Bagi telinga masyarakat kita, mungkin oshibana masih asing terdengar. Maklum, belum banyak orang yang memperkenalkan seni merangkai bunga dari Jepang ini. Padahal sebenarnya, seni ini sangat digandrungi kaum elite. Saking digemari, beberapa pehobi bahkan terbang ke Negeri Sakura untuk mempelajari oshibana.
Dalam bahasa Jepang, oshibana berasal dari kata oshi yang berarti tekan dan bana yang berarti bunga. Jadi, oshibana bisa diartikan sebagai seni merangkai bunga yang sudah dikeringkan dengan cara ditekan.
Mutia H. Prasodjo, seorang pehobi sekaligus penulis buku Aneka Desain Cantik Bunga Kering, mengatakan, seni ini baru hadir di Indonesia pada tahun 2002. “Sensei (guru) saya di Jepang pernah bilang bahwa oshibana adalah kesenian kaum elite," tutur Mutia.
Menurut dia, oshibana sebetulnya bukanlah hobi mahal. Karena, peralatan dan bahan baku yang dibutuhkan bisa diperoleh dengan mudah. Namun, menurut Mutia, hobi ini digemari kaum elite karena membutuhkan ketelatenan, kesabaran, serta waktu luang yang panjang.
Mutia bercerita, kaum elite menggemari seni ini lantaran kepingin menghadirkan bunga ke dalam rumah sepanjang tahun. Maklumlah, di negeri asalnya, Jepang, bunga hanya dinikmati saat musim semi.
Dalam melakukan oshibana, Mutia kerap melukis dengan bunga dan dedaunan kering. Selain itu, ia pun kerap menyusun bunga kering seperti bentuknya semula. Tak jarang Mutia pun membentuk bunga dan daun kering menjadi bentuk lain seperti manusia atau hewan.
Harus telaten
Seorang pehobi lainnya, Ani Sawaki, mengaku jatuh cinta pada seni oshibana setelah Mutia memperkenalkan seni ini, Juni lalu. Pehobi asal Manokwari, Papua Barat, ini hobi merangkai bunga kering lantaran seni ini tergolong murah-meriah.
“Tadinya saya hobi kerajinan manik-manik. Tapi setelah mengenal oshibana, saya tertarik karena bahannya ada di sekitar, lebih hemat dan mudah,” kata wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai pegawai negeri sipil itu.
Untuk mendapatkan pasokan bunga, Ani cukup memintanya dari tetangga. Bunga ini kemudian ia keringkan dengan menggunakan kertas buram, kertas minyak, busa tipis, pinset, dan plastik kedap udara. Bunga yang sudah dibalut ini lalu ditempatkan di antara dua bilah papan kayu, baru kemudian ditindih batu.
Ani menuturkan, proses pengeringan bunga ini bisa mencapai sepuluh hari. “Tapi tergantung daerahnya. Seperti di Papua, karena kering, lima hingga sepuluh hari juga sudah selesai,” tutur Ani.
Dalam rentang waktu itu, bunga harus disetrika berulang kali. Menurut Ani, kegiatan pengeringan ini membutuhkan ketelitian yang tinggi. Sebab, bila caranya salah, bunga bisa rusak dan jadi kecokelatan.
Bagi Ani, oshibana sangat bermanfaat sebagai kegiatan alternatif mengisi waktu luang bersama teman-teman dan keluarga di akhir pekan. Ani pun kerap melakukan oshibana untuk melepas penat setelah seminggu bekerja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News