Meski begitu, dia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan betul dengan peralihan octan rendah ke octan tinggi. Salah satunya dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat.
Bagi Jusri, sejatinya kebijakan memindahkan konsumsi BBM RON tinggi juga cukup mudah asal semua pihak bahu membahu melakukan kampanye positif dengan cara yang lebih mudah dimengerti oleh masyarakat.
Baca Juga: Layanan penyalur meluas hingga pelosok, volume penjualan BBM Pertamina terdongkrak
"Itu adalah simply policy. Namun dalam hal ini tentunya ada faktor-faktor lain harus menjadi pertimbangan pemerintah sebelum policy tersebut dapat dirilis. Edukasi pre-launching ke masyarakat harus seimbang, gencar, melibatkan seluruh komponen," katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Febby Tumiwa mengatakan, dalam mengurangi penggunaan BBM jenis premium Pemerintah harus membatasi kuotanya.
Atau sediakan bahan bakar dengan kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah. Misalnya RON 92 seharga RON 88 atau RON 90.
Pemerintah, kata dia, bisa membuat standar bahan bakar yang lebih baik dan segera menerapkannya (misalnya Euro IV), demikian juga membuat kebijakan fuel economy untuk kendaraan bermotor yang progresif.
Namun demikian, harga yang ditawarkan kepada masyarakat harus ekonomis. Karena bagaimanapun, konsumen reaktif kepada kenaikan harga. Kata dia, jika harga premium dibuat mahal, konsumen akan pindah ke BBM lain yang "lebih bersih" tapi harganya lebih murah.
Pengamat energi Mamit Setiawan menambahkan, saat ini kendaraan bermotor, baik roda dua, maupun roda empat saat ini mayoritas sudah menggunakan teknologi terbaru yang mengharuskan konsumsi BBM dengan RON tinggi, minimal RON 92, seperti Pertamax.
Baca Juga: Pengamat: Konsumsi BBM Ron rendah sudah ketinggalan zaman