Dengan berseragam ala pejuang tempo dulu, Idris berdiri mematung sambil menenteng bedil di alun-alun Museum Sejarah Jakarta yang populer dengan sebutan Museum Fatahillah. Kehadiran pria 34 tahun ini sejak tahun lalu menjadi magnet baru kawasan Kota Tua Jakarta.
Maklum, Idris berdandan mirip patung batu. Tak heran, banyak pengunjung kawasan yang juga populer dengan sebutan Batavia Lama tersebut berfoto-foto ria bersama lelaki berjuluk-an ‘Manusia Batu’ ini.
Idris yang mematung mulai jam dua siang sampai enam sore ini siap berganti gaya. Sebagai bentuk ucapan terima kasih, seusai berfoto Anda bisa memberikan uang seikhlasnya ke sebuah keranjang yang tersedia.
Tapi, Idris bukanlah satu-satunya magnet anyar kawasan Kota Tua Jakarta. Kawasan yang pada abad ke-16 mendapat julukan Permata Asia dan Ratu dari Timur dari para pelayar Eropa itu terus bersolek. “Desember 2012 mulai ada penambahan bangku dan tempat sampah di lapangan Museum Fatahillah, pedagang juga sudah tidak boleh berjualan di tengah lapangan,” kata Acong, pedagang minuman di sekitar alun-alun Museum Fatahillah.
Alhasil, alun-alun yang menjadi titik sentral Kota Tua tak lagi semrawut seperti dulu.
Unit Penataan dan Pengembangan Kawasan Kota Tua Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta yang menjadi pengelola daerah ini juga hanya membolehkan sepeda onthel untuk disewakan ke pengunjung, agar sesuai kondisi kawasan yang pernah menjadi pusat perdagangan Asia itu. Sepeda jenis lain, seperti sepeda tandem, mountain bike, dan sepeda anak-anak tidak boleh lagi disewakan.
Yang juga menjadi daya tarik baru kawasan Kota Tua adalah Toko Merah yang kini terbuka untuk umum, meski tak semua ruangan bisa bebas Anda masuki. Dulu, para pengunjung hanya bisa menyaksikan bagian luar bangunan berdinding batubata berwarna merah hati itu. Sekarang, pengunjung bisa masuk lantaran ada kafe di bagian sayap kanan depan gedung yang dulu rumah Gubernur Jenderal VOC von Imhoff tersebut.
Pemilik Toko Merah melarang pengunjung untuk masuk ke bagian lain dari gedung berlantai dua ini. Menurut penjaga Toko Merah, ruangan lain
bangunan yang berdiri tahun 1730 itu hanya untuk keperluan syuting dan pesta saja.
Sewa sepeda onthel
Anda berniat menyusuri kembali kawasan Kota Tua? Penjelajahan bisa Anda mulai dari Museum Fatahillah yang menjadi ikon kawasan seluas 1,3 kilometer persegi ini. Di bekas Balai Kota VOC ini, Anda bisa mengenal sejarah Jakarta. Tiket masuk museum dengan bangunan bergaya Barok Klasik ini Rp 5.000 per orang.
Tapi, Anda jangan datang pas hari libur nasional, ya, karena Museum Fatahillah justru tutup. Contoh, pada Hari Raya Nyepi yang jatuh tanggal 12 Maret 2013 lalu. Walhasil, banyak pengunjung yang kecewa ketika itu. Salah satunya Apri asal Kalimantan. “Saya belum pernah masuk sekali pun ke Museum Fatahillah, rupanya saya belum beruntung,” sesal dia.
Langkah kaki berikutnya adalah menuju alun-alun Museum Fatahillah alias Taman Fatahillah. Lapangan beralas beton ini menjadi lokasi paling favorit pengunjung kawasan Kota Tua. Anda bisa berkeliling lapangan yang pada zaman penjajahan menjadi lokasi hukuman gantung itu dengan menyewa sepeda onthel bertarif Rp 40.000 per satu setengah jam.
Untuk menghemat waktu dan tenaga, Anda juga bisa menyusuri setiap jengkal kawasan Kota Tua dengan sepeda sewaan. Tarif sewanya sama, cuma Anda mesti mengajak seorang pemandu juga dengan tarif Rp 40.000. Jadi, total biayanya Rp 80.000. Tapi, kalau berboncengan dengan si pemandu, Anda cukup merogoh kocek Rp 50.000 untuk perjalanan berkeliling ke ikon-ikon bangunan bersejarah di Kota Tua.
Dengan waktu satu setengah jam, biasanya Anda akan diajak mengunjungi Rumah Akar, Toko Merah, Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, dan Jembatan Pasar Ikan. Tentunya, sepanjang perjalanan ke tempat-tempat itu, Anda bakal disuguhi pemandangan bangunan-bangunan kuno bergaya Eropa dan China nan eksotis yang terawat maupun tidak. Ada sekitar 142 gedung dan museum di kawasan Kota Tua.
Salah satu bangunan yang tidak terawat namun memiliki daya tarik tersendiri ialah Rumah Akar. Lokasinya tidak jauh dari Museum Fatahillah, persisnya di samping Cafe Megarasa. Disebut rumah akar lantaran dinding bangunan dua lantai ini penuh akar pohon.
Pada awalnya, gedung ini merupakan kantor perniagaan VOC. Bangunan ini lalu pernah menjadi gereja tapi terbakar dan atapnya roboh. Kemudian, bangunan tersebut dibiarkan begitu saja dan seiring berjalannya waktu ditumbuhi banyak pohon. Akar dari pohon-pohon besar itu lalu merambat sampai keluar bangunan.
Sayang, Anda hanya bisa menyaksikan eksotisme Rumah Akar dari luar. Sebab, kalau Anda masuk ke dalam, pengelola ini akan mengutip biaya sewa sebesar Rp 100.000 per jam. Pemilik gedung ini menarik sewa setelah bangunan yang terkesan angker ini menjadi lokasi favorit pemotretan pre-wedding.
Memang, kawasan Kota Tua kini sudah menjadi tempat sangat hidup bagi kegiatan fotografi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News