Awas, generasi Z lebih rentan terhadap pelanggaran privasi dan keamanan digital

Senin, 02 Agustus 2021 | 19:26 WIB   Reporter: Tendi Mahadi
Awas, generasi Z lebih rentan terhadap pelanggaran privasi dan keamanan digital


KEAMANAN DATA - JAKARTA. Internet merupakan produk teknologi komunikasi yang fenomenal. Tidak hanya memberikan kemudahan dalam mencari informasi, internet juga mengubah cara orang berinteraksi satu sama lain. 

Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) periode 2019-Q2/2020, jumlah pengguna internet aktif di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa. Dari segmen umur, pengguna internet usia 15-19 tahun yang dikategorikan sebagai Generasi Z mempunyai penetrasi paling tinggi yakni mencapai 91%. 

Dalam Webinar Manajemen Privasi dan Keamanan Digital di Era Internet untuk Gen Z, pengamat komunikasi Universitas Bhayangkara, Syahrul Hidayanto bilang di tengah dominasi pengguna internet oleh anak muda, ironisnya mereka justru menjadi kelompok usia yang sering mengumbar privasi di internet dan menjadi korban pencurian data. 

Baca Juga: Marak bisnis internet broadband, Iconnet milik PLN punya lebih dari 40.000 pelanggan

"Hasil penelitian dari Kaspersky Lab tahun 2017 mengungkapkan data privasi pengguna internet dengan sangat mudah dibagikan dan diakses oleh publik. Begitu data masuk ke ranah publik, data dapat tersebar secara luas dan tidak bisa terkendali," ucap dia dalam keterangannya Senin (2/8).

Menurut pembicara lainnya pada webinar tersebut, Moh. Rifaldi Akbar, dengan aplikasi media sosial manusia bisa memperluas jangkauan dan variasi komunikasi. Komunikasi juga semakin mudah dan cepat. Namun, dibalik kemajuan teknologi komunikasi itu sayangnya, di saat bersamaan, komunikasi termediasi menciptakan celah. 

“Celah di dalam komunikasi termediasi komputer itu salah satunya adalah tata kelola privasi dan keamanan. Salah satu kategori (cohort) umur yang paling rentan terhadap privasi adalah remaja--kami sebut sebagai Gen Z. Kerentanan itu bukan terjadi karena remaja buta teknologi, namun sebagian besar mereka anggap permasalahan privasi bukanlah masalah yang penting,” ujar Rifaldi yang merupakan dosen ilmu komunikasi, Universitas Bhayangkara. 

Rifaldi menambahkan, di saat bersamaan, remaja menjadi kategori cohort  yang sedang mencari jati diri melalui berbagai aktivitas keterlibatan mereka di dunia internet. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Madden tahun 2013, sejak 2006 remaja lebih sering mengungkapkan data pribadi, seperti: nama asli, alamat email asli, dan alamat sekolah asli. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sukunsen tahun 2021, tren kenaikan pengungkapan data pribadi di dalam beberapa kasus (dalam konteks Amerika Serikat) menyebabkan tindakan kriminal. Sebagai contoh, pencurian rumah, penculikan anak, dan beberapa kasus predator seksual (Sukunsen, 2021). 

Baca Juga: Startup keamanan siber Nozomi Networks raih pendanaan US$ 100 juta

“Tindakan yang remaja lakukan itu, berusaha kami redam dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat berupa pelatihan terhadap remaja mengenai manajemen privasi dan kemanan digital di era internet,” ucap Rifaldi. 

Terdapat beberapa hal yang perlu remaja lakukan dan pahami dalam hal mengelola privasi dan keamanan digital. 

“Pertama, remaja harus menjadi pribadi yang cerdas. Dengan kata lain, remaja harus mulai memikirkan dampak laten dan sebab-akibat dari postingan yang mereka lakukan hari ini. Kedua, remaja harus menjadi pribadi yang cermat. Di dalam beberapa kasus penipuan dan pengelabuan di internet, penipu menggunakan malvertising (penipuan dengan menggunakan kejutan iklan berhadiah), smshing (penipuan dengan menggunakan link berbahaya), vishing (penipuan dengan menggunakan telepon), dan lainnya. Kami memberikan pemahaman pentingnya mengetahui ragam jenis penipuan berkedok pemberian hadiah asli,” kata Rifaldi. 

Selanjutnya: Seru! Ini 2 film Netflix original terbaru yang siap tayang pekan ini

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi

Terbaru