Gudegnya Bu Cipto Tak Terlalu Jogja

Minggu, 31 Mei 2009 | 01:08 WIB   Reporter: Adi Wikanto

gudegbucipto2

gudegbucipto2
GUDEG memang makanan khas dari Yogyakarta. Namun, untuk dapat menikmati kelezatan masakan berbahan baku buah nangka ini, kita tidak perlu repot-repot datang ke sana. Gudeg Jogja kini sudah menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air. Di Jakarta pun ada banyak kedai yang mengandalkan gudeg sebagai menu jagoan. Dan, laris. Salah satunya adalah Gudeg Jogja Bu Cipto. Berlokasi di bilangan Pondok Pinang, kedai sederhana ini menyempil di antara hunian yang berseberangan dengan gedung Pondok Pinang Center. Seperti halnya warung padang, kedai Bu Cipto menggunakan etalase kaca untuk memajang semua hidangan yang tersedia. Agak susah juga kalau kita datang serombongan besar. Sebab, kedai berukuran mungil - 4 meter x 4 meter - ini hanya menyediakan empat meja dengan kapasitas empat orang per meja. Jangan berharap bisa menemukan ornamen modern di sini. Dinding kedai milik Bu Cipto ini tampil polos berbalur cat putih. Satu-satunya hiasan dinding yang menempel adalah satu papan menu. Sebagaimana lazimnya warung gudeg, kedai Bu Cipto juga hanya menjual gudeg sebagai andalan dagang. Nah, sebagai teman bersantap sayur legit itu, ada berbagai pilihan lauk: ayam opor, ayam bakar, telur pindang, olahan daging, ati ampela, plus tentunya sambal goreng krecek yang menggiurkan itu. Tak butuh waktu lama untuk menunggu. Sajian yang kita pilih segera diantarkan ke meja setelah kita menunjuk menu yang terhampar di etalase kaca. “Menu yang sering dipesan pembeli ada tiga, yakni nasi gudeg ayam, telur, dan nasi gudeg ampela ati,” cetus Ginah, nama asli Bu Cipto. Oh, ya, ada dua nasi gudeg ayam pilihan, yakni opor ayam dan ayam bakar. Sesederhana warungnya, sederhana pula sajian makanan olahan Bu Ginah ini. Beralaskan piring porselen biasa, seporsi nasi gudeg ayam terdiri dari nasi, gudeg nangka, potongan tahu, telur, sambal krecek, serta ayam yang berlumur areh, kuah santan kental. Tak lupa, satu sendok sambal hijau menambah lengkap santapan kita. Gudeg memang sangat pas disantap saat perut lapar sehabis beraktivitas. Aroma sayur gudeg yang wangi plus areh yang gurih itu langsung terasa menggelitik perut yang tengah keroncongan. Sewaktu kita kunyah pun terasa gudegnya tidak lonyot kendati lama merebusnya. Uenak tenan. Berbeda dengan ramuan gudeg asli Jogja yang sangat menonjol rasa manisnya, gudeg bikinan Bu Ginah menonjolkan rasa gurih. Rasa manis cuma tersamar di mulut. Jadi, gudeg Bu Cipto ini memang “tak terlalu Jogja”, tapi tetap mantap. Makin mantap ketika gudeg berpadu dengan sambal hijau yang pedas dengan aroma bawang yang kuat. Cukup membakar lidah. Tapi, kita malah tambah semangat untuk menandaskan gudeg hingga tak bersisa. Lebih lagi, sambal kreceknya juga medok rasanya. Tidak begitu berminyak, namun tetap menonjol rasa gurihnya. Hanya, rasa legit istimewa ini  tidak menular pada telur dan tempe bacem. Seperti kebanyakan olahan telur dan bacem, keduanya menonjolkan rasa manis. Meski begitu, kekenyalan tetap terasa pas di mulut. Begitu juga ampela ati yang tersaji dalam bumbu rendang. Gurih dengan semburat manis. Nah, yang benar-benar istimewa adalah ayam opor. Daging ayam sangat empuk dengan rasa yang top markotop. Gurih dengan sedikit rasa manis! Saat kita santap, daging ayam dengan mudah terlepas dari tulang belulangnya. Pun begitu dengan ayam bakarnya. “Ini sejatinya  dari ayam opor yang dibakar saja,” ujar Ginah. Biar kena pembakaran, daging ayam tetap empuk dengan rasa manis menonjol. Sayang, Bu Gino tidak menyajikan banyak pilihan sebagai pelega tenggorokan selepas menandaskan gudeg. Pilihan minum yang tersedia cuma teh, es jeruk, serta minuman ringan  lain. Meski begitu, Anda tetap tak akan bisa melupakan kenikmatan gudeg Bu Cipto. Apalagi untuk menikmati sajian gudeg Bu Cipto ini tidak butuh modal banyak. Nasi gudeg ayam hanya Rp 13.000, nasi gudeg ati ampela Rp 11.000, nasi gudeg daging Rp 11.000, dan nasi gudeg telor Rp 9.000. Untuk menambah lauk pauk seperti daging, ati ampela, dan telur, cukup menambah Rp 3.000 - Rp 5.000 sepotong. Dengan keunggulan rasa serta harga yang pas, pelanggan Bu Cipto bejibun. Lantaran tempat yang terbatas, pengunjung terpaksa antre. “Biasanya saat makan siang,” ujar Ginah. Jika malas mengantre, kita bisa memesan. Bu Cipto bilang, pesanan malah jauh lebih banyak ketimbang antrean pe-ngunjung. Pesanan itu pun tidak hanya datang dari pegawai kantoran di Pondok Pinang, tapi juga melebar ke Pondok Indah, Sudirman, hingga Kuningan. Khusus pengantaran di luar Pondok Pinang, pesanan minimal 100 boks. Adapun untuk seputar Pondok Pinang minimal 15 kotak. “Saban hari, minimal ada 50 hingga 100 kotak pesanan,” ujar Ginah. Dengan minimal harga tiap kotak sebesar Rp 20.000, Ginah mengantongi omzet sedikitnya Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Itu belum termasuk antrean pengunjung yang saban hari mencapai 50 orang. Jadi, tak harus jauh-jauh ke Jogja untuk mencicipi kelezatan gudeg, kan?

