Nama Muhammad Ali sebagai atlet tinju dunia memang melegenda. Di masa emasnya, petinju dengan nama lahir Cassius Marcellus Clay Jr ini meraih banyak gelar juara tinju kelas berat. Pada 30 Oktober 1974, misalnya, Ali berhasil menyabet dua gelar juara tinju kelas berat dunia, yakni WBC dan WBA, usai merobohkan lawannya, yakni George Foreman.
Sayangnya, dunia olahraga yang telah membesarkan nama Ali ternyata juga turut menenggelamkan namanya. Pada tahun 1980, laporan medis yang dilakukan tim dokter di Mayo Clinic, AS, memvonis Ali mengidap penyakit parkinson, yang diduga akibat cidera kepala berat. Akhirnya, pada 1981, Ali mengundurkan diri dari dunia tinju.
Di dunia medis, penyakit parkinson seperti yang diderita Muhammad Ali dikenal sebagai penyakit degeneratif yang menyerang otak dengan gejala utama berupa gangguan gerakan tubuh, seperti gemetar atau tremor, gerakan motorik yang lamban atau bradykinesia, dan ketidakseimbangan postur tubuh akibat kekakuan.
Penurunan sel dopamine
Gangguan tersebut disebabkan oleh berkurangnya dopamine neurotransmitter di otak. Dopamine berfungsi sebagai pengapian dalam suatu proses pengaturan gerakan di otak. Bila berjalan dengan baik, maka proses pengaturan gerakan ini akan menghasilkan gerakan yang halus, seperlunya, bertujuan, dan terkoordinasi.
Nah, pada penderita parkinson, ketiadaan sel dopamine yang dihasilkan oleh substantia nigra, salah satu bagian otak, menyebabkan proses pengaturan gerakan di otak menjadi amburadul alias tidak terkontrol. Inilah alasan penyandang parkinson mengalami tremor di suatu bagian anggota gerak tubuh, seperti kaki dan tangan.
Roul Sibarani, Neurologist Rumah Sakit Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Siloam Hospitals Semanggi, Jakarta, mengatakan, penderita parkinson mustahil mampu mengontrol tremor yang mengenai salah satu bagian tubuhnya. "Ini terjadi tanpa dipikir atau diperintahkan oleh otak penderita parkinson," kata Roul.
Penyakit parkinson terbagi dua jenis, yakni parkinson primer atau idiopatik dan parkinson sekunder. Penyakit parkinson primer adalah penyakit parkinson yang belum diketahui penyebab pastinya hingga saat ini.
Sementara, penyakit parkinson sekunder merupakan penyakit parkinson yang diketahui penyebabnya, seperti stroke, cedera kepala berat atau kronis, tumor otak, serta keracunan logam berat. "Khusus untuk keracunan logam berat, sampai saat ini masih dalam perdebatan," terang Roul.
Yang pasti, penyakit parkinson bisa menyerang lelaki maupun perempuan. Berdasarkan data statistik medis dunia, orang dari ras kulit putih atau kaukasian lebih sering terkena penyakit parkinson dibandingkan orang ras kulit hitam dan Asia. "Tapi, terjadi keunikan bahwa di Asia jumlah penderita parkinson juga mengalami kenaikan yang cukup mencolok," papar Roul.
Paulus Anam Ong, Neurologist Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, menambahkan, berdasarkan kriteria usia, parkinson bisa menyerang pasien usia 40 tahun-70 tahun. Mayoritas penyandang parkinson mulai menyadari gangguan motorik pada tubuhnya ketika memasuki usia 60 tahunan.
Keluhan lain yang dirasakan penderita parkinson adalah rigiditas (kekakuan) pada beberapa bagian tubuh, seperti otot kaku, nyeri sendi saat digerakkan, rasa lemah atau cepat lelah. "Ini yang mempengaruhi posisi tubuh penderita parkinson dapat menjadi membungkuk ke depan," ujar Anam.
