Belasan cangkir berisi bubuk kopi terhidang di tengah meja. Beberapa orang mengelilingi meja tersebut. Bergantian, mereka menciumi satu per satu bubuk kopi itu. Aroma kopi dari setiap cangkir dihirup dalam-dalam. Setelah itu, setiap orang berusaha menjelaskan profil aroma yang mereka endus.
Setelah mendeteksi dry aroma bubuk kopi, kopi-kopi tersebut lantas diseduh. Setelah tiga menit, kopi-kopi itu kemudian dicicipi. Kembali, mereka memberikan penilaian terhadap karakter dan tesktur rasa setiap kopi di setiap cangkir.
Aktivitas menelaah kopi sambil icip-icip itu merupakan salah satu kegiatan Komunitas Penggemar Kopi. Aktivitas yang sering dilaksanakan di sebuah gedung di Jalan Taman Kemang, Jakarta Selatan, ini biasa disebut sebagai cupping. “Ini adalah aktivitas untuk mengenali profil, karakter, dan rasa setiap jenis kopi yang spesifik,” kata Uji Saptono, penggagas Komunitas Penggemar Kopi.
Komunitas ini menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang mencintai kopi. Berdiri tahun 2006 lalu, awalnya, Komunitas Penggemar Kopi bertujuan menjadi jembatan mereka yang berkecimpung di dunia perkopian. “Bisa reconnecting dari petani sampai eksportir,” ungkap Uji.
Upaya menghubungkan antara orang-orang yang terlibat di dunia perkopian, seperti petani kopi, eksportir kopi, roaster, (peyangrai kopi), barista (orang yang pekerjaannya membuat dan menyajikan kopi kepada pelanggan), maupun pengusaha kopi, sangat penting. Sebab, dengan bertemu, mereka bisa bertukar dan berbagi informasi. Misalnya, informasi soal peluang dan potensi jenis-jenis kopi lokal yang belum terkenal. Atau peluang pasar untuk jenis kopi lokal tertentu.
Dari semula kumpul-kumpul informal di Taman Kemang, muncul kesepakatan untuk membuat akun di Facebook. Tak disangka, banyak penggila kopi dan ingin tahu lebih banyak tentang minuman dari biji tumbuhan ini.
Jumlah anggota Komunitas Penggemar Kopi yang terdaftar di Facebook saat ini sudah lebih dari 1.000 orang, meski yang aktif dan rutin datang ke aktivitas internal hanya sekitar 30-an orang saja. “Kebanyakan justru yang gemar minum kopi,” ujar Uji.
Aktivitas internal yang paling sering dilakukan adalah berbagi informasi tentang kopi sembari ngopi. Di sini, biasanya, digelar cupping. Cupping, sebenarnya, aktivitas serius. Menurut Specialty Coffee Association of America (SCAA), cupping ialah evaluasi sensorik yang tersistematis terhadap atribut mutu aroma dan rasa biji kopi.
Dalam pelaksanaannya, cupping seringkali melibatkan pembeli, penanam kopi, serta roaster atau pemanggang. Mereka biasa disebut sebagai panelis. Untuk menguji kopi, biasanya panelis yang terlibat sudah masuk kategori sangat ahli.
Cuppping juga mensyaratkan standardisasi yang ketat, misalnya, persiapan sampel takaran air dan kopi harus sesuai standar brewing atau penyeduhan sampai detail evaluasi sensoriknya.
Dalam praktiknya, cupping yang dilakukan anggota komunitas ini tidak seketat standar SCAA. Soalnya, tujuannya sekadar mencari profil kopi secara spesifik. Setelah dideskripsikan, bisa direkomendasikan kopi tersebut lebih cocok dibuat apa. Misalnya, lebih pas dibikin untuk cappuccino, vanilla latte, moccacino, atau lainnya.
Mengenal karakter kopi
Selain itu, aktivitas ini bertujuan untuk melatih pecinta kopi dalam mengenali karakter dan profil kopi-kopi lokal Indonesia. Makanya, yang dites adalah kopi-kopi nusantara, semisal kopi toraja, kopi wamena, dan kopi gayo yang datang dari perkebunan berbeda. Sebab, rasa setiap kopi lokal memang berbeda. Ambil contoh, rasa kopi papua sering disebut paling kuat lantaran ditanam berjauhan dari tanaman lain.
