Pasar barter di kampung Warloka Nusa Tenggara Timur, tukar ikan hiu dengan sayur

Kamis, 29 Agustus 2019 | 07:30 WIB   Reporter: Yasmine Maghfira
Pasar barter di kampung Warloka Nusa Tenggara Timur, tukar ikan hiu dengan sayur


JELAJAH EKONOMI PARIWISATA - LABUAN BAJO. Siska membutuhkan waktu 1,5 jam untuk sampai di lokasi tempat ia berdagang. Ia harus berangkat sejak pukul 03.00 WITA dini hari dari rumahnya. Hal itu bukan karena ia harus berjualan sejak pagi, tetapi jarak rumah antara tempat ia mencari nafkah memang jauh.

Siska adalah penjual jahe di Pasar Warloka, sedangkan ia tinggal di Kampung Kenari, Desa Warloka, kabupaten Manggarai Barat, kota Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pagi itu, ia berdagang seperti biasa. Ada pembeli membeli jahe dan membayarkannya dengan selembar uang Rp 5.000. Akan tetapi, ada seorang nelayan dan memberikannya sebungkus ikan, lalu Siska menukarkannya dan memberikan nelayan itu bukan dengan uang tetapi tiga kantung plastik jahe.

"Inilah Pasar Warloka, kami menukarkan barang sesuai kebutuhan kami," ujar Ibrahim salah satu warga setempat kepada Kontan.co.d, Selasa (27/8).

Di Pasar Warloka, sistem pembayaran dibagi menjadi dua yaitu tunai dan non tunai. Akan tetapi, non tunai yang dimaksudkan bukan uang digital melainkan sistem tukar-menukar barang atau barter.

Pasar yang hanya digelar tiap hari Selasa ini dibuka sejak pukul 06.00 hingga 09.00 WITA. Barang dagangannya beragam mulai dari hasil pertanian, kelautan, hingga barang kebutuhan memasak atau bahkan pakaian.

Khusus pakaian, panci, sisir, sepatu, sandal, atau kebutuhan semacam itu tidak bisa barter, tetapi hanya bisa dibayar dengan uang. Namun, dagangan lainnya contohnya ikan pari, ikan hiu, ikan kerapu, udang, cumi, atau hasil lautnya dapat ditukar dengan sayuran seperti tomat, kangkung, sawi, bayam, dan lain-lain.

"Ini saya lagi butuh ikan, dan karena nelayan tadi butuh jahe jadi kami saling tukar," ujar Siska.

Penjual ikan bernama Eti mengatakan hal yang serupa dengan Siska.

"Ini ikan hiu juga bisa ditukar dengan apa saja. Sesuai kebutuhan. Kalau butuhnya sayur kangkung, ya saya tukar dengan kangkung," ujar Eti.

Sementara, harga ikan hiu ia jual sekitar Rp 30.000 - Rp 40.000. Para penjual di Pasar Warloka yang berlokasi di Kampung Warloka itu juga menyatakan ketika barter mereka tidak melihat dari harga tapi berdasarkan kebutuhan masing-masing saja. Meski ikan lebih mahal dari sayur tidak akan masalah bagi warga di sana, asalkan tetap disesuaikan jumlah kebutuhannya.

Kendati masih ada sistem barter, Ibrahim menyatakan penerapannya sudah tidak seperti dulu. Jika dulu semuanya selalu dengan tukar-menukar, sedangkan sekarang sudah ada beberapa yang dibayarkan dengan uang. Selain itu, sistem barter ini juga diterapkan ketika barang dagangan sesama penjual belum habis, lalu para penjual di pasar itu saling berdiskusi. Nanti, ketika mereka sudah tahu apa yang dibutuhkan barulah saling menukar barang dagangannya.

Menurut Ibrahim, sistem barter ini masih digunakan karena tradisi dari zaman dulu. Terlebih lagi, sistem itu berguna bagi warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Sebab, distribusi suatu barang atau produk sangat sulit karena membutuhkan waktu yang lama di sana.

Desa Warloka merupakan desa yang memiliki tiga kampung, yaitu Kampung Warloka, Kampung Kenari, serta Kampung Cumbi. Ketiganya memiliki jarak yang jauh. Ditambah lagi dengan infrastruktur jalan yang tidak memadai.

Oleh karena itu, penjual di Pasar Warloka seperti Siska yang tinggal di Kampung Kenari harus berjalan kaki menuju pasar yang berlokasi di Kampung Warloka. Namun, barang dagangan Siska ataupun penjual yang lain diangkut oleh sebuah truk. Jadi setelah selesai berjualan, barulah Siska dan penjual lain yang tinggal di Kampung Kenari pulang menggunakan angkutan berupa truk itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi
Terbaru