Kuliner Silang Budaya

Sabtu, 28 Juli 2018 | 10:00 WIB   Reporter: Hendrika Yunapritta
Kuliner Silang Budaya


WISATA KULINER -

Batik dan kuliner, ternyata tidak beda. Keduanya sarat dengan silang budaya dan merupakan cerminan bahwa Indonesia sangat kaya. Hal tersebut diamini para anggota komunitas Jalansutra yang bergabung dalam peluncuran buku 100 Mak Nyus Jalur Mudik di Jakarta, Jumat (27/7).

Bagaimana bisa batik dan kuliner menggambarkan semua itu? Direktur Eksekutif Institut Pluralisme Indonesia, William Kwan, yang mendalami dunia batik, mengatakan bahwa ada jenis batik klasik dan kontemporer. Pewarnaan batik klasik menggambarkan muasal kain tersebut. Misalnya, daerah pedalaman seperti Solo dan Jogja cenderung mengunakan warna cokelat dan biru, atau sogan. Sedangkan daerah pesisir biasanya mengaplikasikan warna merah dan biru.

Daerah pesisir seperti Pantura, merupakan melting pot, berbagai pengaruh menyatu di situ, termasuk para pendatang yang masuk dari Laut Jawa. “Batik itu awalnya ya bagaimana bisa menghidupi. Pembuatnya lalu memperhatikan selera konsumennya,” ujar William. Ini termasuk memasukkan motif atau warna, yang awalnya dianggap di luar pakem. Alhasil, kita bisa menjumpai batik Tiga Negeri, yang jika ditelisik menerapkan warna merah, tapi juga cokelat. Motifnya pun ada burung phoenix, yang tidak ditemukan di Jawa.

Begitu pun dengan kuliner. Harry Nazarudin, salah satu dari tiga penulis 100 Mak Nyus, mencontohkan soto sebagai contoh hasil silang budaya ini. “Soto itu asalnya dari kata sauto, bahasa hokian yang artinya kuah,” kata Harry yang menemukan penjelasan awal mula soto dari dinding salah satu warung Soto Kadipiro di Jogja. Dalam perkembangannya, masyarakat Indonesia mengenal berbagai jenis soto, sauto, tauto, atau coto. Rasanya pun berbeda-beda, sesuai dengan selera masyarakat setempat. “Jadi, bagaimana bisa diterima, seperti batik,” kata Harry.

Nah, jalur mudik dari ujung barat sampai ujung timur Pulau Jawa, juga menyimpan kekayaan kuliner tersebut. Alhasil, wisata kuliner pun tak habis-habis di sepanjang pulau ini. Buku 100 Mak Nyus Jalur Mudik ini memuat menu dan warung favorit Bondan Winarno, Kepala Suku Jalansutra yang berpulang November 2017 lalu.

Jangan sampai punah

Menurut Lidia Tanod, kolega Harnaz dalam menulis buku ini, Bondan sudah membuat daftar kuliner mak nyus versinya, pada pertengahan Januari 2017. “Kami merencanakan survey ke tempat-tempat makan itu dengan Pak Bondan,” ujarnya.

Meski kemudian Bondan tutup usia, survey tetap dilanjutkan. Perburuan kuliner ini menyimpan cerita sendiri bagi para penulisnya. “Kudus itu, walaupun kotanya kecil, tapi menyimpan banyak sekali makanan andalan,” kata Lidia. Ia menyebutkan soto ayam, sate sapi, sate kebo, pindang kerbo, opor sunggingan, garang asem, dan lentok. “Lentok itu lontong yang disajikan dengan lodeh gori (nangka muda) dan lauknya semur,” sambungnya. Semur Kudus berbeda, kata dia, karena dibikin tanpa kecap, tapi dengan santan.

Nama sama, beda selera, lain rasa ditemukan oleh Harnaz, panggilan Harry Nazarudin saat mencicipi nasi gandul. Pada buku 100 Mak Nyus Jakarta, ia menyantap nasi gandul Pati versi Jalan Pesanggrahan, Jakarta Barat. “Rasanya memang manis,” katanya. Lantas, untuk 100 Mak Nyus Joglosemar, Harnaz mencicipi nasi gandul di Semarang yang rasanya berbeda dengan versi Jakarta. Terakhir, untuk buku ini, Harnaz makan nasi gandul di Gajahmati, Pati. “Rasanya malah  tidak manis,” katanya.  Jadi, “Memang, ada baiknya kita mencari makanan ini di ‘induknya’, untuk menemukan otensitas rasa,” sambung salah satu moderator di Komunitas Jalansutra ini.

Saat melakukan pengumpulan bahan ini, Lidia dan Harnaz juga menemukan ada satu dua kedai dengan menu andalan yang langka. Harnaz mencontohkan Sate Ayam Margasari, Tegal, yakni sate ayam dengan potongan besar dan dibakar dengan olesan kecap. Pas disantap, selain bumbu kacang dan kecap, ada pilihan disiram kuah kuning layaknya sate padang. “Yang jual ini cuma satu,” katanya.

Untuk mengantisipasi kelangkaan ini, tim penulis buku Mak Nyus lantas menyertakan resep di tiap menu. “Dengan resep itu, minimal kita bisa merekonstruksi seperti apa sih masakan tersebut,” tutur Lidia. Beberapa resep didapatkan dari pemilik kedai untuk makanan andalan mereka, namun ada pula yang diperoleh dari sumber-sumber lain.

Membuka buku ini, memang menggambarkan keragaman dan kekayaan kuliner di sepanjang Jawa. Menu sate, misalnya, ada 14 sate andalan berbagai daerah : Sate Blengong Brebes, Sate Komoh Pasuruan, Sate Klathak Jogja, sampai Sate Maranggi Cianjur yang diolah dengan cara berbeda. Ada pula bermacam olahan nasi dan lontong.

Bagaimana? Siap berburu maknyus sepanjang Pulau Jawa?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendrika

Terbaru