Sekadar informasi, kalau di sekitar tanaman kopi ada tanaman lain, biji kopi yang sedang masak akan menyerap aroma dan rasa tanaman yang ada di sekitarnya. Makanya, mereka yang ahli mampu mengenali aroma dan rasa tanaman lain yang diserap oleh biji kopi. Dan dari situ, mereka bisa menebak jenis dan asal kopi.
Deskripsi kopi yang didapat juga bisa dipakai untuk mengetahui pasar kopi. Biasanya, anggota Komunitas Penggemar Kopi yang sudah ahli dalam cupping akan membantu anggota yang lain dalam mengenali rasa dan aroma.
Anto “Irenk” Sumarjo, anggota Komunitas Penggemar Kopi, mengakui, cupping sangat bermanfaat buat mereka yang ingin melatih sensitivitas dan belajar ilmu kopi. Dengan cupping, seorang peserta bisa mengendus dan merasakan, bukan saja karakter dan jenis kopi, tapi juga umur biji kopi; bahkan tingkat penyangraiannya.
Kopi yang sudah lama disimpan, tentu saja berbeda mutunya dengan biji kopi segar. “Begitu pula dengan kopi yang disangrai medium, tentu, rasa dan aromanya akan berbeda dengan yang kopi dipanggang sampai dark,” kata Anto.
Dari cupping pula, anggota bisa belajar cara mengolah kopi dengan benar. Ilmu lainnya adalah cara menyimpan kopi agar kualitasnya tidak rusak serta derajat penyangraian yang tepat agar menghasilkan rasa dan aroma yang pas.
Kalau sudah sering mencicipi dan lidah serta hidung sudah mampu membandingkan profil kopi dan karakter pengolahannya, anggota Komunitas Penggemar Kopi sudah bisa disebut sebagai cupper atau penikmat kopi. Cuma, asal tahu saja, butuh waktu yang tidak singkat untuk bisa mencapai tahapan penikmat kopi sejati ini.
Kalau berhasil, pemahaman yang didapat bisa menjadi modal untuk berkarier di dunia perkopian. Anto, sekadar misal. Dengan berbekal pemahaman dan lidah yang kaya pengalaman yang dia dapat dengan bergaul di Komunitas Penggemar Kopi, Anto yang dulu berprofesi sebagai barista sekarang telah menjadi roaster senior yang diakui kepiawaiannya dalam memanggang biji kopi.
Makanya, selain cupping, kegiatan lain yang dilakukan komunitas ini adalah pelatihan barista serta konsultasi untuk pemasok kopi mentah. “Kegiatan cupping menjadi jurus dasar untuk mengembangkan pemahaman tentang kopi selanjutnya,” ungkap Uji.
Aktivitas cupping dan berbagi info juga memicu lahirnya banyak diskusi yang diwadahi komunitas pecinta kopi lain. Klub Kajian Kopi (KKK), misalnya. Komunitas ini membahas kopi dari sisi sosial ekonomi. Berbeda dengan Komunitas Penggemar Kopi, KKK tidak menggelar cupping bareng.
Hardiansyah Suteja, penggagas KKK, mengungkapkan, konsep pembahasan kopi di komunitasnya memang lebih mengedepankan aspek sosial ekonomi dari kopi. “Pencerahan indrawi adalah lain hal. Kami menggelar kajian secara ilmiah karena tidak banyak pemain kopi maupun konsumen yang mengerti soal aspek sejarah, sosial ekonomi, maupun bisnis kopi,” jelasnya.
Menurut Hardiansyah, pembahasan sosial ekonomi kopi belum banyak dilakukan, termasuk oleh komunitas pecinta kopi. Padahal, kedai kopi yang banyak bermunculan di Indonesia telah menjelma menjadi ruang alternatif untuk menjadi tempat kajian pelbagai masalah sosial ekonomi. “Kenapa tidak kita mulai dengan mengkaji kopi itu sendiri,” saran dia.
