Indonesia Mengajar mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah terpencil. Yayasan ini sudah mengirim 171 pengajar muda ke desa-desa pelosok di 14 kabupaten. Tujuannya adalah untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan di sana.
Mendengar cerita soal potret dunia pendidikan Papua yang buram dari seorang kawan yang menjadi pengajar di Bumi Cenderawasih itu, hati Ratih Diasari langsung miris. Sebuah keputusan besar pun ia ambil.
Perempuan 23 tahun ini langsung memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai corporate secretary legal officer di GCMednovation, sebuah lembaga pendidikan di Jakarta. Bahkan, Ratih mengambil cuti kuliah S2 Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ratih memilih bergabung dengan Indonesia Mengajar untuk menjadi tenaga pengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia. “Akibat saya memutuskan menjadi pengajar muda, beasiswa S2 saya dicabut oleh perusahaan lama,” katanya.
Tapi, Ratih sama sekali tidak menyesal dengan keputusan yang sempat membuat orangtuanya kaget itu. Saat ini, dia mengajar di sebuah sekolah dasar (SD) di Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Indonesia Mengajar yang digagas Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, menempatkan Ratih selama setahun di daerah tersebut. Desember ini adalah bulan keenam dia menjadi guru di Adaut. “Sejak mendengar cerita teman, saya kepikiran terus soal pendidikan anak-anak di desa tertinggal. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk ikut,” ujar pengajar muda angkatan kedua Indonesia Mengajar ini.
Indonesia Mengajar yang lahir tahun 2010 lalu memiliki misi ganda. Pertama, mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah yang membutuhkan. Kedua, menjadi wahana belajar kepemimpinan bagi anak-anak muda terbaik Indonesia agar tak semata memiliki kompetensi kelas dunia, tetapi juga pemahaman akar rumput.
Yayasan itu membantu mengisi kekurangan guru SD di daerah terpencil. Indonesia Mengajar mengirimkan lulusan terbaik perguruan tinggi di Indonesia yang telah dididik intensif untuk menguasai kapasitas kepengajaran dan kepemimpinan.
Menurut Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar, pihaknya memfasilitasi para pengajar muda untuk tinggal, hidup, dan belajar dari masyarakat setempat selama satu tahun. “Mereka bekerja di SD dan tinggal di rumah penduduk bersama keluarga baru mereka,” jelas Hikmat.
Tapi, tidak semua orang yang baru lulus perguruan tinggi bisa menjadi pengajar muda. Untuk menjadi seorang pengajar muda, ada beberapa fase yang harus dilalui. Pertama, fase rekrutmen yang terdiri dari tiga tahap seleksi: tertulis, wawancara, dan kesehatan.
Kedua, fase pelatihan yang dilaksanakan secara intensif selama tujuh minggu. Materi pelatihan tidak hanya mencakup keterampilan mengajar secara teori dan praktik, tetapi juga keterampilan fisik, belajar kreatif, leadership skill, problem solving, adaptasi masyarakat, advokasi, termasuk juga health and safety.
Ketiga, fase penempatan dan penugasan. Setelah melewati fase pelatihan, pengajar muda akan bertugas di berbagai pelosok Indonesia selama setahun di SD negeri atau swasta yang ditentukan bersama dengan dinas pendidikan daerah.
Ada 14 kabupaten di 14 provinsi yang menjadi tempat penempatan dan penugasan para pengajar muda Indonesia Mengajar. Ambil contoh Aceh Utara (Nanggroe Aceh Darussalam), Tulang Bawang Barat (Lampung), Lebak (Banten), Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Sangihe (Sulawesi Utara), Ndao (Nusa Tenggara Timur), dan Fakfak (Papua Barat).
Indonesia Mengajar menilai, 14 kabupaten ini merupakan daerah tertinggal yang kekurangan guru SD. Namun, yayasan ini sama sekali tak bermaksud menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan di Indonesia. Meski begitu, “Kami meyakini bahwa kehadiran putra-putri terbaik Indonesia sebagai guru akan ikut mendorong peningkatan kualitas pendidikan kita,” imbuh Hikmat.
Empat angkatan
Hikmat menuturkan, Indonesia Mengajar sudah mencetak tiga angkatan pengajar muda. Masing-masing angkatan terdiri dari 51 orang, 73 orang, dan 47 orang. Sedangkan angkatan keempat yang terdiri dari 47 pengajar muda siap diberangkatkan dalam waktu dekat. Tetapi, mereka tidak bekerja sukarela. Mereka tetap mendapat bayaran sebesar Rp 4 juta sebulan.
Tidak semua pengajar muda Indonesia Mengajar adalah orang-orang yang baru lulus kuliah. Tak sedikit dari mereka sebelumnya bekerja di berbagai perusahaan. Shally Pristine, salah satu contohnya.
