BUKAN saja karena putri keraton nan lemah gemulai Solo dikenal di seantero Nusantara. Dari zaman dulu, Kota Bengawan ini juga terkenal dengan aneka masakan dan jajanan khas yang ngangeni. Tidak salah, Pemerintah Kota Surakarta mengagendakan pesona kuliner ini sebagai andalan wisata.
Selain wedangan, angkringan, dan sega (nasi) liwet yang telah dikenal luas, mulai tahun ini Pemkot Solo getol mempromosikan sebuah pusat jajan baru. Namanya Gladag Langen Bogan, atau sering disebut Galabo.
Bogan berasal dari bahasa Jawa boga, yang berarti makanan. Sedangkan langen berarti kesukaan. Adapun Gladag adalah sebuah kawasan di depan gerbang Alun-Alun Selatan Keraton Surakarta. Jadi, Gladag Langen Bogan kurang lebih berarti pusat jajan yang terletak di Gladag.
Galabo ini mengambil tempat di seruas Jalan Mayor Sunarso, yang terletak di ujung timur Jalan Slamet Riyadi. Pusat jajan ini hanya beroperasi pada waktu rembang malam. Siang harinya, ruas jalan ini sibuk dengan berbagai kendaraan yang lalu lalang. Pada saat yang sama, di sisi selatan jalan terlihat sibuk dengan aktivitas perdagangan Pusat Grosir Solo (PGS) dan Benteng Trade Center (BTC).
Namun, ketika sore mulai menjemput malam, kawasan ini mulai bertransformasi. Hiruk-pikuk di dua pusat perbelanjaan yang berdiri megah mulai surut. Bersamaan dengan itu, jalan di depannya mulai ditutup dari segala jenis moda transportasi. Tak selang berapa lama, akan terlihat pemandangan serombongan pedagang yang mulai mengatur gerobak aluminium di sepanjang jalan serta menyiapkan aneka hidangan khas Solo. Jika dihitung, jumlahnya ada 77 gerobak.
Gerobak-gerobak itu disediakan oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Kota Surakarta. Jadi, tidak sembarang pedagang bisa mendapat fasilitas dan berdagang di Galabo. “Pedagang-pedagang harus melewati seleksi di Disperindag,” tutur Agus Haryono, anggota pengelola kawasan Galabo.
Dari 77 pedagang yang mendapat tiket berjualan di Galabo, 60% adalah pengusaha kuliner yang sudah ngetop di Solo. Sebut saja Gudeg Ceker Bu Kasno, Sate Sapi Yu Rebi, serta Tengkleng Pasar Klewer. Tak ketinggalan, susu Shijack, nasi liwet, bubur lemu, wedang dongo, dan bistik lidah. Selebihnya, merupakan pilihan pengelola dan Pemkot Solo.
Pokoknya, semua sajiannya istimewa. Benar-benar memuaskan lidah para pecinta kuliner.
Dengan hadirnya Galabo, kita tidak perlu lagi berburu satu demi satu menu-menu andalan wong Solo itu. Pun begitu, para pedagang tetap berjualan di lokasi awalnya. Jadi, jika Anda tipikal pemburu, mungkin lebih seru menyambangi di tempat aslinya. Tapi, jika Anda tak mau repot, cukup datang saja ke Galabo.
Berkat dibukanya Galabo, kita tak perlu lagi menyesuaikan jam makan dengan jam operasional pedagang. Sekadar informasi, sebelum membuka cabang di Galabo, para pedagang tadi mempunyai jam edar yang berbeda-beda. Gudeg Ceker Bu Kasno alias Gudeg Ceker Margoyudan, misalnya, hanya berjualan saat subuh. Tepatnya, pukul 01.30-04.00. Sedangkan Tengkleng Pasar Klewer hanya beroperasi pada tengah hari.
