INVESTASI ALTERNATIF – JAKARTA. Usia suatu barang tak otomatis jadi penentu nilainya. Hanya karena sebuah koin keluaran 1996 tak lagi beredar resmi di pasaran, bukan berarti ada orang yang mau bayar mahal untuk lempengan logam tersebut.
Aryo, pedagang uang lama di Pasar Baru, Jakarta, tertawa kecil saat ditanyai soal koin 1.000 rupiah kelapa sawit keluaran 1996 yang dibanderol seharga Rp 75 juta di media sosial.
“Bisa 10 orang sehari bertanya hal yang sama ke sini. Kenyataannya tidak seperti itu. Ini saya ada banyak, saya sudah kaya, dong?” guraunya sambil menunjukkan tumpukkan koin-koin miliknya saat ditemui Kontan di tokonya, Kamis (12/6).
Sayangnya saat ini untuk memastikan harga uang lama, biasanya konsumen akan mengeceknya dengan mengunjungi laman toko online. Seolah itu menjadi harga pasar. Aryo pun menyayangkannya, padahal ia bisa menjual dengan harga yang lebih murah.
Baca Juga: ADPI: Instrumen ETF Emas Bisa Jadi Alternatif Pilihan Investasi Dana Pensiun
Misalnya koin 100 rupiah dengan gambar rumah gadang dan wayang keluaran tahun 1978. Menurutnya pasar akan menghargai per kepingnya Rp 300–Rp 500, tergantung kondisi koin dan jumlah yang dijual.
“Jadi tetap ada kenaikan dari nominal aslinya, tetapi tidak seheboh itu,” terangnya.
Malah, tak jarang toko mengetok rata harga koin-koin. Misalnya koin 1.000 rupiah kelapa sawit 1996 dan 25 rupiah burung elang 1971, meski nominal keduanya berbeda, di toko online dibanderol setara mulai dari Rp 3.000 hingga Rp 5.000 per keping. Aryo bilang koin logam kuno bisa juga dijual per kilo, dengan harga di kisaran Rp 50.000 per kilo.
Aryo menyebut, umumnya koin-koin lama yang dihargai tak seberapa mahal ini dicari sebatas untuk kebutuhan mahar. Masyarakat mencari angka-angka yang sesuai dengan kebutuhan dan kemauan.
Koin mahal
Di luar itu, kolektor sekaligus pedagang koin kuno Gregorius Gito Song menjelaskan soal koin-koin kuno yang dihargai mahal.
Koin-koin kuno bisa dihargai mahal ketika sudah mendapat skor dari lembaga penilaian resmi. Kolektor domestik umumnya menyebut koin-koin ini sebagai koin yang ‘sudah di-grading’. Nah, semakin tinggi skor yang diperoleh dari lembaga grading, semakin mahal sebuah koin bisa dihargai.
Pun, koin yang bisa di-grading umumnya koin-koin keluaran khusus yang bahan bakunya murni dari emas atau perak. Dus, koin-koin logam biasa jarang bisa menembus harga ratusan ribu rupiah per kepingnya.
Di pasar Indonesia, umumnya lembaga grading yang dipakai dari Professional Coin Grading Service (PCGS) dan Numismatic Guaranty Corporation (NGC), dengan skor maksimal yang diberikan adalah 70. Semakin mendekati 70, semakin mahal sebuah koin bisa dihargai. Apalagi, jika populasinya langka.
Baca Juga: Masihkah Pantaskah Berlian Dijadikan Diversifikati Sebagai Alternatif Investasi?
Untuk diketahui, koin-koin yang sudah di-grading akan diberi tempat khusus dengan cantuman identitas koin di mukanya. Identitas ini termasuk nama atau jenis koin, kode angka unik, kode batang, serta skor grading.
Nah, melacak populasi koin dapat dilakukan langsung di situs atau aplikasi lembaga grading, yakni dengan memasukkan kode angka atau memindai kode batang yang tertera pada muka tempat koin. Dengan keterbukaan informasi soal populasi koin, kolektor bisa melakukan negosiasi harga dengan lebih transparan.
Namun meski tanpa skor grading, sebuah koin berbahan murni tetap bisa dihargai mahal. Gito bercerita, ia pernah melepas sepasang koin 2.000 rupiah harimau jawa dan orangutan keluaran 1974 yang berbahan perak murni seharga Rp 1.000.000.
“Itu kalau sudah di-grading, per keping bisa sampai Rp 4.000.000,” katanya saat ditemui Kontan di Jakarta, Kamis (12/6).
Aset alternatif
Memang, sebagaimana koin kuno bukan aset dengan patokan harga pasti, penentuan harga di pasar cenderung subjektif. Perencana Keuangan sekaligus Founder Finansialku, Melvin Mumpuni menyebut koin kuno pada dasarnya dikategorikan sebagai aset alternatif.
“Aset alternatif lebih tepat untuk orang-orang yang sudah tergolong kaya atau kolektor,” ungkap Melvin kepada Kontan, Jumat (13/6).
Pasalnya, pasar koin kuno tergolong segmented dan tidak likuid. Artinya, aset ini tidak mudah dijual kapan saja seperti aset umum emas atau lainnya. Untuk tujuan investasi, Melvin bilang tetap lebih baik mengutamakan instrumen yang lebih transparan dan likuid.
Baca Juga: Rana Precious Metal Berkolaborasi dengan Peruri Luncurkan Noor Dinar & Rana Gold Bar
Melvin juga menyoroti bahwa saat ini minat masyarakat Indonesia terhadap koin kuno sebatas pada awareness yang dipicu rasa penasaran, bukan berlandaskan analisis investasi yang mendalam. “Investor yang serius di aset mata uang kuno masih tergolong minoritas, dan mayoritas dari mereka adalah kolektor sejati, bukan investor umum,” tegasnya.
Memang, Gito bercerita bahwa kolektor seringnya berburu di lelang. Acara lelang resmi pun jarang digelar di Indonesia.
“Biasanya di Hong Kong,” katanya.
Di domestik, Gito menyebut lelang besar biasanya diadakan oleh Java Auction.
Menariknya, Gito bilang kini lelang tak hanya dilakukan pada acara langsung, tetapi juga melalui platform media sosial. Kolektor-kolektor yang sudah tergabung dalam komunitas tertentu umumnya lebih leluasa menjual atau membeli koin melalui media sosial karena sudah mengenal satu sama lain.
Aryo juga menegaskan, pada dasarnya transaksi koin kuno dilandaskan dari minat atau hobi kolektor. Jarang sekali kolektor secara sengaja menyimpan koin kuno demi mendulang untung di kemudian hari, meskipun pada dasarnya sangat mungkin meraup keuntungan besar dari menyimpan koin kuno berbahan murni.
Riset CFA Institute menyarankan alokasi aset alternatif tetap berada di bawah 10% dari total portofolio. Secara khusus, Melvin menyarankan investor pemula untuk mempelajari cara kerja investasi koin kuno lebih dulu.
“Jangan asal FOMO,” pesannya.
Selanjutnya: IHSG Naik 1,37% Dalam Sepekan, Simak Sentimen Penggeraknya
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Vitamin C untuk Rambut, Cegah Uban hingga Rambut Rontok!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News