Surjawaty, bankir yang selalu mencari tantangan

Sabtu, 06 Januari 2018 | 17:00 WIB   Reporter: Elisabeth Adventa
Surjawaty, bankir yang selalu mencari tantangan


PROFESI -  SETELAH malang melintang di dunia perbankan selama lebih dari 26 tahun, Surjawaty Tatang dipercaya menjadi Presiden Direktur PT Bank Ganesha Tbk (BGTG) sejak tahun 2015 lalu. Ia diminta mengembangkan bank yang telah beroperasi selama 25 tahun tersebut. Pengalaman kerja yang panjang di industri perbankan merupakan modal utama wanita yang akrab disapa Waty ini untuk menahkodai Bank Ganesha.

Ibu dua anak, kelahiran Jakarta tahun 1970 ini, optimistis bisa membawa Bank Ganesha lebih maju lagi. Meskipun usianya masih tergolong muda, rata-rata lebih muda 10 tahun dengan direksi lainnya, tapi kalau soal pengetahuan dan pengalaman, ia tidak diragukan lagi. Apa kunci sukes Waty dalam membangun karirnya di perbankan? Beberapa waktu lalu, ia membagikan kisahnya ke KONTAN.

Waty mengisahkan, sejak awal ia tidak memiliki cita-cita bekerja di bank. Namun setelah lulus kuliah, ia justru mendapatkan pekerjaan di bank. Mengikuti jiwanya yang selalu haus akan ilmu pengetahuan serta minat yang tinggi untuk terus belajar, Waty pun semakin penasaran dengan bisnis perbankan. "Akhirnya keterusan bekerja di bank sampai sekarang," ujarnya sambil terkekeh.

Surjawaty mulai bekerja di perbankan sejak tahun 1990. Setelah lulus dari Philippines School of Business dengan mengambil dua jurusan, manajemen dan akuntansi pada tahun 1990, ia bergabung dengan Tamara Bank.

Setelah setahun bekerja di Tamara Bank, Waty membidik bank asing asal Amerika Serikat (AS). Pada saat itu ada tiga bank asing AS ternama, yakni Citibank, Bank of America dan JP Morgan yang dulu bernama Chase Manhattan Bank. Namun dari ketiganya hanya Citibank dan Bank of America yang membuka lowongansebagai management trainee (MT). Maka, kedua bank itulah yang menjadi sasaran Waty selanjutnya.

Waty ingin bekerja di bank asing lantaran bank asing asal AS terkenal memiliki pelatihan yang panjang dan komprehensif. Setelah mengajukan lamaran, Waty diterima bekerja di kedua bank tersebut pada tahun 1992. Namun, ia memilih Bank of America sebagai tangga karier selanjutnya.

Pada saat masuk Bank of America sebenarnya dari nilai gaji, saya mengalami penurunan, lebih besar di Bank Tamara. Tapi tidak apa-apa, di Bank of America saya dapat ilmu dan pengalaman lebih, dua hal itu investasi buat saya, terangnya.

Waty pun mendapatkan pelatihan di Bank of Amerika lewat program on job training (OJT) di luar negeri sampai mendapat pelatihan langsung di San Fransisco, Amerika Serikat (AS). Karier Waty di sini tergolong mulus. Dalam jangka waktu lima tahun, ia bisa meraih posisi sebagai vice president.

Karena prestasinya itu, Waty memperoleh penghargaan sebagai Vice President termuda di Asia dari Bank of America pusat. Namun karena haus akan pengetahuan dan tantangan, Waty tidak mudah puas. Ia merasa perlu mencari tantangan baru lagi.

Pasalnya, kariernya di bank AS ini telah mencapai puncak, mengingat vice president merupakan jabatan tertinggi di Indonesia. Waty pun memutuskan untuk mengundurkan diri dan bergabung dengan Bank NISP di tahun 1997. Waktu itu saya bertemu dengan owner Bank NISP OCBC dan diminta untuk bergabung. Saya langsung tertarik, katanya.

Pertimbangan Waty pindah dari bank asing ke bank swasta juga didorong adanya hasrat untuk mengaplikasikan pengalaman dan ilmu yang sudah diperolehnya dari bank asing ke bank swasta nasional. Menurut Waty, Bank NISP memang termasuk bank kecil. Saat itu asetnya masih mini, tapi pemiliknya sangat prudent. Selain itu, ia juga diberikan kebebasan untuk mengembangkan bank tersebut.

Di NISP Waty mengawali kariernya sebagai kepala divisi. Setelah itu, ia menjadi asisten direksi dan baru diangkat menjadi managing director Bank NISP OCBC pada tahun 2001.

Karier terlama saya di perbankan, ya di Bank NISP ini. Sekitar 11 tahun saya berkarier di sana, tutur dia.

Setelah menjadi managing director Bank NISP selama enam tahun, dari 2001-2007, Waty berpikir untuk mencoba peruntungannya kembali di Citibank. Jujur saya masih penasaran dengan Citibank karena waktu diterima itu, saya pilih Bank of Amerika. Citibank dari dulu terkenal memiliki consumer banking yang bagus, jadi saya penasaran dan ingin belajar di sana, katanya.

