Tahir akui tak pintar membuat kesalahan

Kamis, 29 September 2016 | 12:39 WIB   Reporter: Hendra Gunawan, Sinar Putri S.Utami
Tahir akui tak pintar membuat kesalahan


Menjadi pengusaha dan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia tidak ada di benak Tahir ketika muda. Cita-citanya sederhana, menjadi dokter. Namun garis hidup berkata lain. Anak pembuat becak itu kini memiliki bisnis di berbagai sektor di bawah Grup Mayapada.

Berdasarkan data Forbes per 26 September 2016, nilai kekayaan Tahir mencapai US$ 2,2 miliar. Hal itu menjadikannya orang kaya ketujuh di Indonesia dan ke 906 di dunia.

Padahal di tahun sebelumnya, Tahir berada di peringkat 10 besar di Indonesia dan di 1.105 di dunia. “Bisnis saya tiap tahun terus bertumbuh,” kata Tahir membuka perbincangan dengan KONTAN, Selasa (27/9) lalu. Saat ini, Grup Mayapada memiliki bisnis di banyak sektor, yakni sektor keuangan, properti, ritel, rumah sakit, dan media.

Di bisnis properti, dalam waktu dekat ini, Tahir akan melepas sebagian sahamnya di PT Mayapada Properti Indonesia melalui pelepasan saham di bursa atau  initial publik offering (IPO). Izin dari otoritas bahkan diperoleh, sehingga pada Oktober atau November tahun ini, Mayapada Properti bisa melantai di bursa.

Tahir tidak seperti pengusaha properti lainnya. Jika yang lain membeli tanah lalu membangun, ia lebih memilih membeli properti berupa gedung, lalu menyewakannya.

“Saya bukan pengembang. Saya membeli properti untuk rental income, saya cari pendapatan yang stabil,” kata pria kelahiran Surabaya 64 tahun lalu itu. Saat ini, ada sekitar sebelas perusahaan properti yang dimilikinya, yakni di Jakarta,  Bali, dan Singapura.

Selain properti, salah satu bisnis yang ingin ditumbuhkannya adalah healthcare atau rumahsakit (RS). Menurutnya, dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 240 juta dan kalangan menengah yang terus tumbuh, membuat bisnis rumahsakit memiliki potensi besar.

Melewati dua krisis

Setelah memiliki rumahsakit di Tangerang dan di Jakarta Selatan, rencananya pada November 2016, ia akan mendirikan tiga RS Mayapada baru. Dua di Jakarta dan satu di Surabaya.

Dengan modal yang dimiliki, Tahir yakin bisa menjadikan RS Mayapada menjadi tujuan kalangan menengah untuk berobat. “Supaya orang tidak lagi ke Singapura untuk berobat,” ujarnya.

Bapak empat orang anak ini mengaku sebagai salah satu pengusaha yang beruntung karena berhasil melalui dua krisis, 1997 dan 2008. Tapi menurutnya, hal itu bukan karena kelihaiannya dalam mengolah bisnis, melainkan karena kebodohannya.

Misalnya saja pada krisis yang terjadi tahun 1997-1998, di saat banyak bank terdampak krisis, tidak demikian dengan Bank Mayapada. Sebab, bisnis Bank Mayapada konservatif dan tidak banyak memiliki banyak utang valuta asing. Sehingga ketika dollar AS melonjak, Bank Mayapada tetap aman. “Itu karena saya tidak terlalu pintar membuat kesalahan,” ujarnya.

Begitu pun pada 2008, di saat bank-bank lain mengetatkan ikat pinggang akibat likuiditas minim, tidak demikian dengan Bank Mayapada. Menurut Tahir, banknya itu kebanjiran dana. “Waktu itu, dana kami naik dari Rp 4 triliun naik menjadi Rp 9 triliun. Banyak orang percaya menaruh uang,” katanya.

Dan di saat krisis 2008 pula menjadi langkah awal Tahir merintis bisnis rumahsakit. Saat itu, ia membeli RS Honoris dan diubahnya menjadi RS Mayapada.

Tahir bilang, saat ini semua sektor bisnis telah ia masuki, kecuali telekomunikasi. "Saya enggak ngerti. Di situ sudah banyak pemain besar," katanya.

Yang kuat menjaga yang lemah

Meskipun bisnis Mayapada saat ini tengah berkembang, Tahir sudah tidak ingin terlibat dalam seluruh bisnis miliknya itu. Ia sudah mendelegasikan bisnisnya itu kepada anak-anaknya.

Anak tertua, yakni Jane Dewi Tahir dipercayakan menjadi Wakil Presiden Direktur di Bank Mayapada International Tbk. Lalu anak kedua dan ketiga, yakni Grace Tahir dan Victoria mengurusi bisnis Hotel Fairmont, Duty Free Shoppers, dan Mal Bali Galeria.

Sementara anak bungsu dan anak laki-laki satu-satunya, yakni Jonathan dipercaya, menjadi CEO Mayapada Hospital dan salah satu perusahaan Tahir di Singapura. Selain itu para menantu Tahir juga diminta turut membantu mengurusi beberapa bisnis lainnya. "Kalau saya masih memegang peranan, dan semua keputusan harus dari saya, itu namanya konyol. Saya menyadari, waktu sudah tidak di tangan saya," kata pria yang kini berusia 64 tahun itu.

Tahir mengaku tidak khawatir bisnisnya akan mengendur di ketika ditangani oleh anak-anaknya. "Saya kasih kesempatan biar mereka maju ke depan. Kalau dia bikin kesalahan, kan dia akan belajar dari kesalahan itu," katanya.

Tahir mengakui bahwa ada juga konglomerat yang tidak mempercayakan bisnisnya kepada anak-anaknya. Menurutnya, itu karena dua masalah. Pertama, dia takut anaknya bikin kesalahan, kedua dia takut orang tuanya hilang pamor. "Saya dua-duanya tidak takut. Karena saya percaya bahwa masa Tahir sudah outgoing," ujarnya.

Tahir juga selalu mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa bukan yang tua yang menjaga yang kecil, melainkan yang kuat yang harus menjaga yang lemah. "Ini penting. Kalau yang nomor empat yang kuat, maka nomor empat yang harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap keluarga," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 Tampilkan Semua
Editor: Sanny Cicilia

Terbaru