Menikmati ritual di secangkir teh

Sabtu, 10 November 2012 | 10:37 WIB   Reporter: Cindy Silviana Sukma
Menikmati ritual di secangkir teh

ILUSTRASI. Infused water sereh


AROMA bunga chamomile merebak saat air panas mengalir dari sebuah teko ke cawan berisi teh. Tak hanya chamomile, beberapa teh di setiap cangkir punya aroma berbeda. Itulah yang dirasakan sekelompok pecinta teh saat berkumpul menikmati beragam teh dari bumi nusantara.

Meski dari satu negara yang sama, setiap teh memiliki aroma khas yang tak bisa dibandingkan dengan daerah yang lain. "Umumnya, teh Indonesia beraroma bunga, tapi rasanya seperti buah," ungkap Bambang Laresolo, salah satu moderator dan penggagas komunitas pecinta teh yang berdiri sejak 2007 silam.

Komunitas pecinta teh bermula dari gagasan Bambang dan beberapa kawan yang sejak lama tergabung di komunitas kuliner Jalan Sutera. Hampir tak terhitung berapa jenis teh yang pernah dicicipi. Dalam sehari, Bambang bisa menyeruput lima hingga enam jenis teh yang berbeda. Minuman itu kebanyakan didapat dari kiriman para pecinta teh yang gemar membaca tulisannya pada blog Kedai Teh Laresolo.

Dari ratusan jenis yang pernah dicicipi, ada sejumlah teh yang menjadi favorit Bambang. Seperti teh hijau Long Jing dari daerah Hangzhou, China. Darjeeling dari India. Bahkan, teh lokal seperti white tea Dewata dari Bandung, teh hitam dari Wonosobo dan teh Oolong dari Bengkulu pun tak kalah mantapnya dari teh impor. Diantara semua jenis, Bambang terpikat oleh teh hijau Gyokuro asal Jepang hingga kini.

Bambang juga mengoleksi berbagai macam teh berikut peralatannya, dengan harga mulai dari puluhan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Harga teh itu bervariasi. Jika ingin teh hitam berkualitas baik, biasanya dengan Rp 10.000 sudah dapat 10 gram. Namun, soal teko dan peralatan, harganya bisa mencapai Rp 14 juta. "Tergantung kualitasnya," kata Bambang, yang kini belajar ritual minum teh Chanoyu ala Jepang.

Saking menghayatinya, Bambang sudah memiliki pengaduk teh dari bambu, chasen seharga Rp 250.000, kemudian furo yaitu kompor arang tradisional Jepang, ceret dari Jepang senilai Rp 1 juta, kimono, sepatu, dan kipas sebagai perlengkapan dalam ritual minum teh Jepang.

Sosok lain yang turut membesarkan komunitas ini adalah seorang pakar teh Ratna Somantri. Sejak kecil, perempuan berparas cantik ini sudah mengenal teh dari keluarganya. Perkenalan Ratna dengan dunia teh berlanjut saat bersekolah di Sydney dan tinggal bersama keluarga angkat yang berasal dari Inggris. "Dari situlah pemahaman saya tentang teh mulai terbuka luas," kata Ratna.

Sekembalinya di Jakarta, dia diajak teman sekolah untuk membuka Cawan Tea House. Perempuan cantik ini terus mempelajari beragam jenis teh dan cara meramunya. Dia berguru mulai dari Kuala Lumpur, Hong Kong, hingga ke negeri China.

Keterlibatan Ratna di bisnis kedai teh tak lama. Dia lebih mencintai profesinya sebagai seorang pakar teh, yang bisa berbagi ilmu dan khasiat minuman ini. Hingga akhirnya Ratna, Bambang dan beberapa rekan bertemu dan melahirkan komunitas pecinta teh. Demi teh, Ratna sempat bolak-balik beberapa negara untuk berburu aneka teh, peralatan, hingga belajar memahami ritual minum teh.

Dari beragam jenis teh yang pernah dicicipi, Ratna paling menyukai teh hijau Gyokuro asal Jepang dan teh Oolong dari China. Dia pun kerap melakukan perjalanan Indonesia-Jepang untuk mempelajari ritual upacara minum teh. "Pernah suatu kali saya menemukan satu-satunya teko teh yang menang lomba dan harganya tak sampai Rp 1 juta, jadi saya beli," Ratna mengenang.

Sebulan sekali, komunitas pecinta teh ini berkumpul, sambil membawa teh masing-masing dan menikmatinya bersama. Setiap pertemuan ada temanya sendiri. Dan jika membahas teh Korea, mereka berkumpul di restoran Korea. Nah untuk tehnya, mereka tinggal minta air panas untuk melakukan ritual minum teh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sandy Baskoro
Terbaru