Melancong ke luar negeri secara mandiri

Kamis, 03 Mei 2012 | 08:36 WIB Sumber: Mingguan KONTAN, Edisi 30 April - 6 Mei 2012
Melancong ke luar negeri secara mandiri

ILUSTRASI. Nasabah terlihat di dekat pintu?kantor cabang Bank Tabungan Negara (BTN) di Jakarta, Selasa (3/7). KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Saya mau pergi ke Inggris tapi dana dalam bentuk deposito, apakah bisa dipakai untuk pengurusan visa? Apa yang harus disiapkan untuk keliling Asia Tenggara: Singapura-Malaysia-Thailand-Kamboja-Laos-Vietnam?

Begitu pertanyaan-pertanyaan yang tertulis pada dinding (wall) akun grup komunitas Backpacker Dunia di situs jejaring sosial Facebook. Ini adalah komunitas yang menjadi wadah orang-orang yang gemar berwisata ke luar negeri dengan gaya backpacking.

Begitu mendengar kata backpacking, mayoritas dari kita membayangkan orang yang pelesiran dengan menggendong ransel besar, kadang bercelana pendek, dan mengenakan sandal gunung. Mereka populer dengan sebutan backpacker.

Gambaran itu tidak sepenuhnya salah. Tetapi, yang lebih tepat, backpacker adalah orang yang melakukan perjalanan secara mandiri. Para backpacker merancang dan mengurus sendiri segala persiapan perjalanannya untuk menghemat biaya. “Mulai dari menyiapkan pendanaan, mengurus paspor dan visa, mendapatkan tiket pesawat murah, hingga mencari penginapan,” kata Elok Dyah Messwati, inisiator Backpacker Dunia.

Awalnya, komunitas ini terbentuk lewat milis backpackerdunia@yahoo.com yang dibuat oleh Elok pada bulan Juni 2009. Semula, jurnalis di sebuah harian nasional itu membuat grup diskusi di internet tersebut hanya sebagai sarana promosi bukunya yang berjudul Backpacking Hemat ke Australia.

Buku ini Elok tulis untuk mengabadikan perjalanan backpacking-nya ke Negeri Kanguru. Cuma, demi alasan kebebasan menulis, ia memilih menerbitkan bukunya secara independen alias indie, tidak lewat penerbit besar. “Karena itu, saya harus mempromosikan sendiri buku saya, salah satunya lewat milis tersebut,” ungkap perempuan yang sudah menjelajahi Eropa dan Asia ini.

Tak disangka, banyak orang yang mendaftar menjadi anggota milis. Elok pun akhirnya membuat akun grup di Facebook pada Maret 2011. Yang mendaftar jadi member, baik milis maupun akun grup, adalah mereka yang pernah backpacking ke beberapa negara dan yang punya niat untuk jadi backpacker cuma tak tahu atau belum paham caranya.

Milis dan akun grup yang tadinya hanya menjadi sarana promosi buku Elok berubah menjadi ajang tukar pengalaman dan informasi soal cara bepergian ke luar negeri ala backpacker. Komunitas Backpacker Dunia pun terbentuk. Dari cuma ratusan anggota saja, sekarang milis dan akun grup komunitas ini sudah memiliki sekitar 8.000 member.

Menurut Elok, meski sudah banyak anggota yang pernah menjajal backpacking, tak sedikit member yang belum mengerti konsep komunitas. Misalnya, ada yang mendaftar dengan mengirimkan fotokopi KTP. Padahal, tidak seperti organisasi resmi, tak ada pendaftaran untuk menjadi anggota komunitas ini.

Mendorong backpacking

Selain itu, Elok mengungkapkan, banyak anggota baru yang juga belum mengerti konsep backpacking. Tidak jarang, ada anggota anyar yang menanyakan jadwal dan tarif backpacking bareng. “Masih banyak yang mengira Backpacker Dunia adalah komunitas jalan-jalan bareng atau travel agent dan trip organizer untuk bepergian bersama ke luar negeri,” ujar Elok tertawa.

Toh, Elok tidak pernah bosan menjelaskan berulang kali bahwa konsep backpacker berarti pejalan mandiri, bukan turis dengan ransel segede gaban di punggung yang tinggal membayar dan jalan-jalan saja.

