Dari aktivis jalanan menjadi pebisnis

Sabtu, 21 Juli 2012 | 10:27 WIB   Reporter: Azis Husaini
Dari aktivis jalanan menjadi pebisnis

ILUSTRASI. Asyik! Pengguna Windows 10 bisa upgrade gratis ke Windows 11


Siapa tak kenal Sofjan Wanandi. Aktivis 1966 dan pemilik kerajaan bisnis Gemala Grup ini memang tak ada matinya. Di usianya yang sudah sepuh, semangat Sofjan belum pupus, terutama dalam membela kepentingan koleganya di Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Kini, pengelola bisnis Gemala beralih ke tangan generasi kedua.

Berdirinya bisnis Gemala Grup merupakan kejelian Sofjan Wanandi muda. Ketika masih menjadi politisi dan menjadi anggota DPR pada 1967 dan menjadi anggota MPR hingga 1987, Sofjan tak lupa membangun jaringan pertemanan, baik dari kalangan pengusaha lokal, pengusaha luar negeri, dan pejabat-pejabat penting di pemerintahan Soeharto.

Bahkan saat aktif di dunia politik itu, Sofjan sudah nyambi menjadi pengusaha. Pengalaman bisnis pertama Sofjan ketika bergabung dengan dengan kelompok usaha milik Angkatan Darat, Grup Pakarti Yoga, dan Tri Usaha Bakti pada 1974.

Kata Sofjan, Grup Pakarti Yoga sebenarnya berbisnis untuk mendukung para politisi. Selain itu, Pakarti juga mendanai kegiatan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Kegiatan bisnisnya, kata Sofjan, adalah menjadi agen-agen Pertamina dan PT Timah. Sofjan menyisihkan sebagian keuntungan dari bisnis itu untuk investasi di bidang suku cadang otomotif, seperti aki, casis, dan transmisi.

Setelah investasi terkumpul, pada 1980, Sofjan mulai memasuki bisnis komponen otomotif dengan mendirikan PT Anugerah Daya Laksana. Ternyata bisnis mampu tumbuh dengan subur. "Ketika itu, dalam sebilan saya bisa produksi satu juta aki motor, 500.000 unit aki mobil dan 1,5 juta aki untuk ekspor," katanya.

Selain membuat aki, perusahaan juga memproduksi casis mobil. Bahkan ketika itu, kabarnya Sofjan adalah orang pertama di Indonesia yang sudah menggunakan mesin press bertenaga 2.000 ton.

Pada 1984, ada ide untuk menyatukan bisnis di antara keluarga Wanandi, yakni Sofjan, Rudi Wanandi, Yusuf Wanandi, Biantoro Wanandi, Edward Wanandi, dan satu adik perempuannya, ke dalam satu perusahaan bernama PT Sapta Panji Manggala. Perusahaan inilah yang kemudian menjadi Gemala Group pada 1987.

Pada tahun 1988, Gemala bekerjasama dengan Yuasa Corporation of Japan untuk mengembangkan sayap penjualan baterai ke Australia. Dia bilang, waktu itu, Gelama Grup melakukan akuisisi Exide UK, pabrik produksi baterai dan perusahaan penjualan, senilai sekitar US$ 20 juta.

Sofjan mengakui, kemampuan Gemala menembus pasar luar negeri dan mampu menggandeng investor asing berkat jasa almarhum Soedjono Hoemardhani, mertua Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Banyak pelajaran yang dia peroleh selama menjadi sekretaris mantan Asisten Pribadi Presiden Soeharto itu.

Lewat jasa mendiang pula, Sofjan bisa memperluas jaringan pertemanan, yang sebagian di antaranya kemudian menjadi mitra bisnisnya. "Kebetulan Soedjono dekat dengan asing. Kalau ada mitra yang datang, you pakai Sofjan saja," ungkap dia.

Namun Sofjan tak mau terlena terlalu lama di tengah pusaran kekuasaan. Dia tahu, Soeharto sudah terlalu lama berkuasa dan anak-anak Soeharto juga mulai banyak berbisnis.

Menurutnya, beberapa kali Bambang Tri dan anak-anak Soeharto lainnya mengajaknya berbisnis. Namun Sofjan selalu menolak, dengan cara halus tentu saja. "Saya bilang thank you, thank you, setiap kali Bambang ajak kerjasama. Mereka tahu saya dekat dengan bapaknya," ujar dia.

"Saya bilang thank you, thank you, setiap kali Bambang ajak kerjasama. Mereka tahu saya dekat dengan bapaknya," ujar dia

Akhirnya pengalaman membuktikan, kedekatan Sofjan dengan kekuasaan tak menjaminnya selalu aman sentosa. Saat krisis ekonomi melanda Tanah Air pada 1998, Sofjan mengaku difitnah beberapa pejabat negara. Dia dituding mengemplang utang.

Sofjan mengakui, waktu itu dia memang berutang ke BNI 46 sebesar US$ 30 juta. "Tudingan ke saya kredit macet. Untuk menepis itu, saya jual satu pabrik di Inggris dan tiga pabrik di Indonesia untuk melunasi utang itu," imbuh dia.

