WARISAN BUDAYA DUNIA UNESCO - Bagi Anda yang pernah tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mungkin tidak asing lagi dengan namanya gebyok.
Ya, gebyok merupakan salah satu bagian dari rumah tradisional adat Jawa yang berfungsi sebagai partisi atau penyekat ruangan.
Gebyok berbentuk ukiran yang indah dari kayu jati, yang kini memiliki nilai seni yang cukup tinggi. Bahkan harga satu set gebyok langka bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Namun di balik keindahan dan nilai seni yang tinggi itu, gebyok memiliki sejarah panjang yang menceritakan perkembangan budaya Jawa pada zamanya. Lebih nelangsa lagi gebyok belum mendapatkan pengakuan sebagai salah satu warisan peninggalan budaya Indonesia.
Penelususan dan penelitian tentang perkembangan gebyok dari berbagai daerah di wilayah Pulau Jawa dan Madura inilah yang dilakukan oleh tiga orang, yakni Triatmo Doriyanto, Eunike Prasasti dan Suhartono.
Mereka merangkai hasil penelusuran dan memngabadikanya dalam sebuah buku bertajuk “Gebyok, Ikon Rumah Jawa”.
Buku “Gebyok, Ikon Rumah Jawa” ini diluncurkan secara daring pada Sabtu 2 Mei 2020, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.
Triatmo Doriyanto menjelaskan, momentum Hari Pendidikan Nasional ia pilih untuk menyapaikan hasil riset, gebyok sebagai sarana pengetahuan dan pendidikan bagi masyarakat pencinta seni dan gebyok agar warisan bangsa. Hasil riset, kajian, kunjungan dan observasi serta wawancara dengan banyak nara sumber dengan referensi dan literatur yang cukup memadai, agar masyarakat peduli dan terus menjaga, melestarikan, bahkan diperjuangkan agar tetap menjadi warisan budaya Indonesia.
Misi lain dalam penulisan buku ini juga agar gebyok dan Rumah Adat Kudus (RAK) tidak hanya dilestarikan namun juga agar dapat dicatatkan sebagai salah satu warisan budaya asli Indonesia yang diakui sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia oleh dunia. Sebab gebyok menunjukkan domain keahlian pertukangan yang termasuk di dalamnya motif dan pola yang dihasilkan.
Pada 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mencatata RAK sebagai WBTB Indonesia. Dalam pencatatan, RAK disebut sebagai warisan budaya yang memiliki gaya seni bangunan tradisional dengan bentuk/struktur/fungsi/ragam hias dan filosifi perpaduan budaya pra Islam, China dan budaya Islam di Kudus.
Setahun kemudian atau 2017, RAK baru ditetapkan oleh Kemendikbud sebagai WBTB Indonesia dalam domain keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional. Meski ditetapkan sebagai WBTB Indonesia, sayangnya bagian dalam RAK yang terdiri dari
gebyok atau partisi, yang menjadi satu kesatuan dengan RAK, sama sekali tidak ikut disebutkan sebagai WBTB Indonesia secara terpisah.
Penyebutan RAK berikut dengan bagian dan maknanya, tanpa menegasikan gebyok, tidak memberikan kekuatan yuridis dan pengakuan budaya terhadap gebyok sebagai ikon dan penopang RAK itu sendiri.
Salah satu implikasi tidak adanya pengakuan gebyok sebagai karya cipta dan WBTB Indonesia, menyebabkan gebyok seolah “tidak ada” pemiliknya sehingga bisa bebas dan leluasa dibawa dan diperjual-belikan ke manapun. Meskipun secara ketentuan Undang-Undang Hak Cipta dan Cagar Budaya, kepemilikan gebyok harus dilindungi dan dikuasai oleh negara.
Hal itu tentu mengkhawatirkan banyak pihak karena bisa menghilangkan pengakuan secara hukum dan nilai-nilai budaya serta karya cipta gebyok itu sendiri sebagai karya bangsa. Akibatnya, bukan tak mungkin, suatu saat gebyok pun bisa diakui oleh bangsa lain sebagai karya ciptanya. apalagi jika merasa memiliki akar budaya yang hampir sama.
“Harapan kami, gebyok sebagai Ikon rumah Jawa dapat dijadikan WBTB dunia oleh Unesco, seperti halnya RAK, yang baru sebatas WBTB Indonesia,” tutur Triatmo Doriyanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News