Maka, Waty pun mendaftar di Citibank sebagai profesional pada tahun 2007. Ia langsung menduduki level direksi. Namun nasib baik tidak berpihak kepadanya. Hanya berselang setahun bekerja di Citibank, terjadi krisis ekonomi global tahun 2008 yang mengguncang AS. Meski kondisi ekonomi Indonesia sendiri berjalan baik dan normal.

Waty bercerita, saat itu Citibank di Indonesia harus menaati kebijakan global yang dibuat Citibank Pusat. Ia pun merasa kesulitan untuk mengembangkan bank yang berpusat di New York itu. Semua cabang Citibank yang ada di luar Amerika waktu itu tidak boleh tumbuh, tidak boleh merekrut pegawai. Padahal kondisi ekonomi Indonesia waktu itu baik-baik saja, tapi tetap kena dampaknya, ungkapnya.

Setahun bergabung di Citibank, Waty mendapat tawaran di Bank ICBC Indonesia langsung dari Presiden Direktur ICBC. Ia ditawari posisi sebagai marketing director di ICBC. Dan di tahun 2012, ia diangkat sebagai wakil presiden direktur.

Membenahi Ganesha

Setelah tiga tahun bekerja di Bank ICBC Indonesia, Waty mendapatkan tawaran lagi. Tawaran ini datang dari Bank Ganesha. Ia mendapat tawaran sebagai orang nomor satu di Bank Ganesha. Ia menilai tawaran ini merupakan tantangan baru baginya. Karena itu ia mengaku tertarik untuk menjadi nahkoda bank ini. Alhasil, ia resmi didapuk sebagai Presiden Direktur Bank Ganesha sejak Maret 2015.

Saya cukup tertantang dengan tawarannya karena Bank Ganesha ini bank lama. Sudah 25 tahun. Tetapi kok tidak berkembang. Saya penasaran, kenapa ini. Ada apa? Jadi saya terima tawaran itu karena merasa tertantang, ungkapnya.

Mengelola bank dengan aset yang tidak begitu besar bukanlah hal yang baru baginya. Ia pernah bekerja di Bank NISP sewaktu asetnya masih bernilai minim. Karena itu, Waty mengaku sudah terbiasa dengan skema bisnis bank-bank kecil.

Ia bilang, ada salah satu masalah yang cukup menantang waktu pertama bergabung di Bank Ganesha. Bank itu punya non performing loan (NPL) di atas 5%, namun tidak sebanding dengan laba yang dihasilkan. "Saya rasa, pasti ada yang kurang tepat dengan sistem kerjanya, terang Waty.

Dugaan Waty ternyata benar. Saat awal bergabung, dirinya melihat hampir semua karyawan datang terlambat dari jam kantor yang telah disepakati. Tak hanya itu, jika ada rapat, sekalipun dengan komisaris, pasti tidak tepat waktu. Karyawan yang tidak disiplin serta sistem kerja yang tidak teratur ternyata menjadi masalah utama Bank Ganesha selama ini.

Karena itu, ia mulai melakukan terobosan baru, mulai dari jam masuk kerja, sampai dengan menggunakan standar penilaian karyawan lewat key performance indicator (KPI) yang sebelumnya tidak ada. Di samping itu, Waty juga menetapkan target tiap divisi yang harus dicapai.

Menurutnya, selama ini Bank Ganesha tidak berkembang karena tidak menetapkan target alias dibiarkan berjalan apa adanya. Malah nasabah yang berhutang tidak pernah ditagih oleh bank. Ini yang membuat bank tak memperoleh laba.

Berbagai terobosan yang dilakukan Waty akhirnya mengantarkan Bank Ganesha kepada sejumlah prestasi. Di tahun ini, Bank Ganesha berhasil meraup untung berlipat. Belum genap setahun melantai di pasar Bursa Efek Indonesia (BEI), laba bersihnya meroket 619% menjadi Rp 39,2 miliar per 31 Desember 2016. Pada periode yang sama, total pendapatan Bank Ganesha juga mencapai Rp 180 miliar, melonjak 58% dibanding hasil di tahun sebelumnya.

Tak hanya prestasi dalam meningkatnya laba bersih dan pendapatan, BGTG juga panen penghargaan di tahun 2017. Sejumlah penghargaan yang ditorehkan antara lain Indonesia Best Banking Award 2017 kategori Outstanding Financial Performance, penghargaan dari International Business Award yang ke-14, The Best CEO Bank, Bank Terbaik di Indonesia dan sejumlah penghargaan lainnya.

Prestasi demi prestasi yang diraih di dunia perbankan ini dirangkum dalam tiga hal. Pertama, sektor perbankan akan susah maju jika sumber daya manusianya (SDM) tidak punya semangat untuk terus belajar. Kedua, sektor perbankan harus peka terhadap kebutuhan nasabah. Ketiga, di era kemajuan teknologi seperti saat ini, mustahil jika sektor perbankan tidak mengadaptasi teknologi.

Ke depan, saya berencana menjadikan Bank Ganesha sebagai bank digital. Mulai dari urusan dengan nasabah sampai urusan internal perusahaan, semua akan didigitalisasi, terang Waty.

Menurutnya, dengan teknologi, semua bisa terukur dengan jelas. Data yang didapat juga lebih akurat, sekaligus bisa mengurangi human error. Teknologi juga bisa sangat membantu, terutama soal efisiensi waktu.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini

Terbaru