Eksotis di global, Investasi Wine di Indonesia masih kurang menarik

Sabtu, 21 September 2019 | 07:05 WIB   Reporter: Adrianus Octaviano
Eksotis di global, Investasi Wine di Indonesia masih kurang menarik


MINUMAN BERALKOHOL - JAKARTA. Investasi terhadap safe haven dinilai masih menarik. Hal ini mengingat kondisi perekonomian global yang belum menentu. Salah satu aset safe haven yang layak dimiliki ialah barang koleksi.

Selain lukisan atau berlian yang lebih sering dipakai untuk investasi barang koleksi, ada pula koleksi lain yang layak menjadi barang investasi yaitu wine.

Di salah satu artikelnya, The Economist pernah membahas mengenai investasi wine. Bahkan, dari judulnya saja The Economist mengatakan bahwa investasi wine ini telah mengalahkan pasar saham. Dalam hal ini, mereka lebih menyoroti wine jenis Burgundy.

Baca Juga: Harum aroma kopi menyerbak di Kota Tua

Di dalam artikel tersebut dikatakan bahwa wine Burgundy ini menggantikan wine Bordeaux yang sempat populer satu dekade lalu.

Berdasarkan WineBid, salah satu juru lelang wine online terbesar, mencatatkan sejak tahun 2003 data menunjukkan penjualan penuh wine yang terbuat dari pinot noir ini mencapai 1,6m lot.

Data ini mencakup 33.000 wine dengan 50-500 label paling mahal dari masing-masing daerah. Pada akhir 2018, Red Burgundy ini sudah mendapat imbal hasil 497% sedangkan untuk s&p 500 mendapat imbal hasil 279%

Baca Juga: Donald Trump: AS-Jepang capai kesepakatan awal tarif perdagangan

Seorang kolektor wine, Yohan Handoyo mengatakan bahwa situasi ini tak berlaku di Indonesia. Ia mengatakan bahwa potensi investasi wine di Indonesia masih sangat kecil. Hal ini dikarenakan pasar investasi wine di Indonesia belum ada.

Exchange marketnya tuh cuma ada di London, Amerika, dan Hongkong. Di Amerika saja lewat balai lelang kebanyakan,” ujar Yohan.

Yohan juga berpendapat bahwa investasi wine di Indonesia juga masih kurang menarik. Ia menyebutkan beberapa alasan terkait kurang menariknya investasi wine. Alasan utamanya ialah tidak ada perlindungan atas produk wine itu sendiri.

Yohan menyebutkan kasus Rudy Kurniawan terkait penipuan wine palsu yang menyebabkan beberapa konglomerat di Amerika tertipu. “Siapa yang bisa menjamin wine itu palsu atau tidak,” ucap Yohan.

Selain itu, alasan permintaan dan persediaan dari wine itu sendiri juga turut menyebabkan investasi wine ini kurang menarik. Yohan mengatakan hal ini berbeda dengan pasar saham yang memiliki kejelasan dari jumlah pialang dan nasabah. Ia juga bilang investasi ini dinilai kurang likuid saat ingin dicairkan ketika memiliki kebutuhan terhadap cash.

Baca Juga: Siap-siap, pelambatan ekonomi China kian dalam

Yohan juga menjelaskan bahwa dalam berinvestasi wine memiliki dua cara. Pertama, ia mengatakan investasi bisa dilakukan dengan mengoleksi wine-wine yang termasuk langka. Kenaikan harganya pun mengikuti semakin langkanya wine itu atau tidak. “Spreadnya cukup besar kalau cara yang pertama ini,” ujar Yohan

Cara kedua yang biasa dilakukan ialah produsen wine melakukan uji coba wine yang diproduksi setelah 4-5 bulan panen. Di saat uji coba tersebut, produsen mengundang beberapa penikmat dan jurnalis untuk mereview produk wine tersebut.

Yohan mengatakan jika review-nya semakin bagus, harganya pun akan semakin mahal saat dijual nantinya. “Biasanya yang melakukan investasi ini pedagang atau importir,” ujar Yohan.

Baca Juga: Kemendag: Belum ada pengajuan izin impor daging sapi asal Brasil

Yohan juga menerangkan bahwa ada beberapa wine yang memiliki nilai investasi yang tinggi. Ia menyebutkan wine-wine super premium seperti Bordeaux kategori 1856, Burgundy, dan beberapa Californian Wine.

Selain itu, ada juga wine-wine top italian yang ikut melengkapi wine dengan nilai investasi tinggi. “Biasanya cuma itu-itu aja sih,” ucap Yohan.

Perencana Keuangan Finansia Consulting Eko Endarto juga turut berpendapat tentang kiprah investasi wine di Indonesia. Ia bilang investasi jenis ini tak jauh beda dengan investasi-investasi barang koleksi lainnya yang sering dilakukan di Indonesia.

Menurutnya, investasi barang-barang koleksi seperti ini lebih melibatkan emosi dibandingkan dengan nilai harga dari barang tersebut. “Harga biasanya jadi nomer dua,” ujar Eko.

Baca Juga: Demi kesepakatan dagang, Jepang akan menghapus tarif impor wine dari AS

Eko mengatakan bahwa sama halnya dengan barang koleksi lainnya, investasi wine ini bisa dibilang menarik. Hal ini dikarenakan dirinya menilai orang yang investasi barang koleksi berdasarkan hobi. Oleh karena itu, Eko berpendapat kolektor-kolektor ini tidak memikirkan untung dan rugi.

“Biasanya komitmen mereka bukan ke bisnis melainkan ke hobinya,” tutur Eko.

Hanya saja, Eko menilai investasi wine di Indonesia masih kurang menarik jika dibandingkan koleksi-koleksi lainnya. Ia menilai hanya beberapa orang saja yang memiliki akses untuk mengoleksi wine.

Baca Juga: Youtube ubah angka jumlah subscriber

Selain itu, regulasi terhadap produk wine di Indonesia sendiri masih dipertanyakan. “Halal dan haramnya wine kan masih dipertanyakan sehingga terbatas,” ujar Eko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 3 Tampilkan Semua
Editor: Handoyo .
Terbaru