, yakni miniatur tokusatsu yang terbuat dari karet, plastik, atau besi. Sepintas, bentuknya seperti mainan anak-anak. Uniknya, anggota Komutoku justru tak pernah memainkan action figure ini, tapi hanya memajangnya di lemari kaca. “Kalau perlu, lemarinya yang kedap udara biar tidak termakan usia,” kata Richfield yang juga Ketua Komutoku. Hingga kini, Richfield telah memiliki 200 unit action figure dengan harga beragam, mulai dari Rp 6.000 hingga Rp 10 juta per biji. Anggota Komutoku juga acap memanjakan hobinya dengan merancang kostum tokusatsu dan memainkannya di acara cosplay. Richfield pun telah mengoleksi empat kostum, yakni Gavan, Sharivan, Skullman, dan Garo. Untuk mendapatkan kostum itu, Richfield rela memburu hingga ke luar negeri. “Awalnya kami hanya ingin hunting kostum yang murah agar anggota Komutoku juga bisa memiliki,” kata dia. 0902m1_28_crl_cosplay5Serunya memburu kostum, lanjut Richfield, bukan hanya dalam mencari pakaian, tapi juga kreativitas menciptakan atribut yang mirip dengan tokoh tokusatsu yang digandrungi. Lantas, berapa dana yang dihabiskan Richfield untuk membeli sebuah kostum” “Tidak besar, hanya sekitar Rp 400.000 hingga Rp 30 juta,” kata dia, tersenyum tipis. Purnomo, anggota Komutoku, juga menjadi kolektor seperti Richfield. “Pokoknya jumlahnya cukuplah buat bikin satu toko,” kata Purnomo yang sehari-hari menjabat sebagai Asisten Manajer Personalia PT Wellcom Ritelindo Pratama. Malah, buat mengempit seluruh koleksinya ini, Purnomo telah menggelontorkan duit lebih dari Rp 30 juta. Namun Purnomo belum puas. Dia mengaku baru memiliki satu kostum tokusatsu orisinal beserta atributnya seperti helm, armor alias baju zirah, hingga bagian dalam kostum yang mendekati konsep rancangan. Itu pun hasil berburu ke berbagai toko tokusatsu di dalam negeri dan dari  anggota Komutoku lainnya. Purnomo juga tak pernah melewatkan kegiatan nonton tokusatsu. Dalam sehari, sekitar dua jam sampai tiga jam, dia nongkrong di depan televisi. Cara Purnomo memperoleh film pun beragam. Mulai dari hasil mengunduh di situs YouTube.com hingga berburu kepingan CD di Glodok. Pengalaman Abednego Tambayong tidak kalah seru. Manajer Pengembangan Bisnis dan Kreatif Wellcom ini juga anggota Komutoku. Abed, begitu ia kerap disapa, pun rajin mengo-leksi action figure. Bahkan, Abed berani mengoleksi action figure seharga Rp 1 juta per buah. Saat ini ia telah memiliki puluhan action figure. Untuk koleksi filmnya, dia menyimpannya dalam hardisk berkapasitas 250 Gb. Lebih dari itu, Abed gemar menyalurkan kreativitasnya sebagai desainer. Alumnus Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia (STISI) Bandung ini mengaku telah menekuni dunia fesyen sejak 1996. Bahkan, ia telah lama memfokuskan diri dalam desain kostum jagoan Amerika bukan Jepang. Baru pada 2008 ia berani merancang kostum tokusatsu. Sampai saat ini Abed telah berhasil merancang sekitar 80 unit kostum. Sekitar 50 unit merupakan rancangan orisinalnya. Menurut Abed, rancangan orisinal lebih susah ketimbang merancang sosok tokusatstu yang telah ada. “Sulitnya pada saat mencari materi yang sesuai dengan konsep,” tutur Abed. Padahal, tambah dia, kalau merancang kostum tokusatsu yang sudah ada, perancang hanya tinggal mengadaptasi dari desain kostumnya. Tapi, ya, itu tadi, karena dasarnya hobi, sesulit apa pun merancang sebuah kostum, tetap bukan persoalan bagi Abed. Abed pun menjadikan hobinya ini sebagai ladang duit. Tapi sayangnya, Abed emoh membeberkan jumlah fulus yang dipetik dari keahliannya tersebut. Yang jelas, katanya, bisnis fesyen kostum tokusatsu memiliki prospek yang cerah. Yang jelas, anggota Komutoku saat ini berkembang hingga melewati batas negara. Komutoku telah menyebar hingga ke Negeri Jiran Malaysia dan Negeri Gajah Putih Thailand.

DEMAM tokusatsu kini lagi menjadi tren sebagian orang muda di Tanah Air. Lihatlah, dari hari ke hari Komunitas Tokusatsu (Komutoku) makin meluas. Saat ini, Komutoku telah berhasil menjaring 1.424 anggota. Dengan anggota sebanyak itu, kegiatan Komutoku pun semakin bejibun. Misalnya saja, sejak awal berdiri pada 2008, sedikitnya Komutoku telah tiga kali menggelar perlombaan costume and play (cosplay). Tak cuma itu. Komutoku juga acap mengadakan workshop kabaret tokusatsu. Bahkan, di ajang kontes nasional, Komutoku telah mengikuti 13 kejuaraan dan selalu menyabet juara dua besar. Komutoku mampu meraih sukses, tentu tak lepas dari jalinan komunikasi di antara para anggotanya. Komutoku kerap mengadakan diskusi tokusatsu. “Kalau kumpul, pasti ada saja yang membawa laptop dan hard disk film tokusatsu,” ujar Ketua Komutoku Richfield Edbert Adiwidjaya. Mereka tentu mendiskusikan film yang lagi menjadi favorit masing-masing anggota, terutama soal seni dan teknik pembuatan filmnya. “Misalnya, bagaimana membuat kostum tokoh, atau anggota tubuhnya seperti mata yang bisa besar,” tambah Richfield. Selain mengagumi kreativitas film, pecinta tokusatsu juga mengambil nilai-nilai filosofis dalam cerita. Berbeda dengan film jagoan Amerika yang selalu membela kebenaran, menurut Richfield, ada kalanya film superhero Jepang menampilkan kepentingan pribadi tokoh filmnya. Contohnya, Kamen Rider Kabuto yang rela mengubah sejarah dunia demi kepentingan pribadi. “Nilai dari tokoh itu, yakni kalau kita berani memulai, harus berani juga mengakhiri,” kata Richfield. Demikian juga dengan Purnomo. Ia kagum pada tokoh Gavan karena sikap hidupnya. “Dia itu cinta alam,” kata dia. Abednego Tambayong pun sami mawon. Idolanya adalah Ultraman yang begitu peduli terhadap bumi dan membela kebenaran. Perilaku tokoh itu bahkan bisa memberi inspirasi terhadap profesinya sebagai desainer fesyen. “Setiap habis menonton film Ultraman, ide-ide kreatif dalam mendesain mengalir deras, sampai-sampai kebawa mimpi,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test
Terbaru