Suratan Takdir Menjual Gudeg GINAH, pemilik Gudeg Jogja Bu Cipto, barangkali ditakdirkan sebagai penjaja gudeg. Mulai dari ibu sampai sanak saudaranya banyak membikin kedai dengan menu andalan makanan khas Yogyakarta ini. gudegbucipto
gudegbucipto
Di Jakarta saja ada Gudeg Bu Darmo di kawasan Matraman. Bu Darmo tidak lain adalah bulik atau adik ibunya Ginah. “Dari Bulik, saya banyak belajar soal gudeg,” ujar Ginah. Selain Gudeg Bu Darmo, ada juga Gudeg Bu Hani di bilangan Mampang dan Cengkareng. Para pemilik warung gudeg itu, Bu Darmo dan Bu Hani, adalah sepupu Ginah. Ginah sendiri memulai usaha sejak tahun 1998 bersama suaminya, Cipto. Ia menyewa sepetak ruangan di Pondok Pindang sebagai tempat jualan. “Modalnya ketika itu hanya Rp 1,5 juta,” ujar Ginah. Awalnya, selain gudeg, Ginah menjagokan gado-gado sebagai menu andalan. Rupanya, para pengunjung kedainya lebih terpikat pada gudeg ketimbang gado-gado. Walhasil, hanya gudeg yang bertahan hingga sekarang ini. Bahkan, selang dua tahun kemudian, yakni tahun 2000, Ginah ekspansi usaha dengan mendirikan cabangnya di Jalan Ciputat Raya. Tahun 2002, cabang Gudeg Jogja Bu Cipto kembali bertambah. “Kami membuka lagi di Lebak Bulus,” tambah Ginah. Untuk mengoperasikan kedai-kedai itu, Ginah mengajak saudara-saudaranya untuk ikut terlibat. “Hitung-hitung belajar dulu sebelum buka warung sendiri,” ujar Ginah, dengan logat Jawa yang kental. Tahun ini Ginah juga berencana ekspansi. Bukan menambah jumlah warung tapi Ginah dan suami sepakat memperluas ruangan kedai-kedainya. “Ka-sihan pengunjung harus antre kursi melulu,” ujar Ginah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test
Terbaru