Tidak aneh, menjelang pukul 18.00, saat gerobak sudah berbaris rapi dan makanan sudah siap, para penikmat kuliner tampak mulai menyambangi ruas jalan sepanjang 800 meter ini. Puncak keramaian terjadi antara pukul 19.00-21.00. Tapi, Galabo akan tetap beroperasi sampai pukul 23.00. Jadi, jangan khawatir, jika kebetulan perut keroncongan pada jam-jam gawat itu, Anda bisa melenggangkan kaki ke Galabo.
Asyiknya lagi, selain mengundang selera, berbagai olahan khas di Galabo tak akan menguras kantong. Jika kepingin sate kere, cukup keluar duit Rp 7.500 untuk sepuluh tusuk. Ada juga cabuk rambak yang harganya cuma Rp 2.000 seporsi. Dengan Rp 8.500 saja, seporsi menu gudeg ceker lengkap bisa disantap.
Layaknya gudeg, Gudeg Ceker Bu Kasno pun terasa manis. Gudeg ini disajikan bersama sambal goreng krecek dan dilumuri santan kental. Tak lupa, ada tambah-an lima ceker ayam berbumbu opor di atasnya.
Di tempat mangkal aslinya, rangkaian olahan ini tersaji di piring. Di Galabo, menu ini disajikan pakai boks yang dilapisi daun pisang. Pengunjung bisa menggunakan piring, “Asal, duduknya tak terlalu jauh dari kami,” ujar Slamet Widodo, pengelola Gudeg Ceker Margoyudan di Galabo.
Pengunjung memang bebas memilih tempat nongkrong sambil bersantap di sini. Bisa lesehan di atas tikar, bisa pula duduk santai di gazebo knockdown. Sambil mengudap makanan, mereka bisa menikmati kerlap-kerlip bintang di angkasa malam.
Karena bersuasana romantis, tempat ini banyak disambangi anak-anak muda, terutama saat akhir pekan. Nah, jika tengah berlibur di kota ini, tak ada salahnya Anda mampir ke Galabo.
GLADAG LANGEN BOGAN alias Galabo baru berdiri sejak 13 April 2008. Tak tanggung-tanggung, pusat jajan Kota Solo ini diresmikan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Tadinya, hanya ada lima pedagang di pusat jajanan yang digagas oleh Joko Widodo, Walikota Solo ini. Para pionir itu adalah Wedang Sruput, Sate Kere Yu Rebi, Bakmi Pak Dul, Tengkleng Klewer, dan Gudeg Ceker Margoyudan. Namun, baru berjalan sekitar delapan bulan, jumlah pedagang di Galabo sudah meningkat menjadi 77 pedagang. Tak pelak, Galabo pun menjadi pusat wisata kuliner baru di Kota Solo. Galabo kini bisa disejajarkan dengan pusat jajan Kembang Jepun, Surabaya. Pengunjungnya mencapai ribuan orang saban hari. Adapun omzetnya bisa melewati Rp 100 juta per malam. Sayang, Galabo juga mempunyai kekurangan yang sama dengan Kembang Jepun. Karena berada di tempat terbuka, para pengunjung langsung bubar ketika hujan. Biasanya, mereka yang tengah tanggung menyantap makanan akan menyingkir ke emperan pusat perbelanjaan. Makanya, kala hujan jatuh sejak sore hari. “Pengunjung tidak akan ada yang datang,” keluh Slamet Widodo, pengelola Gudeg Ceker Margoyudan di Galabo. Sayang, sampai sekarang pengelola Galabo belum punya solusi paten untuk masalah ini. “Kalau sudah hujan, mau apa lagi” Tapi, mereka masih bisa menggunakan tenda dan gazebo yang dipasang di tengah jalan,” ujar Agus Haryono, pengelola Galabo, pasrah. Tentu, kondisi itu patut disayangkan. Sebab, Galabo mulai dipromosikan pada turis asing, seperti dari Polandia dan Selandia Baru. Mudah-mudahan saja, pengelola segera mendapat solusi permasalahan tadi. Alhasil, Galabo tidak perlu mengikuti jejak Kembang Jepun, yang kini makin sepi ditinggalkan pembeli.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News