Inilah asal usul masyarakat Tengger di Jawa Timur

Sabtu, 05 Desember 2020 | 09:50 WIB   Penulis: Virdita Ratriani
Inilah asal usul masyarakat Tengger di Jawa Timur


BUDAYA -  Kawasan Bromo-Semeru ini telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Bukan hanya memiliki ekosistem unik berupa lautan pasir di ketinggian 2.050 mdpl, di sana juga terdapat beberapa danau di ketinggian 2.300 mdpl, antara lain, yang kesohor adalah Danau Ranu Pani.

Selain itu, salah satu yang menarik di kawasan wisata ini adalah masyarakat adat Tengger. Dirangkum dari laman Indonesia.go.id, bagi suku Tengger, Gunung Bromo dianggap sebagai gunung suci, sebuah lokus bersinggasananya Dewa Brahma.

Masyarakat Tengger tidak menarik diri dan memisahkan dari dunia ramai. Namun, masyarakat Tengger memiliki karakteristik budaya yang berbeda dari budaya masyarakat Jawa secara umum.

Baca Juga: Bunga edelweis, ini arti nama dan sanksi memetik bunga abadi

Mengenal keunikan suku Tengger

Menurut Sensus BPS 2010, masyarakat Tengger ialah subetnis Jawa. Keberadaannya menetap di sekitar dan dalam kawasan konservasi Balai Besar Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Tepatnya di Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang, di Jawa Timur.

Secara linguistik, bahasa Orang Tengger sering disebut bahasa Jawa Tengger. Bahasa itu memiliki lebih banyak kosa kata dari bahasa Jawa Kuno, dibandingkan bahasa Jawa Baru, yang digunakan masyarakat di sekitar Jawa Tengah. 

Merujuk riset PJ Zoetmulder, bahasa Jawa Baru lebih banyak menyerap kosa kata bahasa Arab ketimbang bahasa Jawa Kuno.

Selain itu, yang menarik adalah bahasa Jawa Tengger juga tidak memiliki sistem stratifikasi bahasa, sebagaimana bahasa Jawa Baru. Bagi Orang Tengger, semua orang, siapapun dia, didudukkan sama (padha) dan satu keturunan (sakturunan).

Karena konsep padha dan sakturunan itulah maka bentuk hubungan sosial masyarakat Tengger menjadi cenderung bersifat egaliter, tidak mengenal sistem stratifikasi yang kaku, tidak bergaya hidup priyayi, dan, lebih dari itu, juga memiliki rasa kekeluargaan serta solidaritas sosial tinggi.

Baca Juga: Jatim mengincar pelancong lokal melalui Kawasan Bromo Tengger Semeru

Asal-usul Suku Tengger

TRADISI YADNYA KASADA MASYARAKAT TENGGER

Secara historis cukup susah dipastikan siapa dan sejak kapan sebenarnya masyarakat Tengger berdomisili di kawasan Bromo-Tengger-Semeru itu. 

Namun sejalan ditemukan beberapa prasasti muncullah tafsiran dari para peneliti, bahwa masyarakat Tengger diduga kuat telah tinggal di sana sejak abad ke-10.

Di dalam Prasasti Walandit (tanpa tahun) bercerita tentang ketegangan antara Desa Walandit dengan para pejabat dari Desa Himad tentang status otonomi Desa Walandit. Orang-orang Walandit inilah yang diyakini sebagai cikal-bakal masyarakat Tengger. 

Dalam prasasti ini, Raja melarang penagihan pajak pada bulan titileman atau akhir bulan Kasada dari masyarakat Desa Walandit dan di sekitar wilayah keramat (hila-hila).

Baca Juga: Kangen liburan! Ini 29 kawasan ekowisata yang sudah dibuka terbatas oleh KLHK

Pasalnya sejak dulu kala di sana telah tinggal para hulun hyang, abdi dewata, yang pada setiap bulan Kasada mereka berserta penduduknya wajib melakukan persembahan pada Sang Hyang Gunung Brahma (Gunung Bromo).

Selain itu, ada pula Prasasti Lingga Sutan (929 M), Prasasti Jeru-jeru (930 M), dan Prasasti Gulung-gulung (929 M). Seorang antropolog Indonesia, Dwi Cahyono dari Universitas Negeri Malang menyimpulkan sekaligus meyakini, bahwa masyarakat Tengger telah mendiami kawasan di sekitar Gunung Bromo sejak Raja Sindok memerintah di abad ke-10. Orang Walandit itulah cikal bakal masyarakat Tengger.

Nama Tengger diambil dari akronim dua tokoh legenda, suami-istri yang bernama Rara Ateng (Teng) dan Joko Seger (Ger). Rara Anteng dipercaya ialah putri Raja Majapahit, sedangkan Jaka Seger ialah putra seorang brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger.

Selanjutnya: Kangen jalan-jalan? Yuk mengenang indahnya sunrise di gunung Bromo

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 Tampilkan Semua
Editor: Virdita Ratriani

Terbaru