SEJARAH - Bisnis air minum di Indonesia ternyata sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dikutip dari buku Beberapa Catatan Sejarah Air Minum Indonesia 1800-2005, Kementerian PUPR, awalnya, orang-orang yang tinggal di Batavia menjadikan air Kali Ciliwung sebagai sumber air minum yang ditampung di sebuah waduk.
Air Sungai Ciliwung dahulu memang sangat jernih. Walaupun demikian, tidak semua orang Belanda mau minum air Ciliwung. Khususnya para ambtenaar kelas atas menggunakan air yang didatangkan dari luar Batavia.
Sebagaimana halnya dengan di Batavia, di kota-kota lainnya yang didiami orang Belanda, dibangun pula sarana penyediaan air minum walaupun masih sederhana, dan umumnya memanfatkan sumber mata air.
Baca Juga: Sejarah IPA Pejompongan I, proyek pertama penyediaan air minum di Indonesia
Sekitar tahun 1880-1890, Dinas Pengairan Belanda membangun saluran air sepanjang 12 km dari sebuah bendungan di Sungai Elo ke pusat kota Magelang, Jawa Tengah, untuk keperluan air minum dan pengairan.
Di Surabaya tahun 1890, atas jasa-jasanya merintis penyediaan air minum, dua orang Belanda bernama Mouner dan Bernie diberi konsesi mengelola mata air Umbulan di Pasuruan.
Mereka memasang pipa sepanjang lebih dari 60 km dari wilayah Pasuruan hingga ke kota Surabaya, yang pengerjaannya dilakukan dalam dua tahun. Lalu, pada tahun 1900 berdirilah perusahaan air minum Kota Surabaya.
Waktu itu, rumah-rumah yang dianggap mewah diwajibkan oleh pemerintah Hindia Belanda berlangganan, dan dalam waktu tiga tahun, perusahaan air minum itu memiliki
1.588 pelanggan.
Baca Juga: Mengenal Sungai Bengawan Solo, sungai terpanjang dan terbesar di Pulau Jawa
Tahun 1906, perusahaan air minum itu dijadikan sebagai Dinas Air Minum Kota Surabaya, yang kemudian menjadi PDAM Kota Surabaya sampai sekarang.
Pada akhir masa penjajahan, kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia adalah sekitar 3.000 liter per detik.
Menariknya, bahwa sebagian investasi sarana air minum yang telah dikeluarkan pihak swasta pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimasukkan sebagai utang pemerintahan Hindia Belanda kepada swasta, yang harus dibayar melalui Pemerintah Kerajaan Belanda.
Melalui Konferensi Meja Bundar, akhirnya utang tersebut, sebesar 4,5 milyar gulden, dibayar lunas oleh Pemerintah Indonesia.
Baca Juga: 9 Manfaat jalan kaki untuk bumil, dapat membantu proses persalinan