Enaknya jajan di tepi Jalan Pancoran

Selasa, 07 Februari 2017 | 11:00 WIB   Reporter: Fransiska Firlana
Enaknya jajan di tepi Jalan Pancoran


Jalan Pancoran, Glodok, Jakarta Barat tak pernah beristirahat, dari siang hingga malam hari penuh aktivitas. Kegiatan jual beli terlihat di sana-sini.

Penganan khas pecinan berjajar beraneka ragam. Baju-baju berwarna merah menyala meriah tergantung rapi di lapak-lapak emperan toko.

Pemandangan yang tak kalah seru ada di ujung pertokoan. Dibandingkan yang lain, lapak di ujung Pertokoan Chandra tak pernah sepi.

Orang-orang selalu tampak silih berganti mengerumuni dua pikulan kayu. Satu pikulan berisikan aneka bumbu dan satu pikulan lagi menopang panci berukuran besar yang berisi bakso dan kuahnya.

Inilah Bakso Pancoran yang sangat legendaris. Lapak bakso ini sudah ada di kawasan Jalan Pancoran sejak 40 tahun lalu.

Sekalipun hanya di kaki lima dengan kursi seadanya dan hanya bermodal pikulan, jangan diremehkan rasanya. Citarasa bakso ini sudah teruji dengan tak pernah sepinya pembeli.

Dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore, lapak milik Ferry ini mampu menjual 10 kilogram (kg) bakso. Ada sekitar 300 pembeli setiap hari. 

“Itu baru kloter pertama. Kalau jam 4 kan nanti aplusan. Lanjut lagi jualan baksonya, tapi yang jual saudara saya,” ujar Ferry yang berasal dari kuningan, Jawa Barat ini.

Berbeda dengan Ferry yang berjualan dengan pikulan, sang saudara berjualan bakso dengan gerobak.

Penjualannya pun tak kalah, dari jam 4 sore sampai jam 10 malam, 10 kg bakso juga bakal habis. Jadi total, dalam sehari lapak ini mampu menjual 20 kg bakso.

Bakso olahan Ferry memiliki isian yang sama dengan bakso lain. Ada bakso halus, ada bakso urat, bihun, taburan seledri, dan bawang goreng.

Kalau suka, Anda bisa menambah tahu putih yang rasanya sangat lembut. Butiran bakso ini sama semua, hanya sebesar jempol orang dewasa. Tak ada jenis dan bentuk bakso yang aneh-aneh.

Kuah baksonya bening. Nyaris tak ada lemak nyangkut di bibir mangkok. “Kami cuma pakai daging saja untuk membuat kaldunya, tanpa lemak. Jadi ya bening, nggak pakai saring-saringan gitu buat beningin kuahnya,” kata Ferry.

Kuah beningnya segar. Kekenyalan baksonya pas. Bakso uratnya tak alot. Gurih sekali.

Biar makin nyos, tambahkan sambal. Di lapak bakso ini hanya ada sambal sebagai pelengkap, tak ada kecap manis apalagi saus. Kecap yang tersedia hanya kecap asin.

Seporsi bakso sapi nan segar ini bisa dinikmati dengan harga Rp 15.000.

Ramai ketika sore

Untuk makan di lapak ini memang tak bisa berlama-lama karena harus bergantian dengan pembeli lain yang sudah mengantri. Maklum, lokasi penjualan bakso ini ada di emper toko, jadi kursinya pun terbatas.

Menjelang sore, lapak-lapak kuliner masakan tradisional yang halal makin ramai. Salah satu lapak yang sudah ditunggu pembeli adalah Sop Kambing Bang Ade.

Sekalipun belum kelar menata dagangan, sop kambing olahan Bang Ade sudah diantri pembeli. “Kami buka baru jam setengah tiga sore. Tutup sekitar jam 10 malam,” ujar Bang Ade yang sudah berjualan di Kawasan Jalan Pancoran sejak tahun 1998.

Ade berkata, dia adalah generasi ketiga. Sang kakeklah yang memulai usaha sop kambing. Namun di era sang kakek, jualan sop kambingnya masih dengan cara dipikul.

Di gerobak Bang Ade, pembeli bisa langsung memilih potongan mana yang akan dipesan. Ada kaki kambing, babat, otak, daging, mata, atau kepala. Per potong dihargai mulai Rp 5.000 sampai Rp 20.000.

Setelah pembeli memasukkan potongan daging kambing yang dipilih, Bang Ade akan langsung mengirisnya hingga menjadi potongan yang lebih kecil. Setelah dipotong, daging dimasukkan kembali ke dalam mangkok.

Lalu, potongan daging itu diguyur kuah panas, lalu ditiriskan, lalu diguyur kuah lagi, lalu ditiriskan kembali. Proses itu dilakukan selama tiga kali.

Setelah itu, daging yang sudah ditiriskan ditaburi garam, penyedap rasa, potongan tomat, dan emping. Nah, barulah dituangi kuah panas tanpa ditiriskan kembali.

Sop kambing pun siap disajikan. Di dalam kuah itu sudah potongan kol dan daun bawang.

Kuah sop yang berwarna kuning kemerahan itu pun menggoda untuk segera dicicipi. Slurp... kuahnya segar. Rasanya cenderung gurih dan asin.

Lebih jos lagi ditambah sambal dan perasan jeruk limau. Makin kuat kesegaran kuahnya.

Daging kambing di dalamnya empuk. “Kami pakai kambing yang usianya di bawah setahun biar nggak alot. Perebusannya selama 1,5 jam,” ujar Bang Ade.

Dalam sehari, Bang Ade mampu menjual 8 kg purutan kambing, 7 kg daging di bagian kepala. Kalau hari minggu, biasanya terjual sampai 10 kg masing-masing bagian tersebut.

Menu lain yang bisa dicicipi di depan Chandra adalah Nasi Gudeg Jogja Bu Ijah. Hampir sama dengan lapak Bang Ade.

Gerobak Bu Ijah juga sudah dikerumuni pembeli sekalipun dagangan belum tertata rapi. Ada tiga kuali dari tanah liat di atas gerobak itu.

Satu kuali berisi olahan nangka yang disisipi daun singkong dan daun pepaya yang berwarna hijau plus taburan cabai rawit. Kuali yang lain berisi sayur krecek yang menggoda. Dan kuali satu lagi berisi areh santan lengkap dengan potongan ayam.

Gudeg Bu Ijah yang rasanya tak terlalu manis, ini menyesuaikan selera pembelinya yang memang bukan orang jawa. Sedangkan ayam kuahnya lembut dan gurih.

Kalau sayur kreceknya juara. Gurih, pedas, dan kreceknya lembut. Cocok banget dipadu dengan nasi hangat.

Seporsi gudeg berlauk ayam harganya Rp 30.000.

Nah, jika Anda berminat menjelajah kuliner di sepanjang Chandra, Pancoran ini, silakan saja. Mereka selalu buka setiap hari, kok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan

Terbaru