"Kalau dilihat sih memang profit kecil tapi bangga karena ini minuman lokal dan lestarikan budaya lokal. Kalau itungan bisnis kita bisa katakan rugi karena pakai bambu, bambu itukan pasti ada yang nyerep cairannya kan. Tapi kita bangga karena lestarikan tradisi dan juga berdayakan masyarakat," kata Nyoman.
Sama seperti Mario, Nyoman juga sepakat jika tren minuman fermentasi tengah bergeliat. Angin segar dari pemerintah dimana semakin membuat minuman fermentasi dipandang juga sebagai produk pariwisata.
"Sebenarnya mindset orang kalau tidak aman diminum, tapi yang salah adalah cara minum, kalau tidak benar ya tidak aman, padahal kita buat semua alami," tegas Nyoman.
Saat ini tantangan yang dirasa dikatakan Nyoman ada pada ketersediaan bahan baku. Produksi minuman fermentasi dilakukan saat semester pertama atau musim panas. Hal tersebut lantaran banyak home industri yang masih sangat alami dalam pembuatan yang membuat musim hujan jadi kendala.
Ke depan Mario dan Nyoman berharap potensi minuman fermentasi lokal semakin eksis, semakin tingginya perhatian pemerintah akan membuat stigma negatif akan hilang.
Ditegaskan bahwa minuman fermentasi merupakan budaya atau tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang. Bahkan Cap Tikus 1978 kini sudah dapat ditemukan di store bandara di Minahasa sebagai oleh-oleh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News