GBS: Sindrom langka mengirim Anda ke kursi roda

Selasa, 09 Agustus 2011 | 09:28 WIB Sumber: Harian KONTAN, 9 Agustus 2011
GBS: Sindrom langka mengirim Anda ke kursi roda

ILUSTRASI. Pelayanan nasabah di kantor cabang BNI, salah satu bank anggota Himbara di Jakarta, Jumat (16/5/2020).. KONTAN/Carolus Agus Waluyo


Muhammad Azka Arriziq dan Shafa Azalia tergeletak di ruang perawatan insentif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Dokter menyatakan, kedua anak yang masih berumur empat dan enam tahun itu menderita penyakit langka, Sindrom Guillain-Barre alias Guillain-Barre Syndrome (GBS). Demikian penuturan kedua orang tua Azka, Anto dan Rina.

Tak hanya langka, penyakit ini pun tergolong masih misterius. Pasalnya, tak ada data medis lengkap yang menjabarkan apa penyebab dan bagaimana awal munculnya penyakit GBS ini.

Berbagai studi medis hanya menyebut, GBS bisa menyebabkan kelumpuhan yang sering dijumpai pada usia dewasa-muda antara usia 15 tahun hingga 35 tahun. Beberapa kasus juga ditemukan pada pasien berusia antara 50 tahun sampai 74 tahun.

Namun, prevalensi GBS tidaklah banyak. Penelitian Central Medical Mayo Clinic, Amerika Serikat, menyebutkan, frekuensi kejadian serangan GBS terjadi antara 1 hingga 7 pada 100.000 orang per tahun. Secara sederhana, dalam waktu setahun, kemungkinan serangan GBS hanya terjadi pada 1-7 orang di antara 100.000 orang penduduk dunia.

Penelitian tersebut juga mencatat, penyakit ini jarang menyerang anak berusia di bawah 2 tahun. Pasien termuda yang pernah dilaporkan mengidap GBS adalah bayi berusia 3 bulan, sedangkan usia pasien tertua 95 tahun.

Berdasarkan jenis ras, 83% penderita GBS adalah orang kulit putih, 7% kulit hitam, 5% hispanik, dan 4% pada kelompok ras lainnya. Di Indonesia, penyakit GBS ini terekam menyerang Azka dan Shafa yang jauh dari usia produktif dewasa-muda di rentang 15-35 tahun.

Respons antibodi

Roul Sibarani, Neurologist Rumah Sakit Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Siloam Hospitals Semanggi, Jakarta, menyimpulkan, GBS bisa menyerang siapa pun. Memang berdasarkan rekam medis di beberapa negara, lanjut Roul, penyakit ini kebanyakan menyerang individu berusia dewasa-muda. Sebab, tubuh orang dewasa memiliki jumlah antibodi yang lebih banyak daripada anak kecil. Tapi, bukan tidak mungkin penyakit ini menyerang anak-anak.

Bisa jadi, GBS muncul akibat respon antibodi atas serangan virus. Serangan virus ini menimbulkan inflamasi atau peradangan, sehingga menekan atau merusak mielin atau selaput saraf tepi manusia. "Jadi ada kaitannya dengan antibodi. Ini merupakan reaksi antibodi terhadap benda asing atau antigen yang merusak mielin," tandas Roul.

Nah, seseorang menjadi lebih rentan terhadap penetrasi virus ketika kondisi tubuh tak berada dalam kondisi puncak. Alhasil, daya tahan tubuh sedikit menurun. Penurunan daya tahan tubuh ini bisa disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti perubahan cuaca. "Seperti orang yang terkena influenza saat musim pancaroba," jelas Roul.

Agar terhindar dari penyakit autoimmune seperti GBS ini, Roul menyarankan, kondisi tubuh harus dijaga betul. Dengan daya tahan tubuh yang baik, Anda bisa terhindar dari kemungkinan serangan virus atau bakteri penyebab penyakit. Salah satunya, GBS.

Roul mengatakan, gejala GBS banyak bermula dari rasa baal atau kesemutan pada fungsi motorik organ tubuh, seperti kaki atau tangan. Karena GBS menyerang begitu cepat, setelah rasa kesemutan tersebut akan beralih menjadi mati rasa. "Nah, pada kondisi ini perkembangan GBS sudah masuk tahap awal. Setelah itu, akan menyebar hingga ke paru-paru atau sudah muncul gejala neurologi. Ini berbahaya," tandas Roul.

Direktur Klinik Medizone Mulyadi Tedjapranata menjelaskan, penderita GBS pada fase lanjutan perlu mendapatkan perhatian ekstra dari tim medis. Sebab, serangan GBS bakal mengganggu saluran pernapasan dengan cepat. GBS akan melumpuhkan otot-otot diafragma paru-paru. Alhasil, saluran pernapasan tak akan bekerja optimal. Biasanya, kapasitas paru-paru bisa di bawah 20 mililiter (ml) per kilogram (kg). GBS bisa menyebabkan kerja paru-paru di bawah itu. "Bila itu terjadi, sudah harus ditopang oleh ventilator," ujar Mulyadi.

Virus lain bisa memperhebat GBS

Komplikasi bisa menyebabkan efek parah bagi penderita Guillain-Barre Syndrome (GBS). Serangan virus lain, seperti influenza, bisa mengakibatkan kematian.

Pada tahap kronis, GBS yang membuat lumpuh otot tubuh, akan menyebar dan melumpuhkan otot-otot besar di sekujur tubuh, termasuk otot diafragma. Otot diafragma ini sangat berperan pada proses sistem pernapasan seseorang. "Penderita akan mengalami gagal pernapasan," tandas Mulyadi Tedjapranata, Direktur Klinik Medizone, Jakarta.

Ini saja bisa terjadi tanpa adanya peran virus lain. Biasanya, keberadaan virus lain akan memicu GBS menuju ke keadaan kronis lebih cepat.
Untuk itu, Mulyadi berpesan, pengobatan pada penderita GBS fase awal harus dioptimalkan. Pemberian Immune Globulin sesuai porsi badan harus dimaksimalkan selama lima hari berturut-turut sejak penderita memasuki fase awal.

"Selain itu, adanya penetrasi virus lain dapat menambah beban pengobatan. Tanpa virus lain pun, pengobatan GBS terhitung sangat lama," ujar Mulyadi.

Sudah terdeteksi sejak 1830-an

Sindrom Guillain-Barre atau Guillain-Barre Syndrome (GBS) sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1830-an. GBS ditemukan oleh seorang ahli medis organ tubuh asal Inggris bernama James Wardrop pada tahun 1834. Di Amerika Serikat, penyakit ini diduga menyerang Presiden Franklin Delano Roosevelt.

Baru pada 1859, penelitian lebih serius dilakukan oleh neurolog asal Prancis, Jean-Baptiste Landry. Oleh karena itu, sebelum terkenal menjadi GBS penyakit ini sering disebut sebagai Landry ascending paralysis.

Tahun 1916, pakar kesehatan asal Prancis lainnya, Guillain dan Barre juga meneliti gejala penyakit ini. Mereka menemukan terjadinya peningkatan protein pada cerebrospinal fluid (CSF) tanpa disertai dengan peningkatan sel darah putih. Berkat penemuan orisinal peneliti itu, neurolog asal Prancis lainnya, Draganescu dan Claudian, pada 1927, menyebut sindrom ini GBS.

Namun, GBS juga dikenal dengan berbagai nama. Contohnya, idiopathic polyneuritis, acute febrile polyneuritis, atau post-Infectious polyneuriti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Catur Ari
Terbaru