Menurut Sofjan, tudingan terhadapnya tidak beralasan. Buktinya, dari sekian banyak perusahaannya itu, tak satu pun yang menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Regenerasi di Gemala

Saat krisis itu pula, Sofjan menjual Bank Danahutama. Ini adalah bank yang dia bangun untuk mendanai koperasi dan usaha kecil.

Singkat cerita, pasca krisis, Sofjan mulai memikirkan menyerahkan kepemimpinan perusahaan pada anak-anaknya maupun keponakan-keponakannya. Dia sadar, anak dan keponakannya semakin dewasa dan siap menjalankan bisnis yang dia rintis bersama para Wanandi lainnya.

Pada tahun 2000, Sofjan membuat keputusan penting. Dia membagi 30 perusahaan yang berada di bawah Grup Gemala kepada tiga anak-anaknya dan para keponakan. Selain itu, beberapa perusahaan juga dia serahkan kepada kelima saudaranya yang juga memiliki saham di beberapa perusahaan di Gemala. "Kami sepakat untuk mengelola sendiri-sendiri bisnis, jadi tidak lagi disatukan," kata dia.

Sofjan tidak ingin nanti anak-anak mereka saling berebut kekuasaan di perusahaan. Dari sini, dia berkesimpulan alangkah baiknya memberikan beberapa perusahaan kepada kakak dan adiknya tersebut. "Saya, kan, anak ketiga dari enam bersaudara. Tetapi memang saya yang selama ini lebih banyak menjalankan bisnis," katanya.

Namun, meski telah "pecah kongsi", nama Grup Gemala masih tetap eksis. Padahal saat ini tinggal tiga perusahaan yang berada di bawah naungannya.
Saat ini, anak bungsu Sofjan menjadi pengendali perusahaan di Australia. Dua perusahaan yang di Tanah Air, dikelola anak pertama dan kedua.

Anak yang paling tua Sofjan, bertanggung jawab atas bisnis suku cadang otomotif seperti, baterai, transmisi, sasis, kasting. Si sulung ini juga mengelola pabrik Aica Aibon, Asuransi Wahanatata, dan Nomura Securities yang bekerjasama dengan investor asal Jepang. Selain itu dia juga mengelola Hotel Lumire di Palangkaraya. Sedangkan anak kedua menangani bisnis keuangan.

Bisnis Gemala di luar negeri juga masih berjalan, tetapi fokusnya lebih kepada service industry. "Jadi yang semula ada bisnis kontainer di Amerika Serikat dan Inggris, saya jual. Selanjutnya saya fokus ke service industry," imbuh dia.

Sofjan menambahkan, dari sekian banyak bisnis di bawah Grup Gemala, bisnis perhotelan sedang mengalami perkembangan yang pesat. Untuk itulah perusahaan ini terus mendirikan hotel bernama Lumire untuk di Jawa, sedangkan yang ada di luar Jawa memakai nama hotel Luwansa.

Hotel-hotel milik Gemala berdiri di Jakarta sebanyak dua unit hotel, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, satu hotel, dan di Labuan Bajo dan Bali masih dalam perencanaan.

Dia mengakui banyak orang tidak tahu Grup Gemala Grup sekarang seperti apa, apalagi soal properti. Oleh sebab itu, sempat tercetus untuk membawa Gemala melantai di bursa. Namun dia mengurungkan rencana itu lantaran menilai permainan saham di Indonesia belum sehat.

Menurut Sofjan, saat ini masih banyak yang melakukan goreng-menggoreng saham sehingga jika perusahaan jatuh dan jelek di mata investor yang terkena getahnya adalah Gemala Grup. "Kami sangat sensitif menjaga nama baik perusahaan ini," katanya.

Maka itu, kata Sofjan, jarang sekali dirinya menjabarkan dengan detil soal perusahaan-perusahaan di bawah Grup Gemala. Sebab dalam budaya keluarga memang telah diajarkan seperti itu, tidak seperti grup-grup besar lainnya yang sering mengumumkan rencana ekspansinya.

Ke depan, kata dia, perusahaan di bawah Gemala harus terus besar dan membawa manfaat bagi bangsa. Sekarang ini karyawan tetap di Gemala Grup ada sekitar 15.000 orang. Tentunya, kalau ditambah karyawan kontrak, jumlahnya bisa lebih besar lagi.

Dia menjelaskan, meski perusahaannya banyak, tentu saja semuanya sepenuhnya milik Sofjan. Banyak mitra luar negeri seperti Jepang dan Amerika Serikat yang digandengnya. Tentu hal ini kata dia supaya pemasaran produknya bisa cepat.

Sebenarnya, saat ini banyak sekali mitra dari berbagai negara yang ingin bersinergi dengan Gemala. Misalnya, beberapa waktu lalu, pemerintah China sudah memberikan tanah gratis untuk dirinya supaya mau mendirikan pabrik komponen otomotif atau pabrik baterai di sana. Namun Sofjan menolak.

Dia malah memberikan jalan kepada para koleganya sesama pengusaha untuk memanfaatkan peluang tersebut. "Mereka malah sekarang yang sukses. Tapi tidak apa. Saya segini saja sudah cukup," tandas pria kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 3 Maret 1941 itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can

Terbaru