BATIK - JAKARTA. Menjalani bisnis batik ternyata tidak seindah dari motif batik yang terlihat. Apalagi, batik bagi sebagian orang terutama kawula muda terkesan fesyen klasik alias sudah jadul.
Justru bagi Michelle Tjokrosaputro, kondisi tersebut merupakan tantangan baginya yang tengah menggeluti usaha produk fesyen batik. Memang tidak mudah, meski dirinya berasal dari lingkungan keluarga yang berbisnis batik.
Ia pun langsung berinovasi membuat desain batik yang tidak biasa, alias yang terkesan klasik, menjadi batik yang inovatif yang bisa disukai oleh generasi milenial dan generasi yang lebih muda.
Akhirnya, dengan desain batik kekinian, Michelle pun memberanikan diri membuka usaha batik pada 2012 dengan label Bateeq. Satu tahun kemudian, di bawah PT Dan Liris, ia resmi mendirikan toko fisik Bateeq di Solo.
Pada awalnya, Michelle mengaku cukup kesulitan untuk mendirikan label miliknya sendiri. Namun, ia tidak patah arang. Dengan desain batik kekinian, ia mencoba menawarkan Bateeq yang modern yang sesuai dengan kaum muda.
Perlahan namun pasti, produk Bateeq mulai dilirik pasar. Berawal dari Solo, gerai Bateeq pun beranak pinak. Dari awal berdiri hingga akhir tahun 2019, Michelle berhasil mendirikan 32 toko fisik dan sekitar 50 konsinyasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Eksistensi Bateeq tidak terlepas dari fokus Michelle yang tetap pada target pasar kaum muda, yakni yang berusia 20 tahun hingga 45 tahun.
Dengan target pasar tersebut, rentang harga produknya berkisar antara Rp 300.000 sampai Rp 700.000, untuk pakaian batik sehari-hari.
Selain produk sehari-hari, ada juga produk khusus yang Bateeq jual dengan harga hingga Rp juta per satuan.
"Temasuk juga ada produk koleksi hasil kolaborasi dengan Desa Lurik yang harganya mencapai Rp 1,5 juta per unit," kata Michelle, kepada KONTAN (16/4).
Tak cuma andalkan toko fisik saja, Bateeq juga sudah merambah penjualan digital. Laiknya pengusaha lain, Michelle juga sudah memasarkan produk Bateeq di website sendiri, Instagram, juga tak ketinggalan platform e-commerce. Namun, pada saat itu, 95% penjualan masih berasal dari toko fisik dan konsinyasi.
Optimalkan pemasaran
Cerita berubah saat pandemi korona menerjang pasar domestik. Bateeq terkena dampak yang dahsyat juga. Saat pandemi menyerang, Michelle mengaku, omzet Bateeq anjlok di kisaran 60% hingga 70%.
Tak hanya itu, lebih dari 50% toko Bateeq pun terpaksa tutup karena sepi pembeli. Kini toko fisik Bateeq yang tersisa hanya 18 toko dan konsinyasi yang tersisa tinggal 24 saja.
Melihat kondisi tesebut, Michelle tidak mau berpangku tangan. Ia pun bergerak cepat untuk menyelamatkan roda bisnis Bateeq. Salah satu caranya adalah dengan lebih mengoptimalkan penjualan Bateeq di ranah online.
Hal Ini bukan langkah mudah mengingat sebelumnya penjualan online hanya berkontribusi 5% dari total pendapatan Bateeq. "Karena pandemi belum jelas kapan berakhir, maka kami mencurahkan effort 99% di penjualan daring," jelas Michelle.
Ia pun masuk ke platform marketplace utama di negeri ini, mulai dari Tokopedia, Shopee, Zalora, Blibli, juga Lazada. Hasilnya, kontribusi penjualan online Bateeq pun datang dari Tokopedia dan Shopee.
Tak hanya itu, Michelle dan tim juga memperkuat website mereka di bateeq.com dan juga Instagram @bateeqshop. Upaya ini berhasil mendongkrak follower Bateeq di media sosial tersebut yakni sebanyak 50.500 pengikut.
Selain itu Michelle juga berusaha memperluas pemasaran produk Bateeq.
Pertama, ia mencari endorsement kepada para influencer. Kedua, Michelle melakukan kolaborasi dengan beberapa label fesyen. Adapun yang ketiga, yakni melakukan kolaborasi di momen-momen tertentu.
Langkah lainnya adalah melakukan diversifikasi produk dengan membuat masker batik. Hasilnya hingga kini ia sanggup menjual sampai 5 juta masker batik.
Ke depan, Michelle berniat bakal terus mempelajari kemauan pasar. Ini penting ia lakukan untuk bisa merencanakan ekspansi bisnis selanjutnya.
Menjawab tantangan keluarga
Lahir dan tumbuh di keluarga pengusaha batik, tak membuat Michelle Tjokrosaputro langsung suka batik. Dirinya, sempat berpikir Soalnya, waktu itu, bagi dia batik identik dengan sesuatu yang tradisional dan hanya bisa digunakan dalam momen tertentu.
Wejangan dari sang Ibu akhirnya membuat Michelle menantang dirinya sendiri. "Daripada kamu komplain, kenapa kamu nggak membuat sesuatu yang cocok di kamu?" ia menirukan pesan Ibunya kepada KONTAN.
Dari situ, semangatnya bangkit. Akhirnya, ia membuat label Bateeq di bawah bendera PT Efrata Retailindo. Michelle mengedepankan rancangan batik yang modis, modern, segar dan cocok dipakai kaum muda.
Harapannya, Bateeq bisa menjadi cerminan anak muda penyuka batik yang bisa dipakai dimana sana dan kapan saja.
Belakangan, kerja keras Michelle berbuah penghargaan Upakarti dari Kementerian Perindustrian kategori Perintis, akhir tahun lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News