Edukasi

Polemik BPA di Pada Air Minum Dalam Kemasan, Begini Kata Pakar

Selasa, 10 September 2024 | 19:03 WIB   Reporter: Ahmad Febrian
Polemik BPA di Pada Air Minum Dalam Kemasan, Begini Kata Pakar

ILUSTRASI. Pekerja mempersiapkan pengiriman galon Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di agen penjualan, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten Senin (5/8/2024). /pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/05/08/2024.


KESEHATAN - JAKARTA.  Belum lama ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Peraturan BPOM No. 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Pada belied tersebut, terdapat dua pasal tambahan terkait pelabelan risiko bisfenol A (BPA) pada kemasan air minum dalam kemasan (AMDK), yaitu 48A dan 61A.

Para produsen diberikan tenggat waktu transisi empat tahun untuk melakukan penyesuaian. Intinya, pada peraturan terbaru itu, BPOM mewajibkan pencantuman potensi bahaya BPA pada AMDK yang menggunakan kemasan polikarbonat, yakni bahan yang biasa digunakan pada galon guna ulang.

Sejatinya, BPA tidak hanya pada kemasan pangan, melainkan juga pada barang-barang lain. Misalnya thermal paper y pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.

BPA sering dituding sebagai salah satu risiko permasalahan kesehatan. Ditengarai, BPA bersifat sebagai endocrine disruptor, yang bisa menyerupai hormon estrogen, memicu pubertas dini pada anak perempuan, dan berefek pada kelenjar prostat.

Nugraha Edhi Suyatma,Guru Besar Ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan, Teknologi Pangan IPB, yang juga ahli polimer menjelaskan, BPA adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi. BPA diproses dengan bahan lain untuk menjadi polikarbonat. "Kalau sudah jadi polikarbonat, dia menjadi material yang kuat. Kandungan BPA-nya sudah hampir tidak ada lagi, dan yang tersisa pun tidak mudah luruh,” kata Nugraha, Selasa (10/9).

Baca Juga: Air Minum Galon Berbahan Polikarbonat Terbukti Tak Terkontaminasi BPA

Sisa BPA yang ada pada kemasan polikarbonat atau epoksi baru dapat berpotensi bermigrasi hanya pada kondisi ekstrim. “Polikarbonat itu sangat tahan panas, melting point (titik leleh) 200 derajat celcius. Prada poses distribusi misalnya terkena panas dan sinar matahari selama perjalanan, tidak akan lebih dari 50 derajat. Jadi risiko migrasi sangat kecil," papar Nugraha.

Laurentius Aswin Pramono, ahli endokrin-metabolik menjelaskan, pedoman dunia kedokteran dan kesehatan yaitu evidence-based medicine (kedokteran berbasis bukti). Tingkat tertinggi dalam pembuktian ilmiah yaitu studi meta-analisis. “Studi meta-analisis mengompilasi berbagai hasil penelitian lalu dianalisis lagi untuk melihat bagaimana hasil-hasil studi yang ada.

Sintesis data harus berbasis penelitian pada manusia, bukan di laboratorium pada hewan coba. “BPA diberikan secara sengaja dalam dosis yang sangat besar, sehingga menimbulkan risiko kesehatan pada hewan coba,” kata Aswin. BPA tidak masuk ke guideline manapun sama sekali. “Belum ada konsensus, BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum ada sama sekali. Belum ada bukti (penelitian ilmiah) pada manusia. Yang ada hanya penelitian di lab dengan hewan coba,” tandasnya.

Nugraha menlanjutkan, studi-studi terkait BPA belum konsisten dan belum cukup kuat. Menurut dia, penelitian di Makassar menemukan, uji migrasi dari BPA pada kemasan pangan berkisar antara 0,0001 – 0,0009 mg/kg, jauh dari batasan BPOM 0,05 mg/kg. “Selain itu, temuan yang dilakukan oleh peneliti ITB mengemukakan, BPA tidak terdeteksi pada galon dari empat merk yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun,” paparnya.

EMA (European Medicines Agency) dan BfR (Federal Institute for Risk Assessment - Jerman) misalnya, memiliki nilai referensi yang lebih tinggi, yaitu 50 mikrogram/kg berat badan per hari. Adapun BfR menetapkan batas 0,2 mikrogram kg BB/hari. Sebagai informasi, 1 mikrogram = 1.000 nanogram. Maka bila dikonversi ke nanogram, TDI di Jerman yaitu 200 nanogram/kg BB/hari.

Baik Aswin Nugraha mengingatkan, banyak sekali bahan kimia yang lebih berisiko. "Misalnya asap rokok, sedangkan BPA belum masuk kategori karsinogen," kata Aswin.

 

 

Selanjutnya: Terbitkan Obligasi Rp 1 Triliun, Begini Prospek Kinerja Hartadinata (HRTA)

Menarik Dibaca: Jakarta dan Sekitarnya Waspada Bencana, Cek Peringatan Dini Cuaca Besok Hujan Deras

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ahmad Febrian

Terbaru