Dalam pandangan KKK, biji kopi merupakan monumen historis. Di balik biji kopi terekam pelbagai peristiwa historis, mulai dari perbudakan, religiusitas, ekonomi-politik internasional, sosiokultural, kearifan lokal, hingga tawa-canda. Oleh karena itu, komunitas ini tidak hanya membahas pengalaman anggotanya dalam minum dan menyeduh kopi, tapi juga hal-hal lain yang terkait dengan kopi. Mereka juga membahas aspek bisnis hulu kopi.
Pada KKK volume pertama, contohnya, dibahas masa depan kopi robusta yang banyak di Indonesia tapi justru dianggap sebagai kopi kelas kedua dibanding dengan kopi arabika.
Ada juga diskusi soal bagaimana sebenarnya rantai pemasokan, mulai dari petani kopi, kelompok pengumpul, agen, trader, eksportir, sampai ke konsumen akhir. Bahkan, ada juga pembahasan metode kreasi sajian kopi dengan pendekatan gastronomi molekular.
Meski topiknya agak berat, nyatanya, peminat KKK tetap membeludak. Yang datang bukan hanya dari pemain kopi, seperti pengusaha serta komunitas kopi yang lain, tapi juga masyarakat umum, mahasiswa, dan peneliti dari Kementerian Pertanian. Komunitas ini juga mengundang penggagas komunitas pecinta kopi lain seperti Uji Saptono.
Adapun tempat diskusi berpindah-pindah dari satu kedai kopi ke kedai kopi lain. “Kami mencoba untuk bisa rutin sebulan sekali, cuma memang masih tergantung pada kedai kopi mana yang bersedia menjadi tempat,” ungkap Hardiansyah.
Berkunjung ke kebun
Lain lagi yang ada di Komunitas Pencinta Kopi Noesantara (Kopi Koe). Karena anggotanya kebanyakan mahasiswa, Kopi Koe memilih kegiatan yang outdoor. Misal, melakukan kopi trip. Ini adalah kunjungan langsung ke kebun kopi. “Banyak kawan-kawan pemilik perkebunan kopi dan pengusaha kopi yang meminta kami untuk mengunjungi kebunnya,” kata Tri Ikhwan, pengurus Kopi Koe.
Tujuan perjalanan ini adalah mempelajari seluk-beluk penanaman dan pengolahan kopi. Maklum saja, kopi termasuk tanaman sensitif. Salah sedikit penanaman, pengolahan sampai penyajian, itu akan membuat cita rasa kopi terganggu.
Selain kegiatan, yang membedakan Kopi Koe ialah sistem keanggotaan. Kalau komunitas lain sifatnya seperti forum sehingga orang bebas datang dan pergi, Kopi Koe menerapkan sistem keanggotaan. Anggota wajib mendaftar terlebih dulu untuk kemudian bisa mengikuti kopi darat, sharing, dan berbagi pengalaman tentang kopi.
Pada tahapan pembekalan, calon anggota baru Kopi Koe tidak hanya akan mendapatkan teman baru. Mereka juga akan memperoleh pengetahuan seputar kopi atau berbagi pengetahuan kopi. Mereka juga memperoleh pengajaran cara membuat kopi tubruk yang baik dan benar.
Cuma, sama seperti komunitas lainnya, Kopi Koe juga fokus mempelajari kopi-kopi asal Indonesia. Menurut Tri, dari segi rasa, kualitas kopi kita sebenarnya tidak kalah dari kopi negara lain. Bahkan, merek kopi luar negeri pun banyak yang menggunakan kopi asal Indonesia.
Bagi Kopi Koe, dengan mengapresiasi kopi lokal, secara tidak langsung, mereka melestarikan kopi-kopi Tanah Air.
Tentu, tidak lupa, Kopi Koe juga rutin menggelar cupping sebagai agenda internal. Tak hanya itu, ada juga latihan manual brewing atau penyangraian secara manual. “Alhamdulillah, salah satu anggota kami mendapat juara saat festival Jakarta Manual Brewing akhir 2012 lalu,” ungkap Tri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News