Meredam gejala parkinson
Banyak pendapat medis menyatakan, penyakit parkinson tidak dapat disembuhkan secara total. Untuk mengurangi penderitaan pasien, salah satu kiat mengatasi penyakit parkinson adalah dengan mengelolanya. Maksudnya adalah memenuhi kekurangan sel dopamine yang diperlukan otak untuk memproses gerak tubuh secara proporsional.
Dengan mengonsumsi levodopa, sel pengganti dopamine, penyandang parkinson dapat meredam gejala-gejala utama, seperti tremor, bradikinesia dan rigiditas. "Obat yang mengandung levodopa dikonsumsi hanya untuk meredam gejala saja, bukan menyembuhkan," papar Roul Sibarani, Neurologist Rumah Sakit Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre Siloam Hospitals Semanggi, Jakarta.
Karena penyakit ini bersifat progresif, maka konsumsi obat-obatan penangkal parkinson harus semakin ditingkatkan dosisnya seiring bertambahnya usia penderita. Awalnya, bisa saja si pasien hanya mengonsumsi obat dosis ringan, misalnya satu butir tablet. "Tapi, lama kelamaan dosis harus ditingkatkan, karena takaran sebelumnya tak mampu meredam gejala dalam waktu lama," kata Paulus Anam Ong, Dokter Ahli Saraf atau Neurologist Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.
Tapi, harus diingat, penambahan dosis obat tersebut akan memberikan efek samping berbahaya bagi penderita parkinson. Pada penyandang stadium lanjut, sering dijumpai terjadinya proses diskinesia. Diskinesia merupakan suatu gejala lanjutan yang sering ditemui pada penderita parkinson, yakni gerakan-gerakan tubuh yang semakin tak beraturan dan sulit dikontrol.
Karena itu, penderita, keluarga atau orang terdekatnya harus memperhatikan penggunaan obat-obatan parkinson yang berlangsung seumur hidup. Perhatikan nama obat, bentuk, warna, dan dosis dan jumlah miligram (mg) obat. Anda juga harus mencari informasi soal efek samping dari penggunaan obat itu.
Berbekal pengetahuan pasien yang baik, serta pengobatan yang tepat, menurut Anam, penderita penyakit parkinson dapat memiliki kualitas hidup lebih baik.
Selain levodopa, jenis obat anti parkinson yang umum dikonsumsi adalah dopamin agonis untuk memperkuat resptor dopamin di otak, serta penghambat COMT atau Catechol O Methyl-Transferase yang berguna menghambat pemecahan levodopa di lambung, sehingga jumlah yang masuk ke otak lebih banyak.
Kemudian, antikolinergik yang berfungsi menghambat kerja kolinergik yang berlebihan. Kolinergik berlebihan ini merupakan konsekuensi berkurangnya dopamine di otak. Terakhir, penghambat MAO-B (Monoamine Oksidase tipe B) untuk memperlambat pemecahan levodopa di otak. Sayang, obat ini belum tersedia di pasaran lokal.
Agar efektif, Roul menyarankan, konsumsi obat anti parkinson dilakukan 30 menit atau satu jam sebelum pasien menyantap makanan. "Ini supaya tidak tercampur dengan makanan di dalam sistem pencernaan," papar Roul.
Pada parkinson lanjutan, atau penyandang parkinson yang telah terkena diskinesia, dapat menempuh terapi deep brain stimulation (DBS), yakni pemasangan implan electrode pada bagian yang mengalami kerusakan di otak. Implan ini akan menghasilkan gelombang elektronik frekuensi tinggi yang berfungsi sebagai stimulan sel-sel otak yang telah rusak. Hanya saja, kata Roul, terapi DBS masih jarang ditemukan di Indonesia, sebab alat implan eletrode masih mahal.
Tapi, agar kondisi parkinson tidak semakin memburuk, penderita harus pintar mengelola hidup sehari-hari. Misalnya, rajin berolahraga. Beberapa olahraga yang disarankan, berenang, tenis, jalan, lari, dan fitness.
Jika penyakit tambah parah, penyandang disarankan melakukan olahraga yang tak butuh banyak fungsi keseimbangan. "Agar mereka tak jatuh atau cedera, terutama di kepala. Olahraga yang disarankan, senam khusus bagi penderita parkinson," kata Roul.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News