JEP GUNUNG BROMO - MALANG. Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) selalu menjadi favorit wisatawan saat mengunjungi Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ada sejumlah pintu utama yang bisa dilalui wisatawan untuk datang ke taman nasional yang didirikan sejak tahun 1982 ini
Pintu utama itu juga merupakan wilayah penyangga kawasan TNBTS yakni Lumajang, Probolinggo, dan Malang.
Tim Jelajah Ekonomi Pariwisata KONTAN kali ini memasuki kawasan TNBTS melalui Desa Gubugklakah dan Desa Ngadas. Keduanya merupakan bagian dari Kecamatan Poncokusumo yang juga masih masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Malang.
Baca Juga: Malang bersolek demi ambisi menjadi jantung pariwisata di Jawa Timur
Letak kedua desa itu sejatinya saling berdampingan. Bedanya, letak geografis Gubugklakah lebih rendah dibanding Ngadas.
Sepanjang perjalanan dari Gubugklakah hingga Ngadas terdapat banyak spot menarik yang bisa dikunjungi. Salah satunya, Coban Pelangi. Jika beruntung, pengunjung bisa menikmati pemandangan air terjun lengkap dengan pelangi hasil pembiasan cahaya matahari yang bertemu dengan butiran air dari air terjun tersebut.
Lanjut ke Ngadas, pengunjung harus siap dengan suhu yang sangat dingin. Namun, hawa dingin itu terbayar oleh pemandangan yang indah.
Tak jauh dari puncak Ngadas, hamparan savana Gunung Bromo terlihat. Tak jarang, kabut tebal menyelimuti kawasan ini. Sehingga, banyak orang yang menyebut Desa Ngadas adalah desa di atas awan.
Infrastruktur jalan sepanjang perjalanan ini bisa dibilang layak untuk dilalui. Hanya saja, lebar jalan tergolong kecil. Sehingga, KONTAN sempat beberapa kali berhenti ketika berpapasan dengan kendaraan lain.
Baca Juga: Kawah Bromo ternyata masih banyak menyimpan cerita misterius
Maklum saja, memasuki Ngadas, sisi jalan berbatasan langsung dengan bibir tebing. Agak sulit jika dilakukan pelebaran jalan.
Namun, jangan khawatir. Volume kendaraan sepanjang jalur ini tidak ramai. Sebab, hanya kendaraan hardtop yang diizinkan masuk ke kawasan ini. Kalau pun ada kendaraan pribadi selain hardtop, itu merupakan penduduk desa setempat. Sehingga, papasan yang memaksa kendaraan untuk berhenti tidak terlalu sering.
Lantas, apakah mobil selain hardtop dan bukan warga setempat bisa masuk?
Bisa. Namun, umumnya ini untuk keperluan komersil. Sejumlah proses administrasi juga harus diikuti.
Baca Juga: Menyibak keindahan pantai Malang yang masih tersembunyi
Pertama, dengan membuat permohonan surat izin memasuki kawasan konservasi (Simaksi) yang ditujukan kepada Balai Besar TNBTS lengkap dengan alasan memasuki TNBTS tanpa menggunakan hardtop.
Setelah itu, pemohon diminta untuk mentransfer sejumlah dana.
Rinciannya, Rp 10 juta untuk penerimaan negara bukan pajak (PNPB). Sebesar Rp 29 ribu untuk karcis per orang dan Rp 10.000 untuk karcis mobil. Selain PNPB, tarif dihitung per hari.
"Semuanya disetor ke negara," ujar Heri Kristyanto, Analis Pemanfaatan Balai Besar TNBTS.
Baca Juga: Yuk, uji nyali dengan menjajal wisata paralayang di Malang!
Itu merupakan upaya pemerintah daerah setempat untuk menjaga mata pencaharian warga lokal sebagai pemilik jasa sewa hardtop yang sudah jadi trademark wisata TNBTS. Tapi, asal tahu saja, Simaksi hanya untuk mobil. Sementara, untuk motor bebas masuk, cukup membayar karcis memasuki kawasan.
Tak sulit menemukan penginapan atau homestay di Gubuklakah dan Ngadas. Namun, menemukan tempat makan seperti restoran cukup sulit, bahkan sepanjang perjalanan, KONTAN tidak menemukan tempat tersebut. Rupanya, ini ada kaitannya dengan adat yang masih dipegang teguh oleh warga setempat, warga yang sejatinya masih merupakan suku Tengger.
Di Ngadas, jual beli tanah hanya boleh dilakukan oleh sesama warga Ngadas. Sehingga, tidak ada pemodal atau investor yang bisa membangun restoran atau bahkan hotel di wilayah ini.
Tamu yang berkunjung untuk menyewa homestay juga wajib kenal dengan pemilik homestay. Ketika waktu makan, pengunjung harus makan bersama pemilik homestay yang juga merupakan warga Ngadas.
Pintu masuk menuju kamar penginapan juga tidak terpisah, tetap harus melalui ruang tamu pemilik homestay.
Satu hal yang menarik, setiap rumah juga hanya diizinkan membangun maksimal lima kamar homestay. Ini dilakukan supaya warga lainnya bisa memiliki peluang yang sama, sehingga tidak terjadi kesenjangan ekonomi.
Baca Juga: Pesona mengejar sunrise di Pananjakan I Gunung Bromo
Mujianto, Kepala Desa Ngadas, homestay di desanya sudah ada sejak 2010. Dia bercerita, Desa Ngadas masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Awalnya, TNBTS belum mengeluarkan kebijakan bahwa transportasi ke Bromo harus menggunakan transportasi lokal seperti jeep. Alhasil, homestay di desa ini belum berjalan dengan baik karena tidak ada pengunjung yang menginap.
"Akhirnya, baru pada Desember 2012, TNBTS mengeluarkan kebijakan bahwa kalau berkunjung ke Bromo harus menggunakan jasa transportasi lokal, baru kemudian homestay mulai berkembang," jelasnya.
Hingga saat ini, di Desa Ngadas sudah ada 37 homestay. Tarif yang ditetapkan pun sangat terjangkau, mulai dari Rp 150.000. Hanya saja, saat peak season seperti liburan Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, harga penginapan naik sekitar Rp 50.000 sampai Rp 100.000.
Itu baru sekelumit cerita soal adat yang masih dipegang teguh oleh warga Ngadas. Masih banyak adat lain yang juga menyangkut norma kesusilaan yang terus dijaga seperti hanya pasangan suami istri sah yang diperbolehkan menyewa kamar homestay yang sama. Belum lagi adat berupa upacara tertentu seperti upacara Karo Pujan, dan masih banyak lagi.
"Kami dalam melestarikan adat tidak menunggu saat banyak tamu datang atau bahkan hanya untuk menarik pelancong. Tidak seperti itu. Kami memang memegang teguh tradisi leluhur. Apa yang pernah dilakukan para leluhur, kami lakukan," tutur Mujianto yang juga masih keturunan suku Tengger.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News