Dirut Pelindo I: Dari Hutan nyemplung ke pelabuhan

Sabtu, 18 November 2017 | 18:15 WIB   Reporter: Noverius Laoli
Dirut Pelindo I: Dari Hutan nyemplung ke pelabuhan


PELABUHAN - JAKARTA. Kerja keras dan kemauan mempelajari sesuatu yang baru merupakan kunci sukses Bambang Eka Cahyana menjadi Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I). Meski gelarnya sarjana kehutanan, Bambang tak ragu mendalami pengetahuan seputar pelabuhan dan perkapalan. Di era kepemimpinannya, bisnis Pelindo I semakin berjaya.

Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I Bambang Eka Cahyana tak pernah bercita-cita bekerja di perusahaan yang mengelola pelabuhan. Karena mendalami pendidikan strata satu di bidang Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Bambang pun berharap bisa berkarir di perusahaan perhutanan.

Namun bisikan dari seorang teman baiknya mengubah haluan karier, bahkan hidup, Bambang. Ia justru berlabuh menjadi orang pelayaran, hingga menjadi orang top di perusahaan pelabuhan.

Meski tak memiliki latarbelakang pendidikan di bidang pelabuhan, Bambang boleh dibilang berhasil mengembangkan Pelindo I menjadi salah satu operator pelabuhan terbesar di Indonesia. Wilayahnya mencakup Selat Malaka, salah satu perairan tersibuk di dunia dengan rata-rata 217 kapal lalu lalang setiap hari.

Apa kunci sukses Bambang? Kepada KONTAN beberapa waktu lalu, Bambang membeberkan kisahnya.

Pria kelahiran Bantul, 15 Mei 1967 ini awalnya bercita-cita membangun karier di perusahaan perhutanan. Maka setelah lulus dari UGM pada tahun 1991, ia mendaftar ke Perum Perhutani.

Bambang diterima dan bekerja di Perum Perhutani Unit I di Jawa Timur sebagai staf biro satuan pengawas internal (SPI). Kala itu ia masih berstatus sebagai calon pegawai dengan gaji sebesar Rp 450.000 per bulan. Setelah bekerja kurang lebih satu tahun, ia bertemu salah seorang temannya yang sudah bekerja di PT Unilever Indonesia Tbk.

Kedua teman lama itu pun berbagi cerita tentang karier masing-masing, termasuk besaran gaji. Tapi betapa terkejutnya Bambang ketika mendengar temannya memperoleh gaji Rp 5 juta pada tahun 1991. "Saya membandingkan dengan gaji saya yang tak seberapa, mereka lebih dari 10 kali lipatnya," kata Bambang mengenang.

Menurutnya, temannya itu bisa mendapatkan gaji besar karena sudah menamatkan pendidikan strata dua (S2) dengan gelar MBA. Bambang pun tertarik mendapatkan gaji sebesar penghasilan temannya. Sejak itu, ia mulai berpikir untuk meneruskan kuliah. "Waktu itu saya berpikir, saya ini lulusan sarjana kehutanan, tapi di kantor disuruh-suruh saja. Kadang disuruh lembur, sampai tidur di kantor, kemudian masuk hutan. Saya kira saya tidak cocok bekerja di sini," terangnya.

Apalagi, setiap kali selesai bekerja ia kerap melihat anak-anak seusianya yang baru lulus bekerja di bank. Mereka itu rata-rata berpakaian rapi dan makan di mal. Sementara ia, yang juga lulusan dari universitas terkemuka, hanya mampu makan di warung sekitar mal.

Kondisi tersebut semakin menguatkan niat Bambang keluar dari pekerjaannya dan melanjutkan pendidikannya. Akhirnya pada tahun 1992 ia pun memberitahu niatnya untuk keluar.

Memang kala itu tidak mudah untuk keluar. Perhutani pun menyarankan Bambang untuk bertahan dengan iming-iming kenaikan jabatan. Ia juga harus berhadapan dengan orang tuanya yang ingin dia tetap di Perhutani.

Sebab pada waktu itu, menjadi karyawan di Perhutani merupakan suatu kebanggaan. Tapi hal itu semua sirna setelah Bambang bertemu dengan temannya yang mendapat gaji berlipat-lipat dari dirinya.

Akhirnya, tahun 1992, Bambang melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Tinggi Manajemen PPM dengan beasiswa penuh. Kondisi ini sangat membantu Bambang. Pasalnya setelah keluar dari Perhutani, orang tuanya tidak lagi mau mengirimkan uang.

Karena itu, ia harus irit dan lebih banyak di kos daripada jalan-jalan. Kondisi serba kekurangan ini justru membawa berkah bagi Bambang, karena pada tahun 1994 ia berhasil menjadi lulusan terbaik.

Setelah lulus Bambang melamar ke sejumlah perusahaan ternama. Setelah melakukan wawancara di beberapa perusahaan, ia pun diterima dengan gaji yang berbeda-beda. Ada perusahaan yang menawarkan gaji Rp 5 juta, ada juga yang menawarkan Rp 3,5 juta dan terakhir ada yang menawarkan Rp 1,5 juta. Pada waktu itu rata-rata gaji lulusan S2 di Jakarta sekitar Rp 1,5 juta.

Setelah menimbang-nimbang, Bambang tertarik bekerja di PT Samudera Indonesia. "Saya suka bekerja di Samudera Indonesia karena ada salah satu pimpinannya yang lulus PPM," kenangnya.

