Henk Ngantung, Gubernur DKI etnis Tionghoa pertama yang menderita karena dicap PKI

Senin, 28 Oktober 2019 | 15:54 WIB   Reporter: kompas.com
Henk Ngantung, Gubernur DKI etnis Tionghoa pertama yang menderita karena dicap PKI

ILUSTRASI. Tanaman Bugenvil tampak ditanam di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (29/8/2019).


TOKOH - Siapa Gubernur DKI Jakarta dengan masa kepemimpinan tersingkat? Sejarah mencatat, ada tiga nama yang masa jabatannya tak sampai 1 tahun, yaitu Daan Jahja (Desember 1949-Februari 1950), Henk Ngantung (Agustus 1964-Juli 1965), dan Soemarno Sosroatmodjo (Juli 1965-April 1966).

Dari tiga nama itu, Henk Ngantung boleh jadi yang paling “apes”. Daan Jahja menjabat sedemikian singkat sebagai Gubernur Militer Jakarta, hanya tiga bulan.

Ia ditunjuk Presiden Soekarno memegang kendali Ibu Kota setelah Indonesia secara resmi diakui kedaulatannya seusai Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Kondisi politik nasional saat itu masih labil.

Baca Juga: Keluarga Henk Minta Bantuan Gubernur DKI

Sementara Soemarno Sosroatmodjo sudah lebih dulu merasakan tampuk kepemimpinan DKI pada 1960-1964. Empat tahun menjabat, ia digantikan Henk Ngantung, wakilnya selama 4 tahun itu.

Kepemimpinan periode kedua Soemarno yang berlangsung tak sampai 12 bulan juga sebatas menggantikan Henk Ngantung yang dicopot tiba-tiba dari posisinya pada Juli 1965.

Henk Ngantung tercatat sebagai orang etnis Tionghoa dan orang non-Muslim pertama yang menjadi gubernur Jakarta. Namun, tak lama setelah Henk ditunjuk Presiden Soekarno sebagai gubernur, posisi presiden diambil alih Soeharto.

Baca Juga: Main Comot Logo, Grand Indonesia Menuai Gugatan

Henk Ngantung yan bernama lengkap Hendrik Joel Hermanus pun langsung jadi sasaran tembak rezim otoritarian Orde Baru. Rezim Orde Baru melabeli dia sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).

Label itu jadi semacam wabah sampar yang diceritakan filsuf Perancis-Aljazair, Albert Camus. Cap “pengikut PKI” mampir begitu saja tanpa sebab, melekat tanpa dapat disembuhkan, dan membunuh korbannya yang tak tahu apa-apa.

Dalam kasus cap PKI terhadap Henk, pria kelahiran Manado, 1 Maret 1921, itu tak pernah disidang dan diberi kesempatan untuk membela diri. Cap PKI merontokkan karier Henk.

Istri Henk, Hetty Evelyn Ngantung Mamesah, mengenang betapa karier suaminya mendadak punah medio 1965, era saat rezim Orde Baru membantai ratusan ribu hingga jutaan orang yang dituduh komunis.

Baca Juga: Koleksi lukisan Istana akan dipamerkan untuk umum

“Pagi-pagi di depan rumah kami di Tanah Abang II banyak RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) sedang mengepung tangsi Tjakrabirawa. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kehidupan kami selanjutnya menjadi susah hingga harus jual rumah,” kata Evelyn dalam harian Kompas edisi 9 Juni 2006.

Tragedi yang menimpa kehidupan Henk dan istri bermula pada sekitar Gerakan 30 September (G30S) 1965. Peristiwa itu juga yang memaksa Henk dan Evelyn melego rumah mereka di kawasan cukup elite, Jalan Tanah Abang II, Jakarta.

“Kami jual rumah itu karena tidak punya uang lagi. Kan sejak Pak Henk dicopot sebagai gubernur tahun 1965, Pak Henk tidak diberi pensiun. Sampai akhirnya tahun 1980, baru diberi uang pensiun oleh pemerintah,” ujar Evelyn (harian Kompas edisi 14 Oktober 2012).

Uang hasil penjualan rumah di Jalan Tanah Abang II itu digunakan untuk membeli rumah di permukiman padat penduduk di pinggir Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, seharga Rp 5,5 juta. Sejak 12 Desember 1991, Evelyn tetap tinggal di rumah mereka di gang sempit Jalan Dewi Sartika.

Baca Juga: Ini 28 lukisan koleksi istana yang dipamerkan

Henk telah tutup usia saat itu. Istri mantan gubernur Jakarta itu mesti tidur di kolong atap rumah yang hampir seluruhnya bocor. “Saya bertahan di rumah ini karena penuh kenangan dengan Pak Henk,” tutur Evelyn (Kompas, 14 Oktober 2012). 

Banyak ruangan di rumah itu yang tak bisa lagi dipakai. Beberapa foto dan lukisan (Henk seorang pelukis) akhirnya hanya ditaruh di kursi karena tidak aman jika dipajang di dinding.

Begitu pula dengan tumpukan sketsa karya tangan Henk mangkrak dalam lemari. Salah satunya sketsa Tugu Selamat Datang. Satu-satunya ruangan yang aman ialah dapur.

Saban hari, Evelyn tidur di sini. “Hanya tinggal ruangan ini yang aman untuk tidur. Yang lain sudah bocor atapnya,” ujarnya.

Lima belas tahun sejak dicopot dari jabatannya, Henk kemudian diberi uang pensiun oleh pemerintah. Jumlahnya “hanya” Rp 850.000 per bulan. Uang itu tak cukup buat sekadar menambal aneka kerusakan di rumah tersebut.

Baca Juga: Menko PMK Resmi Buka Pameran Seni Koleksi Istana

Setelah Henk meninggal, hanya uang pensiun inilah yang Evelyn andalkan buat melanjutkan hidup. Baru pada 24 April 2013, Pemprov DKI Jakarta berjanji akan memugar atap rumah Henk yang rusak parah.

Harian Kompas terbitan 24 April 2013 melaporkan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang saat itu menjabat sebagai wakil gubernur DKI memerintahkan Dinas Perumahan untuk segera merenovasi atap rumah Henk yang sudah bocor dan nyaris roboh.

“Saya minta Dinas Perumahan agar mengganti atap dengan atap baja ringan,” ujar Ahok seusai menerima Evelyn Ngantung Mamesah di Balai Kota DKI Jakarta pada 23 April 2013.

Tak sampai setahun Evelyn menikmati rumah hasil pemugaran itu. Pada 3 September 2014, Evelyn tutup usia.

Maut menyatukan dia dengan Henk setelah maut itu pula yang sempat memisahkan mereka. Evelyn dikebumikan dalam satu liang lahat dengan Henk di TPU Menteng Pulo.

Penulis: Vitorio Mantalean

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Henk Ngantung, Gubernur DKI Etnis Tionghoa Pertama yang Kemudian Menderita karena Dicap PKI"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 3 Tampilkan Semua
Editor: S.S. Kurniawan

Terbaru