Sama halnya Ratih, Shally juga memilih melepas kariernya sebagai wartawan di sebuah koran nasional untuk menjadi pengajar muda Indonesia Mengajar. Kini, dia mengajar di SD Negeri Oi Marai, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Lantaran terletak di wilayah terpencil, tentu daerah tempat Shally mengajar jauh dari kata layak. “Tanahnya tandus, hanya bisa ditanami jambu mede,” ucap pengajar angkatan kedua Indonesia Mengajar ini.
SD tempat Shally mengajar terletak di tepi jalan berbatu. Untuk bisa sampai ke sekolah, dia dan murid-muridnya harus berjalan kaki sekitar 20 menit sampai 45 menit. Namun, fasilitas sekolah seperti buku dan alat peraga cukup lengkap. Hanya, kualitas pengajarannya yang belum maksimal karena kekurangan pengajar.
Tak heran, Shally mengungkapkan, ada murid kelas VI di SD Negeri Oi Marai yang belum mampu membaca dengan fasih. “Masih butuh bimbingan,” ungkapnya yang mengajar mulai jam 07.30 sampai 12.30.
Yang lebih menyedihkan lagi, ada anak kelas VI yang tidak tahu pelajaran kelas I. Akibatnya, Shally harus mengajarkan kembali materi kelas I hingga V kepada anak didiknya yang sudah duduk di kelas VI. “Di sini penempatan kelas bukan lagi atas dasar kemampuan siswa, tetapi usia,” bebernya.
Pengalaman yang tidak jauh berbeda juga dirasakan Ratih yang mengajar di SD Negeri 2 Adaut. Ia mengajar di kelas III yang memiliki 47 siswa. Namun, sekitar 30 anak di antaranya belum lancar membaca. Bahkan, beberapa pelajar itu tidak tahu bagaimana cara mengeja. Ada juga yang tidak tahu huruf F, G, H, M, W, X, serta Y.
Kurang guru
Sebetulnya, jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak jauh, hanya sekitar 100 meter saja. Namun, karena mayoritas orangtua siswa bekerja sebagai petani rumput laut, mereka sering mengajak anak-anaknya bekerja selepas sekolah. Jadi, “Anak-anak jarang belajar di rumah untuk mengulang pelajaran-pelajaran yang mereka dapat di sekolah,” ungkap Ratih yang lulusan Fakultas Hukum UGM.
Arum Puspitarini Darminto, pengajar muda di SD Kristen Werain, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, juga punya kisah serupa. Ketika pertama kali mengajar, dia mendapati anak didiknya di kelas IV tidak tahu harus mulai menulis dari mana saat disodori kertas folio yang tidak ada garisnya.
Sebetulnya, Arum bilang, jumlah guru di SD Kristen Werain tidak kurang-kurang amat, ada kepala sekolah dan enam guru. “Tenaga pengajar baru kurang kalau ada guru yang ke luar pulau,” ujar Arum.
Kalau ada guru yang ke luar pulau, belum tentu dia bisa kembali dalam waktu satu hari. Bisa jadi empat hari kemudian ia baru kembali. Itu pun jika cuaca sedang mendukung. Sebab, kapal penumpang cuma datang empat hari sekali. Ditambah, “Guru di sana juga belum bisa membedakan antara keperluan pribadi dengan tugas mengajar,” sesal Arum.
Idem ditto dengan pengalaman Fatia Qanitat. Pengajar muda angkatan pertama Indonesia Mengajar ini membeberkan, di SD Bantan Air, Kabupaten Bengkalis, Riau, tempatnya mengajar, banyak murid yang belum bisa baca-tulis.
Fatia bercerita, guru di sana tidak memberlakukan syarat yang ketat untuk meluluskan anak didiknya. Contoh, asal bisa mengenal huruf, siswa bisa naik ke kelas II. Kemudian, jika bisa membuat tulisan sambung, murid bisa naik kelas tiga. “Mereka baca saja susah, belum tentu paham dengan apa yang dibaca,” terangnya yang menjadi guru kelas III. Ia mengajar pelajaran matematika, IPA, serta bahasa Indonesia.
Noveri Maulana, pengajar muda angkatan ketiga Indonesia Mengajar yang bertugas di SD Negeri 33 Battutala, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, merasakan kekurangan guru.
Guru yang bertugas di sekolah yang hanya punya 55 murid ini tidak rutin datang setiap hari. Sebab, hanya ada satu guru yang tinggal di Battutala. Yang lain tinggal di kota kecamatan. “Jarak dari kota kecamatan ke Battutala sekitar satu jam perjalanan dan mendaki, jadi guru hanya seminggu sekali datang,” ungkap lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, yang mengajar semua mata pelajaran di kelas empat, lima, dan enam SD Battutala itu.
Toh, semua kenyataan pahit itu tidak menyurutkan niat para pengajar muda Indonesia Mengajar untuk tetap mengabdi pada bangsa ini. Ini persis seperti moto Indonesia Mengajar: Ini negeri besar dan akan lebih besar. Sekadar mengeluh dan mengecam kegelapan tidak akan mengubah apa pun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News