Namun ia tidak cocok dengan gaji yang ditawarkan sebesar Rp 1,5 juta. Setelah melakukan negosiasi, ia mendapat gaji Rp 2,5 juta. Sebulan setelah bekerja di Samudera Indonesia, Bambang diberikan pekerjaan yang cukup menantang. Di pagi hari sampai pukul 13.00 WIB ia bekerja di Kantor Pusat Samudera Indonesia di Slipi. Tapi di sore hari, mulai pukul 14.00 WIB ia bekerja di kantor cabang Samudera Indonesia di Tanjung Priok.

Giat belajar

Perjalanan kariernya di Samudera Indonesia terbilang cepat. Hanya setahun bekerja, ia diangkat menjadi Manager Terminal di Tanjung Priok. Sebagai Manager Terminal, ia membawahi seluruh bisnis di pelabuhan Tanjung Priok. Nah dari sini lah, Bambang mulai bersentuhan dengan pelabuhan.

Kemudian Samudera Indonesia membangun pelabuhan di Surabaya. Dalam rangka pembangunan itu, sejumlah ahli pelabuhan dari luar negeri seperti Amerika Serikat (AS) datang ke Indonesia.

Bambang memanfaatkan pertemuan dan kerjasamanya dengan para ahli pelabuhan itu untuk menambah dan mengembangkan pengetahuan. Kemauannya untuk belajar hal yang baru membuat Bambang mendapat segudang pengetahuan.

Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1997, Bambang kembali naik jabatan. menjadi Deputy General Manager (GM) Terminal. Tak berselang lama, tahun 1999, ia menduduki jabatan GM Terminal di Samudera Indonesia. "Karier saya cepat naik waktu itu karena saya rajin belajar soal pelabuhan, kalau yang senior-senior waktu itu mereka menyerahkan ke saya saja untuk belajar," terangnya.

Kemudian pada tahun 2003, ia juga diminta merangkap jabatan sebagai GM Shipping di Samudera Indonesia sampai tahun 2008. Nah di situlah Bambang belajar soal perkapalan. Kemudian pada tahun 2007, ia terlibat dalam tender yang diadakan PT Pelindo IV.

Waktu itu, Samudera Indonesia memenangi tender pembangunan terminal di Samarinda. Terminal ini harus dipindahkan karena sudah berada di tengah kota.

Namun Pelindo IV tidak punya uang sehingga butuh patner untuk Operate and Transfer (BOT) selama 50 tahun. "Ini merupakan BOT satu-satunya waktu itu, karena tidak ada perusahaan lain yang mau, tapi saya justru melihat di situ ada peluang," tandasnya.

Dari situ, Bambang mulai berkenalan dengan pemerintah. Ia mempresentasikan program mereka ke Menteri BUMN yang saat itu dijabat Sofyan A. Djalil. Bambang merinci potensi pasar di Kota Samarinda dalam beberapa tahun ke depan. Mengingat kota ini tidak memiliki banyak industri makanan, praktis, semua makanan di datangkan dari Jawa. Dan itu berarti, Samarinda membutuhkan pelabuhan besar.

Gagasan ini membuat Bambang dilirik untuk memimpin Pelindo I. Ia dinilai cakap dalam mengelola pelabuhan. Apalagi, ia kemudian diminta membuat business plan, dan business focus Pelindo di masa depan. Ia pun memfokuskan Pelindo sebagai operator dan bukan sekedar regulator, agar pendapatannya bisa meningkat drastis.

Akhirnya, pada tahun 2009, Bambang diminta Sofyan ikut tes masuk ke Pelindo, dan menjabat sebagai Direktur Komersil dan Pengembangan Bisnis Pelindo I di Medan. Awalnya, Bambang enggan menerima jabatan ini karena berada di luar Pulau Jawa. Tapi karena diimingi-iming jabatan Direktur Utama kalau berhasil, ia luluh juga.

Sebelum masuk ia diminta untuk membereskan permasalahan Pelindo I. Antara lain investasi yang lambat, produktivitas rendah sehingga banyak kapal yang mengantri, kaderisasi juga tidak berjalan bagus dan cara berpikir yang sangat birokratis. Pemerintah khawatir bila ini tidak segera dibenahi maka dalam beberapa tahun kedepan bakal tutup.

Bambang minta waktu tiga tahun untuk membereskan ini. Bambang pun mulai mengubah peta bisnis Pelindo I. Ia meningkatkan investasi. Salah satu sumber dananya adalah utang bank. Bisnis Pelindo I pun pelan-pelan bangkit. Meskipun sempat mendapat penolakan dari karyawan perusahaan, tapi ia berhasil meyakinkan mereka. Akhirnya bisnis perusahaan pelat merah ini pun mulai bangkit.

Waktu baru masuk Pelindo I, pendapatan perusahan ini Rp 1 triliun dan laba Rp 138 miliar. Tahun 2015, pendapatan Pelindo naik jadi Rp 2,3 triliun dengan laba Rp 700 miliar. Ini peningkatan yang sangat signifikan, tentunya.

Ke depan, jika semua lini usaha sudah beroperasi, kinerja Pelindo bakal meningkat lagi. Tahun ini, Bambang menargetkan laba Rp 1 triliun, lebih tinggi dari angka di tahun 2016, yaitu Rp 750 miliar.

Salah satu kunci sukses Bambang adalah menunjukkan visi yang jelas kepada para bawahannya. Ia juga bertindak tegas pada pelanggaran dan memberikan penghargaan pada karyawan yang berprestasi. Ia juga selalu memberikan contoh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini

Terbaru