Saleh, ketua DPD yang pernah jadi kuli bangunan

Jumat, 14 Oktober 2016 | 10:47 WIB Sumber: Kompas.com
Saleh, ketua DPD yang pernah jadi kuli bangunan


Jakarta. Mohammad Saleh kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tapi ternyata, Saleh punya kisah perjuangan hidup yang bak roller coaster, sebelum duduk sebagai pimpinan senator.

Pria asal Bengkulu ini sempat bekerja serabutan. Kata dia, karirnya benar-benar dari nol. "Mungkin enggak percaya background hidup saya di Jakarta. Tahun 1990, tamat sekolah, saya bawa baju satu di badan, satu dibungkus, saya merantau ke Jakarta," tutur Saleh di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/10/2016).

Saleh mengatakan pernah menjadi pedagang asongan di bilangan Senayan setibanya di Ibu Kota. Setelah itu, profesi sales dijajalnya.

Ia menawarkan produk elektronik, dari pintu ke pintu. Menurutnya, sangat berat menjadi seorang sales door to door di Jakarta.

Jika tanpa optimisme, ia mengaku tak akan sanggup menjalaninya. "Paling susah jadi salesman door to door itu di Jakarta karena orang saling curiga. Enggak bisa kita masuk pintu orang sembarangan. Kalau di daerah enak. Masuk rumah pun keluar dikasih minum. Di sini diusir," ujar Saleh.

Tak hanya sales, Saleh sempat merasakan bekerja sebagai kuli bangunan. Ia mengenang, begitu berat pekerjaannya saat itu.

Memotong pipa, kerja lembur untuk memasang rangkaian kabel hingga larut malam, hingga membuat partisi gedung. "Nangis saya malam-malam di situ, sambil motong pipa. Alangkah berat hidup di Jakarta ini," ucapnya.

Saleh pun bercerita soal kawan yang melecutnya agar bangkit dan mencari sumber kehidupan yang lebih baik. Berawal dari kebiasaannya tidur malam yang relatif cepat, kawannya pun menegur.

"Lae, kau kan dari kampung. Kamu lihat tuh kakak saya. Koko saya GM (General Manager) di salah satu agennya IBM. Dia tidur rata-rata di atas jam 1. Pagi dia sudah kerja. Otaknya pintar itu. Kamu? Dari kampung, sekolah asal-asal, jam 9 tidur. Kau bakal jadi kuli di sini, budak orang," kata Saleh menirukan perkataan kawannya.

Kalimat tersebut menyentilnya dan ia bertekad untuk bangkit. Bidang komputer pun mulai digelutinya. Atas dasar saran kawannya, ia pun mempelajari operating system lewat buku.

Setiap hari dirinya menyempatkan diri main ke Harco, pusat belanja barang elektronik di Jakarta. Setelah itu, melamar lah dirinya ke sebuah software house di bilangan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

Namun nilai tesnya jelek karena bahan ujiannya adalah akuntansi. Sementara dia tak mahir di bidang itu. Saleh kemudian mengambil kursus akuntansi di bilangan Cideng, Jakarta Pusat selama enam bulan. Lalu, melamar lagi di tempat yang sama. Akhirnya lulus.

Pada 1995, ia pindah kerja ke perusahaan yang menjual barang elektronik. Saleh mengatakan, tempat tersebut lah yang memberinya banyak pengalaman.

Delapan tahun ia membina karir di sana dan memulainya dari bawah. "Saya masuk dari pegawai paling bawah, tukang reparasi komputer. Selama delapan tahun, orang yang jadi atasan saya sampai jadi bawahan saya semua," kenangnya sambil tertawa.

Namun ia meninggalkan perusahaan itu pada 2005, dengan jabatan terakhir National Assist Manager. Saat itu, Saleh melihat direktur perusahaan begitu nyaman di posisinya. Ia merasa tak memiliki peluang menggesernya.

Dunia bisnis pun mulai digelutinya. Pria kelahiran Curup 10 Juli 1966 ini kemudian membangun perusahaan yang persis dengan Columbia. Dia pernah berutang Rp 200 miliar untuk membangun bisnisnya tersebut. Namun dalam 10 tahun, grafik bisnisnya tak pernah turun.

Sebanyak 560 cabang dengan hampir 17 ribu pegawai di seluruh Indonesia berhasil dibangun. "Orang lain punya perusahaan sibuk. Saya enggak. Setiap saya buka di satu kota, saya buka 1 PT. Setiap yang jadi kepala di situ, saya kasih saham," tutur senator asal Bengkulu itu.

"Kita bisa dapat besar (keuntungan) 100% tapi setengah mati ngawasinnya. Enggak ada kebahagiaan di situ. Mending dibagi-bagi. Bisa sambil jadi anggota DPD, perusahaan tetap jalan," sambungnya.

Saat mencalonkan diri sebagai anggota DPD, yang menjadi pemacunya adalah karena tak seorang pun di keluarganya yang berkarir di bidang politik maupun menjadi pejabat negara.

Semua anggota keluarga sempat keberatan dirinya nyalon dan menyarankan agar Saleh mengurungkan niatnya. "Tapi namanya orang hidup perlu dinamika juga. Saya ikut ke sini seandainya saya terpilih, saya hanya mau mengubah sejarah karena belum ada di keluarga kita orang yang jadi pejabat negara. Kalau bukan saya, jangan kan untuk jadi, nyalon juga enggak berani. Kalau saya jadi, generasi selanjutnya pasti punya motivasi," ujarnya.

(Nabilla Tashandra)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto

Terbaru