KEBUDAYAAN - JAKARTA. Ekspedisi Sungai Batanghari bagian dari Kenduri Swarnabhumi yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menapaki etape kedua yakni di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.
Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Dharmasraya di Provinsi Sumatera Barat. Meskipun Dharmasraya merupakan pusat pemerintahan kerajaan melayu, Kabupaten Tebo juga memiliki banyak peninggalan sejarah. Baik itu berupa bangunan Candi, ataupun objek kebudayaan tak benda seperti tradisi, tarian dan permainan.
Salah satu yang paling ditunggu-tunggu oleh penonton adalah permainan klasik dari Tanah Tebo yakni permainan Ago Gilo atau boneka gila. Permainan ini mirip dengan permainan bambu gila dari Maluku. Namun, alih-alih dengan bambu, permainan Ago Gilo menggunakan medium boneka yang terbuat dari anyaman rotan.
Sebuah batok kelapa ditancapkan di atas tubuh boneka kemudian digambar wajah dengan cat hitam. Begitu Ago Gilo diarak ke tengah lapangan Desa Teluk Kuali, anak-anak kecil pun sontak berteriak Ago Gilo! Ago Gilo!
Baca Juga: KKP Domestik Diluncurkan, Jokowi Minta Himbara Kawal K/L Hingga Pemda Masuk ke Sistem
Permainan dipimpin oleh lima orang berpakaian serba hitam. Dipimpin oleh Pawang Ago Gilo bermana Nasril. Boneka Ago Gilo pertama dipegang oleh dua orang. Sementara dua orang lainnya berjaga-jaga dengan seutas kain di tangan.
Kemudian sang pawang Nasril membacakan seutas mantra yang sekilas terdengar seperti bahasa Melayu namun cukup sulit dicerna artinya. Dalam durasi mantra, boneka Ago Gilo digoyangkan kanan dan ke kiri “Jangan lah janji kepada kito, ayam puit terbang ke muko, ibu ibuko makan padi, tak baik menjanji uko, jadi serambi makan dadih, Hop!”
Dengan teriakan tersebut, permainan Ago Gilo resmi dimulai. Boneka yang sebelumnya diam tak bergerak pun mendadak menggeliat dan memberontak. Enam hingga delapan orang pun masuk ke dalam lapangan untuk membantu memegangi rontaan Ago Gilo yang semakin menggila.
Semakin hebat rontaan Ago Gilo menghempaskan para pemegangnya kesana kemari, semakin seru pula penonton bersorak. Tiga orang pengawas termasuk sang pawang menjaga agar kemelut tetap ada di tengah lapangan. Saat Ago Gilo memberontak menggiring para peserta terlalu dekat ke penonton, para pawang pengawas mengibas-ngibaskan kain hitam mereka agar si boneka gila bergerak menjauh.
Selain berfungsi sebagai alat kontrol, kibasan kain hitam juga berfungsi untuk meningkatkan ‘level’ permainan dan membuat si boneka menggeliat lebih gila lagi. Tidak sampai lima belas menit-an, para peserta pun satu per satu terlempar dari kerumunan. Ketika semua peserta sudah menyerah, permainan diakhiri.
Menurut Nasril, permainan ini sudah ada sejak zaman kakeknya. Ratusan tahun yang lalu. Orang-orang Tebo biasanya memainkannya pada malam hari di ladang sebelum menanam padi keesokan harinya atau semalam sebelum hari panen.
Namun menurut Nasril, permainan ini juga bisa dilakukan di berbagai kesempatan. Seperti pernikahan, ataupun lomba 17 Agustusan.
Baca Juga: 10 Makanan Khas Demak yang Direkomendasikan untuk Dicoba
“Jadi pertama kita pegang dulu, kemudian (setelah boneka aktif,Red) orang kita panggil rame-rame megangin. Kalau kayak jelangkung itu kan ada orang sampai kemasukan. Kalau ini nggak ada,” jelas Nasril dalam keterangannya, Senin (29/8).
Untuk ikut ambil bagian dalam tim ‘gulat’ melawan bonek Ago Gilo, tidak ada syarat khusus, kata Nasril. Yang penting dewasa 17 tahun ke atas karena jelas saja permainan ini bukan untuk anak-anak. Bahkan perempuan pun boleh ikut.
“Selama ini kan biasanya laki-laki. Tapi kemarin ada juga perempuan ikut. Asalkan kuat saja,” tuturnya.
Tujuan dari permainan Ago Gilo memang adalah kegilaan. Semakin gila si boneka, semakin keras goyangannya, semakin seru permainannya. Tidak ada batas permainan ini. Sekuat para pemainnya.
“Tinggal tergantung napas. Kalau sekarang 10 sampai 20 menit saja sudah ngos-ngosan. Kalau orang orang tua saya dulu sampai setengah jam,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News