Komunitas yang mengusung tagline “Ke Luar Negeri Bukan Lagi Mimpi” ini juga mendorong anak-anak muda untuk memiliki passion berkeliling dunia dan melihat hal-hal baru dan kebudayaan yang berbeda dengan backpacking. Bagi yang belum pernah, mereka bisa mendapat informasi dari anggota lain. Dari sharing pengalaman, “Harapan kami, anggota komunitas jadi lebih berani berwisata mandiri,” tutur Elok.

Mandiri bukan berarti jalan-jalan sendiri, lo, meski kebanyakan backpacker memang lebih senang melancong ke negara lain seorang diri. Backpacking bisa dilakukan berdua atau lebih. Kalau ada anggota komunitas yang hendak bepergian dan mengajak member lain boleh-boleh saja. “Silakan jika sudah saling kenal dan ada kecocokan,” imbuh Elok.

Tetapi yang perlu dicatat, komunitas tidak memfasilitasi pengurusan perjalanan dan tak bertanggung jawab dengan ajakan itu. Karena itu, sekalipun pergi beramai-ramai, semua anggota harus mengurus dan bertanggung jawab atas rencana backpacking mereka.

Sebagai sarana sharing pengalaman serta tip dan trik perjalanan, komunitas mengandalkan milis dan akun grup. Persoalan yang mereka bahas mulai masalah berburu tiket pesawat murah, mengurus visa, menentukan itinerary atau rencana perjalanan, hingga mencari guest house bahkan penginapan gratis di negara tujuan.

Pandangan hidup

Tak hanya di dunia maya, Backpacker Dunia juga menggelar gathering tiap bulan. Dalam acara yang biasanya digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ini sebagian anggota yang sudah kenyang makan asam garam bertualang ke berbagai negara menceritakan pengalamannya. Misalnya tentang cara-cara survive di perjalanan.

Yang datang bukan cuma anggota dari Jakarta dan sekitarnya. “Tapi juga dari Bandung, Tasikmalaya, bahkan Pemalang (Jawa Tengah),” ungkap Elok. Acara kumpul-kumpul juga berlangsung di Kota Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

Para anggota memperoleh banyak hal dengan bergabung di komunitas ini. Vincentius Yogi Fitra Firdaus, salah satu contohnya. Dia berhasil mengembara ke luar negeri berkat rajin bertukar informasi dengan anggota Backpacker Dunia yang sudah terlebih dulu melalang buana. Di usianya yang baru 21 tahun, ia sudah me-ngunjungi negara-negara di Asia Tenggara seorang diri.

Dari bertukar informasi, Yogi tidak khawatir lagi saat mengurus visa atau berhadapan dengan petugas imigrasi negara lain. “Yang penting bagi mereka adalah kita memiliki itinerary yang jelas dan tiket pesawat untuk pulang,” beber Yogi yang selalu membiayai sendiri kepergiannya ke luar negeri.

Anggota lain yang telah berhasil pelesiran ke negara lain seorang diri di usia muda adalah Arip Hidayat. Setelah keliling ke lima negara Asia Tenggara di usia 21 tahun, mahasiswa Universitas Singaperbangsa, Karawang, itu tak hanya mendapat pengalaman baru, ia juga belajar banyak soal kehidupan. “Dengan bepergian sendirian kita memiliki kesempatan berdialog dengan diri sendiri,” jelasnya.

Pergi menjelajahi Singapura-Malaysia-Thailand-Laos-Vietnam dengan bekal hanya Rp 5,7 juta pada Januari 2012 lalu, Arip pulang membawa pemahaman baru soal diri sendiri dan lingkungan. “Mengembara di negeri orang sendirian, saya jadi sadar betapa beruntung memiliki orangtua yang menyayangi kita,” ujarnya.

Elok mengaku bangga dengan pengalaman Arip dan Yogi. Saat ini, selain kuliah, mereka juga rajin bekerja mencari uang untuk bekal perjalanan berikutnya. “Pulang dari bepergian, mereka bukan hanya membawa setumpuk foto dan cerita untuk dipamerkan ke kawan-kawannya, tetapi juga pandangan baru tentang hidup,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Catur Ari
Terbaru